Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Wednesday, March 5, 2014

KAMPUNG SASAR TUH, ASYIK!

Keakraban bisa terjalin karena adanya saling pengertian. Saling pengertian muncul tidak hanya karena memiliki persamaan, tapi lebih karena bisa mengesampingkan egoisme. Seperti halnya keakraban ketiga orang pemuda dari kampung Sasar. Bertiga mereka saling mengerti, bahkan tanpa harus diucapkan antara satu dengan lainnya. Semisal ketika ada yang sedang gusar, sedih, senang dan sejenisnya, yang lainnya segera mengerti. Bersama, mereka pun berbagi; senang, sedih, manis, pahit dan semacamnya. Begitulah Aku, Nafi’ dan Syakur memaknai PERSAHABATAN.
Terlahir di kampung yang sama bernama Sasar, menjadikan kami sahabat tak terlepaskan. Sekali pun ada beberapa usaha orang lain untuk memecah persahabatan kami, sampai sekarang usaha mereka itu gagal. Justru yang terjadi, kami semakin erat. Keeratan persabatan kami ditandai dengan seringnya bersama untuk melakukan hal-hal tak terduga di kampung kami.
Banyak hal “tak biasa” kami lakukan untuk sekedar meramaikan kampung kelahiran. Kami bertiga selalu berinisiatif agar kampung kami terasa lebih hidup dan selalu terjaga. Maka, jadilah ulah-ulah konyol sering kami lakukan.
Pernah kami meramaikan kampung Sasar dengan mendirikan warung. Suatu malam, kami sepakat mendirikan warung di samping rumah Nafi’ yang rumahnya tepat di pinggir jalan dan paling strategis untuk misi ini. Pada malam Jumat kami mulai beraksi dengan mempersiapkan sound system. Sound itu disetting layaknya untuk sebuah acara pernikahan. Kami kumpulkan sound yang kami miliki, kemudian kami merangkainya menjadi sound yang tak kalah dari Sanzibar, Hitam Putih, 98 dan Sakera yang sering digunakan untuk acara besar di kampung kami. Boleh dikata sound rangkaian kami itu, tidak mengecewakan untuk pentas orkes.
Pagi harinya, kami bertiga tidak bisa menahan tawa mendengar obrolan seorang tetangga dengan ibu Nafi’. Si orang yang kebetulan lewat itu menanyakan pada ibu Nafi’, “Ada hajatan apa, Bu?” Kontan saja ibu Nafi’ bingung menjawabnya. Namun, orang-orang segera mengerti kalau sound itu bukan untuk hajatan melainkan ulah kami bertiga. Para tetangga seperti sudah maklum dengan adanya sound di rumah Nafi’, terlebih sound itu tidak pernah berbunyi kecuali di malam hari, di waktu yang tak wajar tentunya. Ya, sound itu melantunkan berbagai gendre musik pop, dangdud dan band. Semakin malam, sekitar jam 12 sampai subuh diganti dengan murottal al-Quran dari Mishary Rashid Al-Fasy. Lantunan lagu dari sound itu menemani kami mendirikan sebuah warung.
Pekerjaan sengaja kami pilih di waktu malam, sebab lebih tenang dan enjoy, juga agar orang-orang penasaran. Apa yang kami harapkan benar terjadi. Siang harinya, tetangga apalagi yang ibu-ibu heboh membicarakan warung di samping rumah Nafi’. Mereka tidak menanyakan langsung kepada kami perihal warung itu, sebab kami tidak akan memberitahunya. Kalau sudah begitu, bisa dipastikan ibu Nafi’ yang jadi sasaran pertanyaan mereka. “Mau jualan apa, Bu?”, “Enak lo, kalo ibu buka usaha warung nasi”, “Si Nafi’ mau buka usaha Conter ya, Bu?” dan kalimat sejenis ditujukan ke ibu Nafi’. Lagi-lagi kami bertiga tidak bisa menahan tawa, apa lagi ibu Nafi’ menjawab tidak tahu kepada mereka. Memang kami sengaja tidak memberi tahu rencana kami ke orang lain, termasuk ibu Nafi’.
Selama seminggu warung itu berdiri tanpa ada aktifitas, selain malam hari tentunya. Itu pun hanya kami jadikan sebagai tempat ngumpul, bahkan tampat tidur. Perlu kalian semua ketahui, kami bertiga tidak butuh tempat mewah untuk tidur apalagi jika tidurnya bertiga, di halaman rumah pun jadi. Sebab itulah, tidur di warung yang kami dirikan “sekedarnya” itu, tidak masalah bagi kami.
Selama seminggu, orang-orang—terlebih yang ibu-ibu- melontarkan pendapatnya pada warung “siluman”. Ada yang mengira kami bertiga hendak mebuat WARNET, ada yang bilang warung nasi, ada yang beranggapan warung kopi, rental playsteson, conter pulsa dan sebagainya. Namun yang jelas, mereka tidak menanyakan langsung kepada kami bertiga. Mereka hanya menduga-duga atau bertanya ke ibu Nafi’ yang tidak tahu menahu.
Merasa kasihan kepada mereka yang masih menduga-duga, kami memberitahukan kepada mereka bahwa kami akan berjualan gorengan dan akan dimulai besok, pada hari jum’at pagi. Langsung saja kabar tersebut menyebar. “Nafi’, Syakur dan Muktir akan jual gorengan”, begitulah kabar itu meluas dari mulut ke mulut (ibu-ibu).
Pada malam jumat, kami mempersiapkan segala sesuatu untuk jualan besok. Tepung drigu 25 kilo, tempe 3 papan, tahu satu bak, alat penggorengan dan hal lain yang berkaitan dengan gorengan. Bermodal sedikit ilmu dari hasil riset ke para penjual gorengan di pasar Kapedi, kami pun merasa siap mejadi pengusaha dagang gorengan di kampung Sasar.
Sekitar jam 05:30, seorang calon pembeli pertama datang ke warung kami. Dia hendak membeli gorengan yang akan kami jual. Sayangnya, si para pengusaha gorengan masih terlelap dan terpaksa si calon pembeli pertama itu harus membangunkannya dan mengingatkan tentang gorengan. Ah, calon pembeli yang baik menurut kami.
Setelah melakukan persiapan, kami pun mulai berjualan. Kami berbagi tugas, Syakur menggoreng, Nafi’ melayani pembeli dan aku yang membuat adonan untuk digoreng. Selang satu jam, kami kewalahan sebab kerja kami kalah cepat pada pembeli yang terus berdatangan. Singkat cerita beberapa ibu-ibu, yang hobi ngegosib dan hendak membeli gorengan dari kami tapi karena kasihan, akhirnya menjadi penolong kami. Mereka membantu membuatkan adonan, melayani pembeli yang lain dan membantu menggoreng. Di tangan ibu-ibu itu, pekerjaan membuat gorengan teratasi dengan mudah.
Setelah seharian, dari sekitar jam 06.00 sampai 21.00, akhirnya jualan pun ludes. Hasil dari jualan georengan itu memang tidak banyak, tapi cukuplah untuk duduk lama di warnet. Setelah berjualan, pada jam 21.30-an, kami langsung menuju warnet di pasar Kapedi. Tarif perjam di warnet itu Rp.2000.00. Masing-masing dari kami menghadapi satu komputer. Lebih dari tiga jam berselancar di internet, kami pun memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah Nafi’, sekitar jam 01.00 dini hari, kami memiliki rencana baru. Rencana yang lagi-lagi tak terduga, dan sintingnya kami bertiga sepakat. Rencana tak terduga itu adalah “meringkasi” warung dan aksesorisnya. Jadilah, warung itu kami robohkan dan menghilangkan jejak adanya warung gorengan di samping rumah Nafi’. Warung gorengan tinggal cerita dan memang itulah yang sejak awal kami inginkan. Dan bisa ditebak, lagi-lagi kampung Sasar ramai. Orang-orang, terutama ibu-ibu, membicarakan Warung Gorengan yang bagai siluman, tiba-tiba hilang padahal banyak yang datang untuk membeli gorengan. Dan sekali lagi, ibu Nafi’ jadi sasaran pertanyaan mereka.

Sasar, 03 Maret 2014

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels