Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Sunday, December 14, 2014

Makan Secukupnya Vs Makan Sepuasnya


Pernah punya pengalaman makan di restoran, depot, atau warung makan? Bukan untuk pamer, karena itu saya tidak akan menyebutkan seberapa sering saya makan di tempat seperti itu :-). Yang sedang menarik untuk kubahas adalah seberapa sering saya menemukan seseorang yang makan di restoran, depot atau warung. Mereka yang kumaksud di sini memilki kebiasaan yang menarik perhatianku.
Pernahkah kamu menyaksikan dengan mata sendiri orang makan tapi tidak dihabiskan? Dia itu menyisakan makanannya, yang sepertinya menurut kita mampu dihabiskan. Entah itu menyisakan nasi yang tinggal sesuap, atu lontong yang tinggal sepotong, bakso yang tinggal satu pentol atau lauk, telor, sepotong tempe atau tahu yang seukuran foto 3 x 4 cm. Saya sering menemukan orang yang demikian, dan sungguh akhir-akhir ini saya tertarik pada mereka.
Di sekitar kampus  di Malang; UIN, UMM, UB,UM, UNISMA  dan lainya tidak jarang terdapat warung makan dengan aneka masakan yang mengundang selera. Setiap harinya selalu ada pengunjung yang makan di sana. Banyaknya pengunjung yang butuh makan, sampai terkadang antre, mengundang minat pengusaha yang lain untuk juga membuka warung makan. Demi untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan tentunya dengan tujuan meraup rupiah dari mereka. Persaingan pun terjadi. Berbagai trik pelayanan diterapkan agar jualan tidak kalah laris dari warung tetangga. Salah satunya yang marak dan familiyar adalah pengunjung bebas mengambil makanan sendiri sesuai selera mereka dengan harga murah.
Suatu ketika saya makan di warung makan dekat salah satu kampus di Malang. Saat itu sedang antre untuk ambil nasi, dan kebetulan saya ada di belakang seorang laki-laki dan perempuan. Dilihat dari penampilannya jelas mereka mahasiswa. Yang laki-laki mengenakan celana-pensil-jeans berwarna sama dengan sepatunya, hitam. Dipadu kemeja batik khas Pekalongan warna biru dengan pena warna hitam menyembul dari saku bajunya. Saya perkirakan pena itu sama dengan penaku yang hilang, standard A E 7 Alfa Tip 0.5. Selain itu, dia menggendong tas merek Takker  warna hitam. Sedangkan yang perempuan berjilbab warna merah, bajunya merah pula, dan celana-pensil-jeans warna hitam. Tas yang di pinggirannya kriput, warna coklat, menggelantung di pundak perempuan berkulit putih itu.
Kuperhatikan perempuan di depanku, yang menurut penilaianku cantik, mengambil porsi lebih sedikit dari porsi laki-laki di sampingnya. Kalau nasi yang bertengger di piring si laki-laki separuh piring dan tidak menggunung, malah nasi yang bertengger di piring si perempuan separuhnya lagi. Padahal bagiku, porsi mereka berdua kumakan semua itu baru membuatku kenyang. Jangan-jangan  mereka sebenarnya tidak lapar, cuman sedang mengisi  waktu luang dengan makan? Entahlah. Namun yang jelas, mereka makan terlalu sedikit menurutku.
Sebetulnya saya tidak berniat memerhatikan mereka, jika saja mereka tidak tepat di depanku. Siapa sangka saya malah kebagian tempat duduk yang berhadapan dengan mereka. Akhirnya saya bisa menerka kedua mahasiswa itu datang bersama, dan sepertinya mereka sepasang kekasih. Buktinya sambil bercanda gurau, si perempuan mengusap bekas makanan di pipi si laki-laki dengan tisu. Eh, tapi kok bisa ya bekas makanan itu nempel di pipi si laki-laki, emang bagaimana makannya?
Alhamdulillah, saya selesai makan, perutku terisi dan saya kenyang. Waduh, lagi-lagi perhatianku terpaku kepada mereka. Bagaimana tidak, saya selesai makan tapi mereka belum selesai juga. Padahal porsi yang kuambil lebih banyak dari porsi mereka, seharusnya lebih dulu mereka selesai makannya. Tunggu dulu, ada yang tidak beres. Mereka beranjak dari tempat duduk dan bayar ke kasir, padahal makanan mereka belum habis. Itu aneh menurutku. “Mungkinkah karena makanan di sini tidak enak?”, pikirku. Tapi kuperhatikan sekitar, pengunjungnya banyak dan mereka mayoritas menghabiskan makanannya, tanpa sisa. Pasti ada alasan lain. Sudahlah itu tak penting.
Inginku tidak mengingat kejadian yang kuceritakan di atas, jika saja saya tidak mendapati hal yang serupa. Beberapa kali saya mendapati kejadian yang sama, baik di warung makan atau restoran, orang makan tapi tidak dihabiskan makanannya. Di salah satu warung langgananku saya menemukan kasus serupa dengan orang yang sama lebih dari tiga kali. Ini bukan karena mereka tidak suka makanan yang dibeli, atau karena mereka sedang mengisi waktu luang dengan makan padahal sedang kenyang. Ini seakan jadi tradisi mereka dan tersugesti dalam kebiasaan, “kalau makan jangan dihabiskan”.
Jika benar itu adalah kebiasaan, bagiku sungguh tidak menarik. Mereka menyia-nyiakan makanan dengan begitu mudahnya, justru di saat bersamaan ada saudara sebangsanya yang sedang sekarat karena tidak makan selama berhari-hari.(Baca juga Penyebab Sakit Mah )
Mereka orang terpelajar, mahasiswa, mungkin saja mereka mau beralasan takut Israf, yaitu mengonsumsi (makanan) secara berlebihan. Padahal sudah kenyang tapi masih memaksakan diri makan lagi. Dengan bahasa lain, tamak. Memang benar Israf dilarang dalam Islam sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Furqan: 67.  Namun perlu diingat, Mubazir, yaitu berlebihan dalam membelanjakan harta, misal membeli hal yang tidak dibutuhkan, juga dilarang dalam Islam. Istilah lainnya adalah boros. Membeli makanan tapi kemudian makanan itu dibuang adalah mubazir. Coba baca QS. Al-Isra: 26-27 yang artinya, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkankan (harta) secara boros. Sesunguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan”.
Jika alasannya sudah kenyang, karena itulah tidak menghabiskan makanannya, lalu kenapa mengambil porsi lebih? Jika memang butuh separuh piring kenapa mengambil sepiring penuh? Atau jika butuh sepiring penuh kenapa ngambilnya separuh piring, bukankah itu hanya akan mendzalimi diri sendiri, sedang yang demikian itu tidak baik. Islam menganjurkan makan dan minum selain halal dan baik, juga proporsional. Dalam QS. Al-A’raf ayat 31, artinya “ Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan”.
Tambahan sebagai penutup tulisan ini. Alasan yang lebih tidak bisa diterima adalah, ingin pamer, berlagak sok banyak uang. Ingin menunjukkan bahwa tidak masalah meski makanan yang dibelinya tidak dihabiskan atau bahkan tidak dimakan, karena dia banyak uang. Hal yang demikian adalah sombong, perangai yang sangat buruk.
Wallahua’lam bisshawab…

Malang, 12 Desember 2014
Makan Tidak Usah Banyak Gaya
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Sunday, November 2, 2014

Kembali Merantau I

Pada sekitar tahun 2008-2009 aku pernah merasakan suasana hidup di rantau, kota Surabaya. Sebalum akhirnya pulang ke kampung halaman, Sumenep, aku menyempatkan diri menyimpan tekad untuk merantau kembali di kota yang lain, entah itu Yogyakarta, Jakarta, Semarang atau yang lainnya.

Empat tahun kepulanganku di Sumenep hampir membuat pudar keinginanku merantau kembali. Namun, dasar saja keinginan yang tertanam dalam diri, keinginan itu mulai tumbuh perlahan dan terus tumbuh lalu membuahkan takdir: keinginanku terpenuhi.

Tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2014, aku menginjakkan kaki di kota yang sebelumnya tak masuk daftar untukku mengadu nasib di sana. Kota Jakarta, Yogya atau Semarang yang jadi tujuanku malah belum pernah kudatangi. Takdir yang tak bisa disangka; aku mendarat di Malang, kota yang...... (terlalu dini memberi deskripsi kota ini :-) ).

Satu alasan kuat yang membuatku sampai dan akan tinggal di Malang dalam waktu cukup lama adalah sama dengan alasanku tinggal di Surabaya, yakni; kuliyah. Jika di Surabaya aku menempuh pendidikan D1 Teknisi komputer, di Malang lain lagi. Aku sedang menempuh pendidikan S2 Ekonomi Syariah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Sampai tulisan ini buat, aku berada di Malang kurang lebih 3 bulan. Ada banyak hal yang kudapat di kota ini, khususnya di UIN Maulana Malik Ibrahim. Mulai dari teman baru, orang dengan berbagai jenis kekurangan dan kelebihan masing-masing, tempat baru, suasana baru.
 

 foto ini diambil pas aku dan sebagian teman kelas baru selesai mengikuti mata kuliyah dan hendak ke luar melalui lift.
 Sesampainya di halaman depan kampus, ada yang berinisiatif untuk mengabadikan kebersamaan. Kebetulan waktu itu ada sekretaris prodi Ekonomi Syariah, Ust. Jalal, lalu kami ajak untuk foto bareng.
Posisi berdiri, tengah, mengenakan baju batik adalah Ust. Jalal yang dimaksud. Sedang yang lain adalah teman seangkatan. Sebenarnya jumlah kami yang merupakan angkatan pertama adalah 16 orang, cuman saat itu kebetulan tidak datang semua. Bersambung......
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Thursday, June 26, 2014

DIA ADALAH ADIKKU

Dia lebih muda 3 tahun dariku. Namun meski lebih muda, sebagian orang sering mengira dia kakakku, mungkin karena postur tubuhnya yang lebih gede. Aku akui secara fisik dia memang lebih perfect; tinggi, hidung mancung, dan lebih ca’em. Bukan hanya itu, dalam hal berorganisasi, dia lebih mapan dan tepat jika menjadi pemimpin. Orangnya ramah kepada siapapun, dan senyum adalah andalannya memikat perhatian orang lain. Dia selalu berhasil mengakrabi orang bahkan yang baru dikenalnya, suatu hal yang tak ada padaku.

Tanggal 23 Juni kemarin ini adalah hari ulang tahunnya dan sebetulnya aku ingin merayakan itu, tapi sayang dia tak sedang di rumah. Saat itu dia tengah menikmati kesibukannya sebagai Pembina pramuka. Dia membina pramuka di 3 kesatuan gudep berbeda, padahal selain berstatus guru dia sedang menjabat sebagai pemimpin lembaga, yakni sebagai kepala Madrasah. Hanya orang berkrakter aktifis dan disiplin yang sanggup mengatur jadwal kegiatan seperti dia sekarang, maka tak heran jika dia menjadi panutan dan pantas kuacungi jempol. Dia memang pantas menerima pujian.

Hanya saja, namanya juga manusia yang tak bisa lepas dari kekurangan, ada hal yang kadang mengurangi kegantengan dia. Ketika dia menyikapi suatu permasalahan, sering mengedepankan emosi dan ammarah, sehingga sulit menerima keadaan dan pendapat orang lain. Seakan dia lebih dikuasai egonya dan telah menutupi cara berpikirnya yang adem dan sejuk, yang terjadi malah dengan pikiran panas membara. Ketika begitu, kuperhatikan pipinya sedikit tembem berisi, hidungnya kembang kempis, dan matanya agak redup tapi berkaca. Biasanya suara apa pun tak tertangkap telinganya, karena daun telinga indahnya itu sibuk dengan konser angin yang diciptakannya sendiri. Ini suatu kejadian yang sering dialami oleh orang kebanyakan, termasuk aku.

Sekarang dia berumur 21 tahun, usia remaja yang berapi-api namun kadang redup seketika. Di saat tertentu, semangatnya tentang perubahan berkibar indah, tapi di saat yang lain tiba-tiba lemes. Adalah keharusanku menjaganya tetap berkibar indah, menjaga dari segala kemungkinan terpaan angin besar berupa badai yang bisa-bisa merusak dia karena saking kenceng kibaran semangatnya dan mengantisipasi kalau-kalau angin tak ada. Itu artinya aku harus membawakannya kipas atau apalah jika diperlukan yang penting semangatnya berkibar indah, tidak terlalu kenceng atau lemes, sebab aku adalah kakaknya. Aku kakak yang masih malu mengakui sayang pada adiknya. Kakak yang tak bisa menatap wajah adiknya dengan rindu meluap kecuali saat dia terlelap.

Dia adikku, dan aku kakaknya. Ingin sekali aku merayakan ulang tahunnya dengan sangat spesial plus mewah dan megutarakan perasaan sayang dan rinduku selama ini. Ingin kukatakan, “Aku meindukan wajah lucu dan menggemaskan darimu, seperti wajah semasa kanak dulu.” Selamat Ulang Tahun Adikku, semoga Allah memberkahi umurmu dan meridhai cita-citamu, Amien.

Sasar, 24 Juni 2014
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Wednesday, May 28, 2014

Mantan Berkhianat tuh, Kentut!

Muktir Rahman Syaf

Kentutku menguap. Pada mulanya bau menyengat, membuat orang sekitar dan diri sendiri tersiksa karena baunya atau risih karena bunyinya. Bisa jadi orang di sekitar merasa tak enak dan bahkan marah juga benci padaku karena buang angin. Aku telah melakukan hal yang sama pada orang yang menyakiti perasaan, melepasnyaseperti kentut. :D :-P Aku sadar, bau tak sedap akan menyebar. Orang mengomel, marah dan benci padaku, mungkin terjadi dan akan kuterima. Namun harus disadari, jika aku tak kentut (seperti halnya melepasnya), aku sendiri yang akan tersiksa. Bahkan siksaan itu yang berupa sakit bisa membunuhku. Bayangkan saja, tidak sedikit orang yang harus membuang uang jutaan rupiah untuk operasi agar bisa kentut. Jika seseorang tidak bisa kentut, berarti dia berpenyakit, sebab kentut sendiri adalah penyakit yang bersarang dalam diri manusia. Jika tidak dikeluarkan, kentut yang aslinya adalah penyakit, semakin lama bersarang dalam perut dan membikin makin parah derita kita dan pada akhirnya harus merenggang nyawa. Jujur, aku pribadi (entah bagaimana orang lain), sangat tidak ingin mati karena tidak kentut. Mati karena tidak kentut sungguh sangat tidak lucu dan tidak keren.Yah, begitu pula mati kerena tidak melepas kekasih yang berhianat“seperti kentut”, sungguh sangat tidak keren. :D
Aku akui, setelah kentut, aku merasa lega dan segar. Nikmatnya tak terkira. Sakit perutku hilang. Begitu juga yang kurasakan ketika melepasnya “seperti kentut”, perasaanku lega, sakit yang kurasakan hilang, dan aku merasa segar kembali. Kentut dan dirinya itu benar-benar anugerah sempurna dari Tuhan. Ternyata nikmat yang kurasakan ada pada kentut dan dirinya. Dia dan kentut hampir tak ada beda, sempurna sebagai penyakit sekaligus penyempurna hidup. :-) Jika tak ada kentut dan orang seperti dia, hidup terasa hambar, kurang dinamis. Hehehe.
Tentang bau dan omelan orang di sekitarku, aku tak mau terlalu peduli, toh bau kentut dan omelan mereka tidak akan lama paling hanya beberapa menit setelah itu keadaan akan kembali tenang. Jadi, karena melepas “kekasih yang penghianat”sama halnya dengan membuangkentut, tentu akanada yang merasa tak nyaman, risih dan mengomel,tapi tenang hal itu juga tidak akan bertahan seumur hidup paling hanya hitungan hari keadaan akan kembali normal. :-)
Sebenarnya sih, melepasnyaitu sama dengan ketika aku kebelet kentut di dekat orang banyak yang semuanya itu orang terhormat. Aku sempat dihadapkan pada dilema, memilih antara kentut atau tidak. Jika aku tidak kentut dan memilih mempertahankannya dalam perut, akibatnya perutku mules dan itu menyiksa diri. Jika aku kentut? Hem, imageku dipertaruhkan. Pertama, bisa saja aku akan dicap sebagai orang kurang ajar tak beretika, dan orang-orang akan menatapku sinis. Kedua, orang-orang tidak peduli dengan kentutku dan memilih diam bersikap acuh tak acuh alias cuek bebek. Ketiga, ada orang yang peduli tapi memilih diam saja dan husnuddzan terhadapku, misal mengira aku sedang sakit dan jika tidak kentut sakitku akan tambah parah jadi orang itu membiarkanku kentut. Keempat, ada yang peduli pada kentutku dan prihatin, jadi si orang ini akan memberiku saran untuk mengeluarkan sisa kentutku atau menawarkanku minyak putih agar perutku tidak kembung. Hanya saja, dari keempat opsi yang paling mungkin adalah yang pertama. Namun meski seperti poin pertama yang terjadi, aku tetap memilih melepas kentut. Aku sudah mengatakan, aku tidak ingin sakit apalagi mati hanya karena tidak kentut. Titik.
Jadi karena aku lebih memilih melepaskekasih yang penghianat seperti melepas kentut di samping orang-orang terhormat, aku harus siap waspada dengan imageku yang akan berubah di mata orang lain. Perlu diketahui, aku tidak terlalu peduli dengan imageku di mata orang-orang, mau aku dicap sebagai apa pun, aku tidak akan merubah sikap. Jelasnya, aku tidak akan bertambah lebar kuping karena imageku distempel bagus dan tidak akan berkecil hati jika imageku distempel buruk. Yang paling urgen, aku mengikuti yang kuyakini saja, yakni tidak ingin sakit apalagi mati kerena menahan kentut (termasuk dia) dalam diriku.
Nah, ini ceritaku. Lalu apa ceritamu? Hehehehehhe.
Sasar, 24 Mei 2014
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

TERRO NGALELENGAH*

Muktir Syaifullah Munir

            Rhenald Kasali, guru besar Ilmu Manajemen di Universtas Indonesia pada tahun 2009, menganalogikan dunia dan isinya ibarat sebuah buku. Memiliki banyak halaman dan beberapa bab sedang setiap halaman berisi pengetahuan. Mereka yang tidak melakukan perjalanan, alias hanya menginjakkan kaki di satu tempat saja dapat diibaratkan hanya baca satu bab.
            Saya setuju dengan yang dikatakan beliau, karena itulah tiga dari sepuluh keinginan saya adalah berjelajah. Mengunjungi berbagai tempat yang layak dan belum saya kunjungi, adalah satu hal yang sering memenuhi pikiran. Dengan berjelajah ke tempat-tempat --yang bahkan orang terdekat saya belum pernah melakukannya—bisa membantu saya mengetahui banyak hal.
            Sederhananya, saya lebih banyak bahan untuk diceritakan ke orang-orang perihal tempat yang sudah saya datangi sedang mereka belum pernah. Dengan kata lain, saya menjadi orang yang lebih kaya pengalaman. Ingin seperti Apollo telah mengelilingi dunia atau seperti Gusdur yang mengunjungi banyak tempat di belahan bumi. Seperti Luffy, tokoh utama di manga One Piece, mengelilingi dunia menempa pengalaman, saya juga ingin melakukannya. Pasti sangat menyenangkan, kerena selain banyak hal baru yang akan saya temui juga karena saya bisa menambah banyak teman.
            Ya, itu mimpi saya sewaktu kecil. Mimpi yang dipoles dengan warna indah dan menyenangkan. Terlampau sangat menyenangkan hingga yang terjadi tanpa sadar saya melamunkan tempat yang menyenangkan itu. Tidak tanggung-tanggung, tempat yang ingin saya tuju adalah luar angkasa. Saya ingin berkunjung ke rumah Raja Emperound—salah satu tokoh di kartun Dragon Ball—yang digambarkan berlokasi di sebuah planet yang hanya seukuran lapangan sepak bola dan sangat jauh dari bumi. Mimpi saya sewaktu kanak memang terlalu kekanak-kakan. Sebuah imajinasi yang tidak akan terjadi di dunia nyata, atau… mungkin saja akan terjadi. Hem, entahlah, saya kadang masih berharap tempat semacam itu ada.
            Berbekal kreatifitas yang lahir dari sebuah imajinasi, bersama teman-teman kecil saya mengawali penjelajahan ke bukit-bukit. Membawa peralatan selengkapanya layaknya sekelompoh Power Ranger yang sering kami tonton tiap hari Minggu, kami membawa tongkat—sebenarnya hanya kayu atau bambu panjang yang kami sepakati adalah tongkat Power Rangers—berkekuatan besar, gelang, pedang-pedang(an) dan senjata lain. Kami meyakini, dengan senjata itu kami bisa melakukan perjalanan dengan selamat. Terbukti, bukit yang lumayan jauh dan tinggi untuk seukuran saya waktu itu, mampu saya taklukkan bersama teman-teman. Tidak hanya sekali saya melakukan penjelajahan semacam itu, tapi telah menjadi kegiatan rutin setiap pekan baik dilakukan bersama teman ataupun sendiri.
            Menginjak usia remaja, saya merasa bosan hanya menjelajah bukit-bukit yang terdapat di kampung kelahiran. Saya ingin mengunjungi tempat lain yang lebih jauh ke luar Kabupaten, misalnya ke pulau Jawa atau pulau selain Madura. Hanya saja, ada sesuatu yang sering mencegah saya untuk melakukan penjelajahan ke tempat yang lebih jauh tersebut. Masalah terbesarku adalah Aku ‘pemabuk darat’.
            Namun meski aku ‘pemabuk darat’, pada akhirnya aku tidak lagi takut pada bus atau mobil. Bermodalkan nekat, mula-mula aku mengunjungi Pamkasan, Bangkalan, Surabaya, Jombang, Nganjuk, Jeber, Malang, Lumajang, Tuban, Lamongan dan terjauh Bontang Kalimantan Timur. Mabuk karena kendaraan sudah bukan lagi masalah besar bagiku, sebab aku mulai terbiasa dan kata-kata Muktir mabuk lambat laun mulai menghilang. Jujur, sekarang aku masih terus menambah daftar keinginan mengunjungi tempat-tempat yang lebih jauh bahkan sampai luar negeri. Semoga keinginanku tercapai dan diridhai Allah. Amien.

23 April 2014

Catatan; Terjemahan Bahasa Indonesia, “Ingin Jalan-Jalan”
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

SEKILAS MEMANDANG SASAR

Muktir Rahman Syaf

            Pada tahun 2009 ketika aku baru menyelesaikan studyku selama satu tahun di Surabaya, aku kembali ke Sasar. Kondisi kampung Sasar pada saat itu sudah lebih mending dari kondisi sebelumnya, terutama menyangkut pendidikan. Jika dulu di Sasar sulit menemukan masyarakatnya yang lulusan MTs. sederajat, kala itu ketika aku baru kembali dari rantau telah kutemukan remaja Sasar tidak segan melanjutkan sekolahnya ke jenjang MTs. bahkan ada sebagian yang melanjutkan ke jenjang SMA. Perubahan yang harus disyukuri.
            Berbeda dengan kondisi sebelumnya, ketika aku dan segelintir remaja yang lain menempuh pendidikan di jenjang sederajat SMP sekitar tahun 2002-2005. Banyak orang yang mencemoh dan mengenyek kami karena melanjutkan sekolah. Bagi sebagian besar masyarakat Sasar, sekolah itu cukup hanya di SD atau bisa membaca al-Quran saja, sehingga melanjutkan ke SMP dan jenjang yang lebih tinggi tidak begitu penting. Sekolah tidak jadi prestise keberhasilah, justru laki-laki dikatakan sukses jika mereka bisa bertani seperti orang tuanya dan hanya cendrung itu-itu saja atau jika ingin lebih terpandang jadilah TKI, sedangkan yang perempuan dinyatakan berhasil jika menjadi seorang istri. Pradigma tersebut terkadang menyudutkan orang yang lebih memprioritaskan sekolah.
            Namun 2009 menjadi tahun yang cantik. Masyarakat mulai mengakui pentingnya sekolah, karena itulah anak-anaknya mulai diarahkan untuk melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Sejak tahun 2009, Sarjana muda mulai bermunculan di kampung Sasar. Mereka yang putus sekolah mulai melanjutkan sekolah dan sekarang menjadi Sarjana. Bagi yang merasa cukup tua, mereka mengikuti program paket agar bisa merasakan bangku kuliyah.
            Pada tahun 2014 ini di kampung Sasar sangat nampak perbedaannya dengan Sasar yang dulu, sebelum tahun 2009. Dalam hitungan bulan putra Sasar yang melanjutkan kuliyah di luar akan wisuda. Ada yang akan diwisuda di Unisa Surabaya, Unmer dan UIN Maliki Malang, Stain dan Unira Pamekasan, STKIP PGRI dan Universitas Wiraraja Sumenep. Kelulusan mereka menambah daftar sarjana terdahulu yang lulus dari INSTIK Annuqayah dan IDIA Al-Amien Sumenep.
            Bertambahnya sarjana muda di kampung tercinta tidak bisa dipungkiri mampu mengubah pradigma berpikir masyarat yang semula stagnan dan cendrung pasif ke pola berpikir yang lebih dinamis dan inovatif. Itu dibuktikan dengan semakin sedikitnya pemuda yang berminat bekerja ke luar Madura bahkan ke luar negeri. Berbeda dengan dulu, hampir 80% pemuda kampung Sasar merantau untuk mencari nafkah[1].
            Para pemuda seakan telah bisa mengelola kekayaan di kampung sendiri. Mereka tidak terlalu kebingungan untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari sebab mereka mampu mengatasinya dengan keterampilan masing-masing dan bisa diterapkan di Sasar. Penghasilan mereka tidak lagi hanya berpangku pada tani jagung dan tembakau atau ternak sapi yang terlalu lamban, melainkan dari hal lain yang lebih inovatif. Ada yang jadi pengusaha dagang barang rongsokan; bertani jahe, kencur, bawang dan kemiri; ternak ayam petelur dan ayam daging; kambing dan sapi sistem ternak cepat; unit kegiatan usaha menengah; dan semacamnya. Pada intinya, ekonomi masyarakat Sasar sedikit demi sedikit telah terangkat.
            Namun semua itu masih belum selaras dengan emansipasi yang diperjuangkan Ibu Kartini. Aku mendapatkan pendidikan tinggi belum bisa dirasakan oleh semua remaja putri Sasar, dan penyebabnya adalah masalah jodoh. Pasangan hidup menjadi sesuatu yang menghantui perempuan di Sasar. Masyarakat yang memiliki anak perempuan yang usia SMP jika belum ada yang melamar, maka hal itu menjadi aib keluarga. Mereka dihantui rasa takut anaknya tidak laku dan akan jadi perawan tua, sehingga jika ada laki-laki yang melamar putrinya tersebut maka dengan segera diterima sekalipun putrinya masih ingin meranjut mimpinya di bangku sekolah. Positifnya dari pola berpikir seperti itu adalah terhindarnya prilaku amoral remaja Sasar seperti yang terjadi di kota-kota metropolitan, yakni pacaran tanpa arah yang jelas dan juga mencegah status perawan tua. Dampak negatifnya adalah remaja putri Sasar menjadi tua tidak pada waktunya, sebab menjadi ibu dari beberapa anak justru ketika teman sebayanya tengah bergelut dengan materi kuliyah. Dampak negatif lainnya adalah ketika laki-laki yang melamar si perempuan tidak mengenyam pendidikan lebih tinggi dari calon istrinya—biasanya lamaran lelaki semacam itu tetap diterima dengan alasan mumpung ada yang melamar—sehingga yang terjadi perempuan tertinggal dari laki-laki dalam hal pendidikan.
            Adalah harapan terbesarku remaja kampung Sasar segera melek pendidikan semua tanpa terkecuali; Putra putri Sasar memiliki kesempatan yang sama merajut mimpi di bangku sekolah dasar sampai di bangku sekolah tinggi; Pemuda Sasar mampu mengelola kekayaan tanah kelahiran dengan maksimal sehingga tidak tergiur dengan tawaran pekerjaan di daerah lain apalagi di luar negri. Terakhir, semoga harapanku diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Amien.

Sasar, 23 April 2014


[1] Sumber, hasil survei dalam skripsi berjudul Urgensi pendidikan moral sejak dini di Kampung Sasar desa Moncek Barat Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Muktir Rahman Stress

Tuhan, saya tuliskan yang sedang saya rasakan. Ingin saya keluhkan kepadaMu, karena Engkau yang bisa menerima keluh kesah saya. Seperti yang telah Engkau katakan bahwa Engkaulah tempat mengeluh dan memohon.
Tuhan, inilah yang akan saya curhatkan kepada Engkau.
Tuhan, dengan segala penuh harap berilah saya pengetahuan sekaligus pemahaman tentang ikhlas dan sabar. Demi Engkau Yang Maha Tahu, sungguh saya kurang bahkan tidak sama sekali mengerti tentang ikhlas dan bagaimana pula berlaku ikhlas, juga saya tidak mengerti sepenuhnya cara bersabar.
Menurut orang-orang yang sepertinya dekat denganMu, Tuhan, orang yang sabar dan ikhlas akan disayang olehMu. Pahamilah bahwa saya juga ingin disayang olehMu, karena itulah saya bertekad belaku ikhlas dan sabar.
Seseorang pernah menasihatiku agar ikhlas dan sabar untuk mencapai yang kucitakan. Jadi intinya, aku harus lebih dulu mengerti bagaimana bersabar dan ikhlas untuk memcapai cita-cita. Tuhan, sepenuhnya saya yakin kalau Engkau tahu apa yang saya citakan itu. Ya, saya ingin jadi penulis. Banyak hal yang ingin saya abadikan dengan tulisan mulai dari hal kecil sampai hal yang besar.
Beberapa hal telah saya tempuh untuk mencapai cita-citaku itu. Saya berkali-kali belajar menulis pada teman yang telah jadi penulis, tapi tetap saja yang saya tulis belum bisa juga bagus. Banyak yang menasihati saya agar supaya sabar dalam beruasaha dan ikhlas dalam berkorban untuk menuju seukses. Saya pun coba bersabar dan ikhlas, tapi a la saya sendiri, dan nyatanya aku tetap saja gagal. Menurut teman-temanku aku gagal karena sabar dan ikhlas yang saya terapkan bukanlah sabar atau ikhlas yang sebenarnya. Jadi, apa dan bagaimana sebenarnya sabar dan ikhlas itu?
Tuhan, inilah permintaan saya. Saya memohon kepada Engkau pahamkanlah hambaMu ini tentang bagaimana berlaku sabar dan ikhlas dan juga buatlah saya mengerti bagaimana cara terbaik mencapai keinginan saya menjadi penulis. Dan satu hal lagi Tuhan, ridhailah saya menjadi penulis dan sayangilah saya ini baik sebelum mau pun nanti ketika benar-benar menjadi penulis.
Okelah Tuhan, ini saja dulu yang bisa saya sampaikan kepadaMu. Saya mohon jagalah diri saya selalu ya Tuhan… I Love You, Tuhan…..

Sasar 09201305
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Wednesday, March 5, 2014

KAMPUNG SASAR TUH, ASYIK!

Keakraban bisa terjalin karena adanya saling pengertian. Saling pengertian muncul tidak hanya karena memiliki persamaan, tapi lebih karena bisa mengesampingkan egoisme. Seperti halnya keakraban ketiga orang pemuda dari kampung Sasar. Bertiga mereka saling mengerti, bahkan tanpa harus diucapkan antara satu dengan lainnya. Semisal ketika ada yang sedang gusar, sedih, senang dan sejenisnya, yang lainnya segera mengerti. Bersama, mereka pun berbagi; senang, sedih, manis, pahit dan semacamnya. Begitulah Aku, Nafi’ dan Syakur memaknai PERSAHABATAN.
Terlahir di kampung yang sama bernama Sasar, menjadikan kami sahabat tak terlepaskan. Sekali pun ada beberapa usaha orang lain untuk memecah persahabatan kami, sampai sekarang usaha mereka itu gagal. Justru yang terjadi, kami semakin erat. Keeratan persabatan kami ditandai dengan seringnya bersama untuk melakukan hal-hal tak terduga di kampung kami.
Banyak hal “tak biasa” kami lakukan untuk sekedar meramaikan kampung kelahiran. Kami bertiga selalu berinisiatif agar kampung kami terasa lebih hidup dan selalu terjaga. Maka, jadilah ulah-ulah konyol sering kami lakukan.
Pernah kami meramaikan kampung Sasar dengan mendirikan warung. Suatu malam, kami sepakat mendirikan warung di samping rumah Nafi’ yang rumahnya tepat di pinggir jalan dan paling strategis untuk misi ini. Pada malam Jumat kami mulai beraksi dengan mempersiapkan sound system. Sound itu disetting layaknya untuk sebuah acara pernikahan. Kami kumpulkan sound yang kami miliki, kemudian kami merangkainya menjadi sound yang tak kalah dari Sanzibar, Hitam Putih, 98 dan Sakera yang sering digunakan untuk acara besar di kampung kami. Boleh dikata sound rangkaian kami itu, tidak mengecewakan untuk pentas orkes.
Pagi harinya, kami bertiga tidak bisa menahan tawa mendengar obrolan seorang tetangga dengan ibu Nafi’. Si orang yang kebetulan lewat itu menanyakan pada ibu Nafi’, “Ada hajatan apa, Bu?” Kontan saja ibu Nafi’ bingung menjawabnya. Namun, orang-orang segera mengerti kalau sound itu bukan untuk hajatan melainkan ulah kami bertiga. Para tetangga seperti sudah maklum dengan adanya sound di rumah Nafi’, terlebih sound itu tidak pernah berbunyi kecuali di malam hari, di waktu yang tak wajar tentunya. Ya, sound itu melantunkan berbagai gendre musik pop, dangdud dan band. Semakin malam, sekitar jam 12 sampai subuh diganti dengan murottal al-Quran dari Mishary Rashid Al-Fasy. Lantunan lagu dari sound itu menemani kami mendirikan sebuah warung.
Pekerjaan sengaja kami pilih di waktu malam, sebab lebih tenang dan enjoy, juga agar orang-orang penasaran. Apa yang kami harapkan benar terjadi. Siang harinya, tetangga apalagi yang ibu-ibu heboh membicarakan warung di samping rumah Nafi’. Mereka tidak menanyakan langsung kepada kami perihal warung itu, sebab kami tidak akan memberitahunya. Kalau sudah begitu, bisa dipastikan ibu Nafi’ yang jadi sasaran pertanyaan mereka. “Mau jualan apa, Bu?”, “Enak lo, kalo ibu buka usaha warung nasi”, “Si Nafi’ mau buka usaha Conter ya, Bu?” dan kalimat sejenis ditujukan ke ibu Nafi’. Lagi-lagi kami bertiga tidak bisa menahan tawa, apa lagi ibu Nafi’ menjawab tidak tahu kepada mereka. Memang kami sengaja tidak memberi tahu rencana kami ke orang lain, termasuk ibu Nafi’.
Selama seminggu warung itu berdiri tanpa ada aktifitas, selain malam hari tentunya. Itu pun hanya kami jadikan sebagai tempat ngumpul, bahkan tampat tidur. Perlu kalian semua ketahui, kami bertiga tidak butuh tempat mewah untuk tidur apalagi jika tidurnya bertiga, di halaman rumah pun jadi. Sebab itulah, tidur di warung yang kami dirikan “sekedarnya” itu, tidak masalah bagi kami.
Selama seminggu, orang-orang—terlebih yang ibu-ibu- melontarkan pendapatnya pada warung “siluman”. Ada yang mengira kami bertiga hendak mebuat WARNET, ada yang bilang warung nasi, ada yang beranggapan warung kopi, rental playsteson, conter pulsa dan sebagainya. Namun yang jelas, mereka tidak menanyakan langsung kepada kami bertiga. Mereka hanya menduga-duga atau bertanya ke ibu Nafi’ yang tidak tahu menahu.
Merasa kasihan kepada mereka yang masih menduga-duga, kami memberitahukan kepada mereka bahwa kami akan berjualan gorengan dan akan dimulai besok, pada hari jum’at pagi. Langsung saja kabar tersebut menyebar. “Nafi’, Syakur dan Muktir akan jual gorengan”, begitulah kabar itu meluas dari mulut ke mulut (ibu-ibu).
Pada malam jumat, kami mempersiapkan segala sesuatu untuk jualan besok. Tepung drigu 25 kilo, tempe 3 papan, tahu satu bak, alat penggorengan dan hal lain yang berkaitan dengan gorengan. Bermodal sedikit ilmu dari hasil riset ke para penjual gorengan di pasar Kapedi, kami pun merasa siap mejadi pengusaha dagang gorengan di kampung Sasar.
Sekitar jam 05:30, seorang calon pembeli pertama datang ke warung kami. Dia hendak membeli gorengan yang akan kami jual. Sayangnya, si para pengusaha gorengan masih terlelap dan terpaksa si calon pembeli pertama itu harus membangunkannya dan mengingatkan tentang gorengan. Ah, calon pembeli yang baik menurut kami.
Setelah melakukan persiapan, kami pun mulai berjualan. Kami berbagi tugas, Syakur menggoreng, Nafi’ melayani pembeli dan aku yang membuat adonan untuk digoreng. Selang satu jam, kami kewalahan sebab kerja kami kalah cepat pada pembeli yang terus berdatangan. Singkat cerita beberapa ibu-ibu, yang hobi ngegosib dan hendak membeli gorengan dari kami tapi karena kasihan, akhirnya menjadi penolong kami. Mereka membantu membuatkan adonan, melayani pembeli yang lain dan membantu menggoreng. Di tangan ibu-ibu itu, pekerjaan membuat gorengan teratasi dengan mudah.
Setelah seharian, dari sekitar jam 06.00 sampai 21.00, akhirnya jualan pun ludes. Hasil dari jualan georengan itu memang tidak banyak, tapi cukuplah untuk duduk lama di warnet. Setelah berjualan, pada jam 21.30-an, kami langsung menuju warnet di pasar Kapedi. Tarif perjam di warnet itu Rp.2000.00. Masing-masing dari kami menghadapi satu komputer. Lebih dari tiga jam berselancar di internet, kami pun memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah Nafi’, sekitar jam 01.00 dini hari, kami memiliki rencana baru. Rencana yang lagi-lagi tak terduga, dan sintingnya kami bertiga sepakat. Rencana tak terduga itu adalah “meringkasi” warung dan aksesorisnya. Jadilah, warung itu kami robohkan dan menghilangkan jejak adanya warung gorengan di samping rumah Nafi’. Warung gorengan tinggal cerita dan memang itulah yang sejak awal kami inginkan. Dan bisa ditebak, lagi-lagi kampung Sasar ramai. Orang-orang, terutama ibu-ibu, membicarakan Warung Gorengan yang bagai siluman, tiba-tiba hilang padahal banyak yang datang untuk membeli gorengan. Dan sekali lagi, ibu Nafi’ jadi sasaran pertanyaan mereka.

Sasar, 03 Maret 2014

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Wednesday, February 26, 2014

GUNDULI KEPALA; Jangan Hutan

“Rambut adalah mahkota.” Ujar salah satu teman yang rambutnya niru gaya personel Soju, di saat kami ngumpul melepas penat di sore hari.
“Laki-laki terlihat tampan atau tidak, tergantung model rambutnya” teman yang lain menanggapi sambil mengelus rambut berkuncirnya.
Obrolan seputar rambut terus berlanjut. Masing-masing orang memiliki persepsi sendiri model rambut seperti apa yang cocok. Ada berasumsi, rambut panjang dan lurus sangat bagus, ada yang lebih memilih rambut punk, dan ada yang lebih cocok dengan model rambut gaya tentara.
Aku sendiri mengiyakan semua pendapat teman-teman tentang rambut, “Seseorang semakin tampak tampan atau cantik karena potongan rambutnya yang cocok.”

 Semua tidak harus memiliki model potongan rambut yang sama untuk tampak bagus. Misal si A mengikuti gaya rambut si B yang ganteng agar si A tampak ganteng pula. Hal itu tak perlu, sebab face wajah setiap orang tidak sama. Karena tidak sama, maka gaya rambut tidak harus sama, yang perlu diperhatikan adalah sesuai dengan bentuk kepala, kepribadian dan face wajah.

Bayangkan saja jika seorang kiai, ulama besar dan sangat dihormati masyarakat, gaya rambutnya a la Boy Band atau lebih esktrem lagi a la anak punk. Wah, ketika khotbah jumat  dijamin heboh. Hehehe. Atau malah sebaliknya, seorang anak punk rambutnya disisir rapi rata ke kanan ditambah pakai kaca mata jadul bulat terus kancing bajunya terpasang semua. Aku tidak yakin lagi si anak ini diakui sebagai anak punk.

Pembicaraan panjang lebar teman-teman menambah refrensi padaku tentang mode rambut. Gaya rambut tentara, model serabut, punk, panjang sebahu, kuncir panjang di belakang dan beberapa model rambut yang tak ku tahu namanya. Mode rambut yang “belum pernah” aku coba, boleh dikata rambutku tidak mengikuti mode terkini seperti teman-temanku. Rambutku kalau gak pendek, ya panjang.

Aku teringat suatu hari pernah seorang teman mengatakan ingin melihat aku gundul. Aku tak mengerti kenapa dia menginginkannya, tapi memang seingatku aku tidak pernah gundul. Belum kebayang gimana kalau kepalaku tanpa rambut, sebab aku lebih sering membiarkan rambutku terjuntai panjang. Hem, aku berpikir tidak ada salahnya mengabulkan keinginan temanku itu. Semoga saja dia bisa tersenyum karena kepala gundulku, siapa tahu dengan begitu aku masuk surga. Amien. Hehehehe

Kepada teman-teman aku utarakan bahwa aku akan potong rambut. Mereka terdiam seakan tak percaya. Aku mengerti kenapa mereka tencengang, tak lain sebab rambutku masih pendek. Yang mereka tahu, aku tidak mungkin memotong rambut pendekku sebab aku terbiasa berambut panjang. Ekspresi mereka hampir sama dengan tukang cukur suatu ketika di salon saat aku datang untuk potong rambut. Si tukang cukur itu tidak langsung memotong rambutku yang kala itu panjangnya sampai punggung. Dia ngoceh sendiri menasihatiku untuk memikirkan matang-matang keinganku potong rambut sesisir atau sekitar 2 inci. Katanya butuh waktu lama agar rambut panjang, apalagi panjangnya sampe punggung. “Mas, kalo urusan pangkas rambut itu gampang, hitungan menit beres. Pikir-pikir dulu lah, Mas… sulit loh untuk laki-laki rawat rambut sampai sepanjang ini” nasihat si tukang cukur diulang-ulang. Namun aku telah memutuskan untuk memangkas rambutku kala itu, maka si tukang cukur pun meski ada rasa kagak enak tetap memotong rambutku sesisir.

Teman-temanku kurang percaya dengan keputusanku. Perbincangan kami tentang rambut diakhiri dengan sebuah tantangan. Mereka menantangku untuk plontos, dan mereka bertaruh aku tidak berani. Waktu dibatasi sampai ke esokan hari. Jika besoknya kepalaku tidak gundul, maka aku kalah. Semua yang berkumpul menyatakan sepakat, itu artinya ada waktu 13 jam untukku. Kesempatanku sejak aku menyetujui tantangan pada jam 17.00 hari Senin tanggal 24 Februari 2014 sampai jam 06.00 Selasa, 25 Februari 2014.

Tepatnya sehabis jamaah isya’, aku ke rumah tetangga bernama Sampandi. Aku berniat minta bantuannya menggunduli kepalaku. Aku pikir, tak perlu buang uang ke salon hanya untuk buang rambut. Mending kan pilih gratisan dan hasilnya sama; kepala gundul.

Sekitar satu jam, rambutku berhasil dipangkas habis. Ku raba, terasa licin. Hahaha, semoga saja tidak menyebabkan longsor dan banjir seperti hutan yang digunduli. Sampai di sini, timbul pertanyaan di kepalaku; kenapa mereka lebih senang menggunduli hutan ya, bukan menggunduli kepala sendiri? Menggunduli hutan bisa menyebabkan bencana, sendang menggunduli kepala tidak. Hem, payah. Jika mereka (yang suka merusak hutan) berpikiran seperti teman-temanku bahwa rambut adalah mahkota keindahan sehingga harus dirawat, begitu pula seharusnya pada hutan. Tumbuhan di hutan adalah mahkota keindahan dan harus dirawat, bukan dipangkas habis kemudian dimusnahkan, agar bumi tetap indah dan sejuk. Weekkkkk…

Keesokannya, aku langsung menemui teman-temanku memperlihatkan kepalaku. Mereka semua tertawa, begitu pula aku. Hahahahha…. Kepalaku benar-benar gundul.

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/1800188_10200898034208058_903497307_n.jpg?oh=32bfe1560eb42551fd0876b94c9cba83&oe=589BC1F3
25 Februari 2014
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Tuesday, February 25, 2014

Kaya Hati Pasti Punya WC

Bersama adiknya, dia sedang membuat jurang di belakang rumahnya ketika aku datang bertandang. Senyumnya mengembang menyambutku seperti biasa di setiap perjumpaan kami. Senyum itu yang sering aku rindunkan darinya. Senyum yang hanya dimiliki oleh sahabat karibku.

Aku membantunya menggali semampuku. Ternyata tak semudah yang kulihat, sulitnya terasa sampai ubun-ubun, sebab testur tanahnya keras dan banyak hamparan bebatuan. Kami harus menyingkirkan batu-batu itu menggunakan peralatan sederhana, linggis, tumbuk, cangkul dan penacal. Jika dikerjakan ahlinya, sehari sudah mencapai kedalaman 2 – 3 meter. Ini karena dikerjakan oleh kami --yang tidak biasa melakukan pekerjaan menggali-- sehari hanya sedalam 1 meter.  

Di sela pekerjaan, aku tanyakan kenapa tidak menggali di tempat yang lain. Dia pun menjelaskan bahwa sudah mempertimbangkannya dengan matang, dan hanya di sana tempat yang cocok. Setelah itu, aku tidak bertanya lagi meski aku penasaran untuk apa jurang itu. Kami kembali ke pekerjaan kami, menggali dan menggali selama empat hari sampai akhirnya hasil galian kami menyerupai sumur sedalam 5 meter dengan lebar 2 meter.

Selanjutnya, dia menceritakan mimpinya padaku. Dia memiliki mimpi yang besar, yaitu membangun sebuah WC di rumahnya. Aku terkejut saja demi mendengar semua itu. Bagaimana mungkin orang seperti dia masih sempat-sempatnya ingin membangun WC, padahal dia tak sekaya para tetangganya yang tidak memiliki WC. Lebih terkejut lagi, uang yang telah dia rencanakan untuk membeli motor baru malah dialokasikan untuk proyek-nya. Seharusnya dia tetap membeli motor baru agar dia memiliki motor seperti para tetangganya. Bayangkan saja, para tetangganya memiliki rumah yang lebih wah dari rumahnya, memiliki kendaraan pribadi, uang yang lebih banyak tentunya dari sahabatku itu, tapi mereka tidak sibuk membuat WC. Mereka berpikir, WC itu tidak lebih penting dari memiliki motor baru atau perhiasan. Karenalah, kebanyakan anak-anak mereka diberangkatkan ke kota-kota besar bahkan ke luar negeri untuk bisa membeli kendaraan pribadi, memiliki perhiasan dan memperindah rumahnya, bukan untuk memiliki WC.

Aku teringat pada diriku sendiri. Di rumahku tersedia dua WC, di dalam rumah dan di samping rumah, juga bangunan WC yang lebih besar ada lumayan jauh di depan rumah. WC di dalam rumah, untuk kalangan pribadi, yang di samping rumah untuk tamu yang berkunjung, dan jauh di depan rumahku adalah untuk umum. WC yang untuk umum itu adalah sumbangan dari pemerintah Sumenep.

Pada tahun 2012, aku menjabat sebagai ketua POKMAS Putra Segoro kampung Sasar. Pada masa jabatanku, Putra Segoro dipercaya untuk mengelola uang dana hibah dari pemerintah untuk program pembangunan infrastruktur pedesaan dan percepatan Infrastruktur peningkatan ekonomi kerakyatan. Uang sebesar Rp. 10.000.000,- berdasarkan kesepakan kami anggarkan untuk membangun MCK dengan luas 8x4 meter dan tinggi 5 meter berlokasi di Madarasah Miftahul Ulum. Lembaga pendidikan yang dari segi pembangunan masih memprihatinkan.

Pembangunan MCK tersebut, dikerjakan oleh 8 orang, termasuk aku dan sahabatku. Itu adalah pertama kalinya aku menggali jurang, mengangkut batu, bergelut dengan semen dan tanah liat, mengecor, merangkai kawat cor dan memikirkan cara bagaimana agar para pekerja tetap semangat bekerja. Di samping itu, aku masih disibukkan dengan berkas yang harus dilengkapi dan disetor ke dinas PU CIPTA KARYA. Meski lelah, aku menyenangi pekerjaan itu karena di sana ada kebersamaan dan kekompakan. Ada tawa, keringat dan canda. Karena MCK itu pula, aku bisa akrab dengan warga kampung Sasar yang lama aku tinggal merantau.

Sampai saat ini, gara-gara pernah berkutat dengan pembangunan MCK, aku sering menaruh perhatian lebih pada WC. Aku tidak lagi jijik pada WC. Jika mampet dan saluran pembuangan tidak lancar, segera aku memperbaikinya sekalipun harus masuk ke lubang yang aduhai…. keren abis. Hehehe :D Tidak perlu aku menunggu orang lain untuk membersihkan WC setiap minggu, aku sudah siap sedia menjaga kebersihannya. Setiap minggu aku sempatkan untuk membersihkan WC termasuk kosen yang lebih sering harus aku kerok pake benda keras semisal pecahan kramik karena kotoran yang berkarang indah di cekungan kosen. Tentulah dibantu dengan cairan pembersih yang ku beli di toko. Cairan pembersih lantai dan kosen itu, aku beli dengan uangku sendiri, sebab tidak ada orang yang mau membelikannya. Bahkan meski WC umum itu banyak yang memanfaatkannya.

Dengan membersihkan WC atau toilet, aku merasa lepas dari semua beban. Pikiranku terseret untuk fokus pada kosen, lantai dan pintu bagaimana supaya tetap bersih. Jika aku sedang dirundung masalah, sedang marah, sedih, aku memilih membersihkan kamar mandi dan WC. Aku teringat sebuah cerita tentang seorang istri yang tidak pernah marah pada suaminya padahal suaminya sering memarahi istrinya itu. Terdorong oleh rasa penasaran, si suami kemudian menanyakan kenapa istrinya bisa begitu. Si istri dengan senyum khas menjawab, jika dia marah, dia akan lari ke toilet lalu membersihkannya. Si suami masih penasaran kenapa hanya dengan membersihkan toilet, istrinya bisa melupakan kemarahannya, lalu kemudian si istri menjelaskan bahwa setiap membersihkan kosen, dia menggunakan sikat gigi yang sering digunakan suaminya itu. :D

Berbeda dengan yang aku rasakan, sahabatku punya alasan yang lebih masuk akal. Dia berpikir untuk membuat WC karena dia punya ibu yang sudah tua, saudara perempuan dan ponakan perempuan yang sudah remaja. Dia tidak ingin perempuan di rumahnya itu kerepotan untuk menuntaskan hajatnya membuang bekas makanan yang mengendap di perut mereka. Tidak seperti para tetangganya yang memilih menuntaskan hajat di persawahan, kali dan pegunungan. Hehehe.

Sempat lama melamun karena terkagum sama keputusan sahabatku, aku pun sadar bahwa dia adalah orang yang sesungguhnya kaya. Dia lebih kaya dari tetangganya yang memiliki kendaraan pribadi, dari tetangganya yang memiliki rumah lebih wah atau yang memiliki perhiasan sekarung tapi tidak memiliki WC. Lebih tepatnya, dia memiliki kekayaan hati dan pikiran sehat dari pada tetangganya.


Sasar, 11 Februari 2014.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Sunday, February 23, 2014

PECINTA AL-QURAN DARI SASAR

Kampung yang unik

            Sasar adalah nama sebuah kampung perbatasan lima desa; Kapedi, Moncek Barat, Moncek Tengah, Moncek Timur dan Bilapora. Penduduk yang menghuni kampung Sasar sekitar 1095 jiwa dengan 367 kartu keluarga. Sekitar 406 jiwa berstatus penduduk desa Moncek Barat, 608 dari desa Kapedi,  31 jiwa desa Bilapora dan sisa 50 jiwa dari Moncek Tengah dan Moncek Timur. Di kampung inilah aku dilahirkan. Kampung yang bagiku sangat unik dan menyenangkan.
            Salah satu keunikan yang dimiliki kampung Sasar adalah ketiga pemuda yang sekaligus sahabat karibku. Mereka memberi warna berbeda pada kampung tercinta dibanding kampung yang lain. Aku bersyukur bersahabat dengan mereka dan lahir di kampung yang sama.
            Seorang dari mereka bernama Nafi’udin. Dia termasuk sahabatku yang dibilang nyeleneh oleh tetangga, namun sampai sekarang aku tidak paham hal nyeleneh apa yang pernah dia lakukan. Barang kali karena dia seorang pengusaha dagang barang rongsokan. Dia membeli rongsokan pada tetangga dan pemulung untuk kemudian dia jual kembali. Ah, aku rasa itu tidak nyeleneh. Pekerjaannya halal dan tidak salah, toh banyak juga yang berprofesi seperti dia. Apa mungkin karena dia bisa membeli motor baru karena usahanya itu? Entahlah, yang jelas aku mengaguminya.
            Benar dia bukan karyawan kantoran atau pejabat pemerintah, hanya seorang pedagang barang bekas. Benar pula bahwa dia dari keluarga sederhana, tapi dia adalah pecinta al-Quran sejati. Setiap hari jumat dan rabu, dipastikan dia hatam membacanya. Tidak pernah dia bosan membaca dan memperdalam isi kitab suci al-Qur’an. Satu hal lagi, dia tidak mengenyam pendidikan di pesantren atau lembaga formal. Ijazah yang dimilikinya adalah ijazah paket, namun dia ahli nahwu dan sorrof. Membaca dan mengartikan kitab turos, dia bisa.
Seminggu yang lalu dia menikah dengan putri kiai terkemuka di Sasar. Al-hasil, si pemuda pedagang barang rongsokan itu menjadi seorang kiai.
            Orang yang kedua bernama Abd. Syakur. Pemuda yang satu ini termasuk orang yang jarang tidur malam. Sulit sekali aku menemukan dirinya terlelap di waktu malam. Mula-mula aku tak begitu terkejut dengan kebiasan dia bergadang, sampai akhirnya aku terperanjak malu padanya. Aku malu karena aku tidak bisa menirunya, padahal kami sahabat karib. Oh, dia mengisi malam-malamnya dengan bercinta. Dia mencurahkan rasa cintanya terhadap Tuhan dengan membaca al-Quran.
Ya, Syakur adalah pecinta al-Quran dari kampung Sasar. Dia, yang oleh orang-orang sering disepelekan karena kebiasaannya tidur pagi ternyata adalah orang yang seharusnya diacungi jempol. Hampir setiap malam dia hatam membaca al-Quran, bahkan dia menghafalkannya. Selain itu, dia juga pintar membaca dan mengartikan kitab turos karya ulama besar seperti Al-Ghazali.
Orang ketiga bernama Abd. Warist. Di usianya yang masih muda, dia tidak gengsi menjadi penjual sayur keliling. Setiap pagi, selain hari jumat dan rabu, dia menjajakan sayurnya menggunakan motor. Bermacam jenis sayuran dan lauk dia jual dan biasanya laku semua. Para tetangga merasa terbantu oleh Warist, sebab mereka tidak lagi harus ke pasar Kapedi yang jaraknya 5 kilo miter dari Sasar hanya untuk membeli lauk.
            Warist adalah sahabat yang baik dan sangat aku kagumi. Bukan hanya karena dia penjaja sayur, tapi ada sesuatu yang membuatnya bercahaya dan patut diacungi jempol. Dia adalah penjual sayur yang sangat mencintai al-Quran. Kecintaannya pada kitab Allah dibuktikan dengan gelarnya sebagai hafidh. Ya, dia memang pemuda penjual sayuran tapi dia hafidh.
Sempat aku berpikir sekalipun mereka bertiga memiliki kealiman, tetap saja ada yang mencemohnya. Misal ada yang mencibir, “Tahfidh sih tahfidh… tapi penjual sayur keliling.” Mereka yang mencibir begitu, bagiku sangat aneh karena pikirannya negatif. Jika saja semua pola berpikir orang adalah positif, mungkin tidak akan terlalu sibuk mecari kejelakan orang lain. Coba saja cara berpikirnya itu dibalik, “Emang penjual sayur sih… tapi dia itu hafidh lo. Ha-fi-dh!”. Tapi, ya, mau digimanakan toh itu adalah warna berbeda di kampung Sasar yang pasti menambah corak keantikannya.
Ah, Sasar memang perkampungan antik. Kampung yang memberiku pengalaman dan mengenalkanku pada warna kehidupan. Kampung yang unik dengan penghuninya yang unik pula. Ada pengusaha dagang barang rongsokan, pemuda yang dikira kerjanya hanya tidur dan penjual sayur yang mereka semua tidak disangka adalah pemuda hebat. Tak banyak yang tahu bahwa mereka hebat, sebab mereka menyembunyikan kehebatannya dengan cara berbeda. Aku bangga lahir di kampung Sasar dan aku sangat bangga Sasar memiliki pemuda hebat seperti mereka bertiga.

Sasar 07 Februari 2014
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

CURHAT PAGI; BENARKAH ITU CINTA?

Menghadapi Phobia Masa Lalu


            Baru-baru ini aku mengalami perasaan yang sebelumnya pernah aku rasakan. Panas-dingin, tentram tapi dirundung cemas, berbunga-bunga tapi ragu, penuh harap tapi tak yakin dan segala hal yang bisa aku rasakan. Semua berbaur mencipta rasa nano-nano, penuh warna serupa pelangi. Sepertinya indah tapi aku tak yakin. J
            Ya, aku pernah mengalami hal seperti itu dulu ketika aku naksir pada seorang perempuan. Aku tak ingat sepenuhnya kenapa aku bisa naksir padanya, padahal kami tidak pernah bertemu sebelumnya sampai waktu cukup lama. Aneh! Begitulah komentar teman-temanku. Jujur, aku sendiri merasa aneh memang, tapi mau apa dikata, begitulah adanya.
            Cerita perkenalanku dengan perempuan yang dulu aku pernah naksir padanya biasa saja. Waktu itu aku baru lulus MAT (SMA), dan dia adik kelasku di sekolah berbeda tapi dari pesantren yang sama. Awalnya aku tidak pernah tahu kalau ada seorang perempuan seperti dia di pesantren tempatku mondok dulu. Aku tak pernah membayangkan bisa kenal dengan perempuan yang belakangan aku tahu ternyata dia sangat cantik. Takdir mengatur perkenalan kami melalui jejaring sosial, waktu itu lagi bomengnya Friendster, berlanjut ke Facebook, Hape dan berujung sekali pertemuan di rumahnya.
            Selama lebih dua tahun, hubungan kami erat dan intens. Keluarga kami pun, meski tak pernah ketemu, sangat akrab seakrab aku dengan perempuan itu. Hanya aku yang pernah berjumpa dengan keluarganya sekali, meskipun begitu mereka merestui kami. Segeralah seminggu setelah pertemuanku yang sekali itu dengannya dan keluarganya, masa depan untuk kami direncanakan. Kami akan ditunangkan. Apa kami bahagia? Tentu saja. Bisa dibilang itu kebahagian terbesarku, dulu. Namun begitu, Tuhan memiliki rencana lain terhadapku. Karena sesuatu dan lain hal, kami gagal tunangan, bahkan hubungan kami berakhir sebagai teman biasa yang biasa-biasa saja. :-/
            Aku sempat down sebentar, sebelum akhirnya bergairah kembali menikmati hidupku. Lagi pula kejadian itu sudah lama, tahun 2009.  Apa yang kualami itu, adalah sebagian dari hidupku, tidak bisa tidak aku harus menerimanya. Sejak itu, aku semakin percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa terhadapku. Dia telah merencanakan takdir terbaik untukku. Sejak itu pula, aku tidak ingin berlebihan dalam berharap, mencinta atau membenci. Bisa jadi yang ku harapkan bukan yang terbaik untukku, yang ku cintai berlebihan nantinya malah sangat ku benci sedang yang sangat ku benci malah ku cinta.
            Beberapa tahun aku lalui dengan menjahui jurang dalam dan gelap bernama “asmara”. Sebisa mungkin aku menghindar dari pergaulan yang bisa membawa perasaan suka bahkan cinta (asmara) pada perempuan, selain ibu dan saudaraku tentunya. Selama itu pula aku menjalani masa kuliahku tanpa berusaha mengenal atau dikenal mahasiswi. Bisa jadi, hanya aku yang tidak memiliki kenalan mawasiswi sekali pun seangkatan dan di kampus yang sama. Hal ini pula didukung dengan peraturan yang membatasi interaksi antar mahasiswa dengan mahasiswi di kampusku. Masa yang sebenarnya tidak sulit untuk kujalani. Terlebih, karena sejujurnya aku pemalu berhadapan dengan lawan jenis. :-D
            Namun hal itu tidak berlangsung lama, segera setelah aku menginjak semester akhir. Berkat keakrabanku dengan mahasiswa lain, membuatku mulai unjuk gigi pada perempuan. Dimulai ketika kuliyah kerja nyata (KKN), aku membiasakan bergurau dengan beberapa perempuan yang temannya temanku. Di jejaring sosial aku juga mulai berani menyapa perempuan. Bahkan aku pernah beranikan diri mengundang beberapa penulis perempuan dari FLP Latee II untuk mengisi acara di kampungku, padahal sungguh aku hanya mengenalnya dari hape. Bersama mereka, ternyata aku bisa bercanda gurau, ketawa-ketiwi-ketewer-ketowor lepas. Hal ini pun mementahkan anggapanku bahwa perempuan itu menakutkan, menyeramkan, mengerikan dan apa lagi ya? Hehehe… yang jelas, punya banyak teman sekali pun dia perempuan ternyata sangat menyenangkan.
            Akhir-akhir ini aku memiliki kebiasaan bercanda gurau di facebook bersama teman baik laki maupun perempuan. Aku senang, ternyata mereka tidak menganggapku seperti yang pernah ku sangkakan pada mereka bahwa menakutkan, mengerikan dan harus dihindari. Aku meminta maaf dan sangat berterimakasih pada kalian, terutama temanku yang perempuan J. Kalian bemberi warna pada hidupku.
            Setelah sekian lama aku menghindar, kali ini aku kembali dihadapkan pada perasaan nano-nano. Panas-dingin, tentram tapi dirundung cemas, berbunga-bunga tapi ragu, penuh harap tapi tak yakin dan segala hal yang bisa ku rasakan. Terasa indah sekaligus aneh dan lucu.
            Ini bermula sejak aku mengenal seorang perempuan baru-baru ini. Seperti halnya dulu, aku tidak mengerti kenapa aku merasakan perasaan demikian ketika memikirkan perempuan itu. Pengalaman ini, benar-benar sama dengan yang dulu. Aku tidak pernah “merasa” bertemu dia di dunia nyata, tapi dia mengaku tahu padaku. Aku juga malu dan ragu untuk menyatakan pada perempuan itu tentang apa yang aku rasakan, persis seperti pada perempuan yang dulu. Ah, entahlah, kenapa aku penakut sekali untuk urusan seperti ini. Aku hawatir ketika menyatakannya, si dia malah tertawa atau marah tak suka. Jika pun dia senang dan mengartikan yang aku rasakan adalah cinta, aku masih hawatir tentang satu hal. Pengalamanku yang dulu akan terulang menyeretku pada kegagalan, sebab sungguh, masa lalu itu menjadi phobia atau lebih tepatnya membuatku trauma. Lagi pula aku masih meragukan, benarkah itu cinta?
Namun yang jelas, di antara harap dan cemasku itu, aku putuskan untuk melepas senyum selepas-lepasnya ke alam bebas dan tetap melaju ke arah hidup yang telah ditunjukkan Tuhan padaku. Aku pasrahkan, apa pun yang terjadi senyumku tidak boleh pudar. J
           
Sasar, 06 Februari 20014.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Tuesday, February 11, 2014

Rindu di Ujung Pagi

Aku tergesa melangkah. Berlari mengejar waktu yang bisa saja mencuri kesempatanku, dan aku tidak ingin itu terjadi. Karena itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku tak lagi peduli dengan dinginnya pagi yang sangat ku benci. Jika bukan karena rindu, diam dalam selimut, berdekam di kasur empuk hingga matahari membakar pori adalah langkah terbaik. Rindu selalu mampu menawarkan kehangatan yang lebih dari hangatnya mentari. Ku langkahkan kaki sekencang jalannya kereta.
Bhrrr! Getar bibir sepanjang jalan tak ku hiraukan. Sungguh menggigil. Hembusan lembut nan dingin. Sesekali ingin rasanya mengumpat lelaki yang memintaku untuk bertemu, karena ia memilih waktu yang kurang bersahabat. Meski demikian, aku tidak bisa menolak permintaannya. Sebab aku memang tidak pernah bisa menolaknya.
Mungkin ini pertamakali kususuri jalanan di pagi buta. Jalan yang sangat sepi. Hanya ada satu dua kendaraan melintas, tidak seperti di waktu lain yang penuh dengan polusi dan teriakan supir karena macet total. Walau kedua tanganku tidur pulas di saku jaket tebal yang kupakai, uh! bahkan dingin tak mau pergi. Syal merah melingkar anggun di leherku yang kurus, yang ujungnya bergerak-gerak diterpa angin. Rambut panjangku yang kusisir rapi, tampak hitam mengkilau. Ah! Sungguh aku merasa sangat cantik.
Kamu kalah! Aku yang pertama. :)
Pesan singkat masuk ke BB yang baru ku beli seminggu yang lalu, ternyata dari dia yang menyita waktu pagiku. Senyum manisku merekah. “Hmm.. Dia selalu selangkah lebih di depanku.” Batinku menggumam, “Tapi tidak dalam segala hal kamu bisa lebih unggul, sayang. Ada saatnya kamu harus kalah...”
 Ingatanku kembali memutar ulang kisah perjumpaan dengan pujaan hati di acara reuni SMA tempatku belajar dulu. Waktu itu, dia menjabat sebagai ketua panita. Aku terkejut bukan main mengetahui ternyata dia satu sekolah denganku. Terlebih lagi saat baru mengetahui bahwa dia selalu didaulat sebagai bintang pelajar. Saat dia menyampaikan pidato singkat selaku ketua panitia, entah kenapa dia sempat melihat ke arahku. Selain cerdas, dia juga tampan. Dan karena itulah aku menghampirinya seusai dia sambutan. Kesempatan tak akan datang dua kali, pikirku. Kita pun saling mengenalkan diri, bertukar alamat e-mail, akun jejaring sosial, pin BB bahkan nomer handphone.
Usai dari acara itu, yang ada di kepalaku hanya tentang Faqih, ku sebutkan nama lelaki itu. Sejak saat itulah, kita semakin akrab, bahkan sering bertemu untuk sekedar jalan-jalan santai, makan, nonton, hingga akhirnya mengikat janji untuk saling setia sebagaimana adam dan hawa. Aah, sungguh kisah cinta yang membahagiakan.
Meski kita kuliah di kampus berbeda, bukan rintangan yang berarti untuk tetap merajut kasih yang indah. Hingga tiba saatnya aku untuk berangkat mengabdi ke kampung pedalaman yang tentunya jauh dari keramaian kota. Mahasiswa menyebutnya ‘Kuliyah Kerja Nyata’.
Sebulan lebih tidak bisa berkomunikasi, disamping karena tempatku mengabdi cukup jauh dari tempat Faqih berada, didukung oleh signal yang sama sekali tak pernah kompromi, juga karena sibuk dengan program kegiatan masing-masing, selama itu pula, kita hanya bisa menahan rindu yang tak terbendung. Layaknya udara yang ditiupkan ke dalam balon tanpa henti. Semakin lama, balon itu semakin besar dan nyaris meledak. Kini, balon udara itu meledak dahsyat ketika Faqih benar nyata di depan mataku. Tanpa Ba-Bi-Bu, aku menghambur dalam peluknya. Ada tetes airmata rindu jatuh dari kelopak mataku yang bulat. Faqih mengusapnya dengan lembut, lalu memelukku erat. Seakan tak terpisahkan lagi.
@@@

“Kenapa kamu memilih waktu pagi untuk kita berjumpa?” tanyaku, masih dalam pelukan Faqih.
“Apa kamu senang?” Faqih balik bertanya, lirih.
Aku mengangguk, Faqih semakin mempererat pelukannya.
Aaa… Aku sulit bernafas,” kataku tersengal-sengal karena pelukan Faqih terlalu erat. Dia buru-buru melonggarkan dekapannya.
“Maaf sayang, aku hampir lupa kalau kamu selembut embun pagi yang sangat cantik dan tak boleh disentuh dengan kasar. Karena itu akan merusak keindahanmu.” Faqih merajuk. Entah, aku merasa aneh dengan perkataannya.
“Hampir lupa? Apa benar begitu?” aku mendongakkan kepala ke wajah laki-laki yang sangat ku cintai itu.
“Bukan begitu, aku hanya tak mampu membahasakan rinduku dan keindahanmu. Perbendaharaan kataku tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkannya. Kamu yang terindah dan tak ingin kulepas.”
“Kamu tak perlu membahasakannya, karena aku mengerti.Akhirnya kita melepas pelukan, kemudian memilih duduk di trotoar jalan. Kita memilih tempat bertemu di tengah-tengah antara kampusku dan kampus Faqih. Persimpangan jalan tepat di jantung kota.
@@@
Sering kali aku dan Faqih berdebat, padahal hanya masalah sepele, aku rasa aku belum dewasa. Pernah suatu ketika aku mendebat Faqih berjam-jam, hanya karena Faqih mengatakan ‘aku merindukanmu’. Waktu itu aku tidak setuju dengan kata merindukanmu.
   Aku pun memulai debat kusir itu dengan sebuah pertanyaan. “Jelaskan padaku perbedaan rindu dan merindu”
Faqih yang sebenarnya tidak begitu niat meladeniku, terpaksa memberi jawaban. Karena jika tidak, Faqih bisa memprediksiku ngambek dan bisa-bisa tidak mau bicara dengannya berhari-hari.
“Rindu sebenarnya adalah kata sifat yang sering dijadikan kata kerja. Kata kerja yang sebenarnya adalah merindu. Rindu – cinta, merindu – mencinta” Faqih menjawab dengan sangat lembut. Berharap aku tidak bertanya lagi. Namun itu tidak mungkin, karena aku suka mencecar Faqih dengan berbagai pertanyaan hingga akhirnya Faqih lah yang harus mengalah.
 “Lalu, salahkah jika aku mengatakan, aku rindu kamu? tanyaku lagi.
“Gak salah honey... karena itu udah biasa atau masyhur dipakai, tapi rada keliru dalam structural bahasa jawab Faqih sesuai dengan apa yang dia ketahui.
“Jadi, kata yang paling pas, aku merindukanmu. Begitu?” kali ini, aku tampak tidak senang. Karena aku memang kurang sepakat jika Faqih lebih memilih kata ‘merindukanmu’ dari pada ‘rindu kamu’.
 “Secara struktural demikian, meski kelaziman penggunaan yang sangat umum dan berlebihan untuk kata ini sangat bisa melonggarkan aturan dalam struktur.
“Lalu, untuk bertanya, yang bagus menggunakan kalimat yang mana? Apa kamu rindu aku, atau apa kamu merindu aku?” aku tetap tidak mau mengalah. Padahal Faqih sudah berusaha sedemikian rupa untuk membuat masalah itu sederhana.
 “Untuk percakapan populer, enakan pake ‘rindu’ ajah. Seleraku” begitulah Faqih. Dia berusaha menghindari perbincangan yang akhirnya bisa ditebak, aku marah kalau kalah.
 “Ada dua pengertian malah jika menggunakan kalimat, apa kamu rindu aku? Pertama, menanyakan apakah kamu rindu ‘milik’-ku? Kedua, apakah kamu merindukan aku? Aku rasa kurang pas. Mimik mukaku cemberut, sifatku yang seperti inilah yang sebenarnya membuat orang lain menghindariku. Kecuali Faqih, tentunya.
 “Ambil jalan aman saja, yang tafsir si pendengar tidak jauh dari maksud kamu Faqih memaksakan sesungging senyum, yang kelihatannya hambar.
 “Yupz! Pertanyaan berikutnya, apa jawabanmu jika pertanyaan itu kuajukan padamu sekarang?” Faqih sempat tercengang, namun kemudian dia melepas tawa bersama tawaku.
 “Monggo aja. hahahaha”
 “Hahahaha. Oya, jika pertanyaannya, apakah kamu rindu aku? Apakah jawabanmu iya, atau bukan atau malah tidak? Dari setiap jawaban yang kutawarkan, berbeda maksudnya” Sebenarnya aku hanya ingin memojokkan Faqih yang pernah ketahuan masih menyimpan kenangan bersama mantan pacarnya dulu. Aku hanya ingin meluapkan emosi pada Faqih yang ternyata masih sulit melupakan kenangan dengan mantan pacarnya itu.
 “Iya, aku rindu. Gak, aku gak rindu. Bukan, bukan kamu yang aku rindu” Faqih menyadari air muka cemburuku, tapi dia memang sulit melupakan perempuan yang pernah dia cintai itu. Sedangkan aku, tidak mau mengerti perasaan Faqih. Karena itulah, aku selalu mendebatnya, selalu berusaha memojokkannya. Namun, meski demikian, Faqih tetap memilihku sebagai perempuan yang dicintainya hingga sekarang.
 “Arti dari jawaban yang bukan, kurang satu arti lagi. Apa kamu rindu aku? Bukan, bukan aku rindumu, tapi DIA”. Sengaja ku perkeras suara ketika mengucapkan kata DIA. Saat itu, Faqih seolah menyesal dan merasa bersalah padaku. Dia berulang kali meminta maaf, aku pelit untuk memberinya maaf. Tapi pada akhirnya aku memaafkan Faqih.
@@@

“Kenapa kamu memilih waktu pagi?” Aku mengulangi pertanyaan itu lagi.
Faqih terdiam sesaat. Kemudian dia menggenggam tanganku erat.
Ai ku sayang… Karena pagi adalah waktu yang tepat untuk memulai semuanya. Aku ingin kita memulai kisah hidup baru kita dari sini. Dimulai pagi ini. Kita akan menghapus segala hal buruk yang telah berlalu yang bisa merusak masa depan kita, dan kita mulai melakukan hal-hal baru yang akan semakin mempererat dan memperkokoh cinta kita.” Pipiku memerah. Serasa aku terpanggang kata-kata Faqih. Kata-katanya menghangatkan tubuhku yang sedari tadi masih menahan gigil dingin. Dan aku benar-benar merasakan hangat yang lebih, saat Faqih melanjutkan kalimatnya.
“Aku melamarmu untuk jadi istri sekaligus kekasih tunggal seumur hidupku.”
Aku tertegun mendengar kalimat  yang baru ia lontarkan. Bibirku kelu untuk beberapa menit terakhir, pikiranku kosong menerawang. Entahlah,,, Aku harus bagaimana?? Batinku mengadu. Air mataku sudah tumpah meruah semalaman.
“Aku tidak suka pagi yang dingin, dan kamu tahu itu. Atau, mungkinkah waktu yang lain telah kamu persembahkan untuk orang selainku?”
“Tidak, Ai. Sama sekali tidak.”
Tiba-tiba saja mataku berair. Faqih tampak bingung. Aku melepas genggaman tangannya.
“Lantas, apa yang kamu lakukan sebelum pagi ini?” tanyaku dalam suara serak.
“Memantapkan hati bahwa aku tidak salah memilihmu.” Hatiku teriris. Perih. Sungguh, aku tak meragukan cintamu, Faqih! Tapi... apa yang bisa dilakukan manusia lemah sepertiku ketika Sang Pencipta manusia sekaligus cinta berkehendak lain? Apa yang bisa aku lakukan, Faqih?
Aku berbalik memunggunginya, seraya menghapus air mata yang deras mengalir.
“Semalam, sudah ada lelaki lain yang meyakinkan Ayah untuk menikahiku, Faa….” ucapku lirih kemudian berlari sekencang laju kereta, meninggalkan Faqih dalam beku dan dingin pagi yang tidak pernah bersahabat dengan tubuh dan hatiku.

Sasar Kapedi, 10 November 2013
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels