Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Saturday, March 16, 2013

MANCING IKAN = MENGUJI KESABARAN


Rabu, 04 Maret 2013

05.20, aku dibangunin oleh Ummi karena ada tamu. Setelah aku berhasil mengalahkan kantuk yang masih bergelanyut di mataku, aku pun keluar untuk memastikan siapa yang datang bertamu. Ternyata nom Farid. Katanya, keberangkatan di percepat. “Cong, tadi Habis adzan subuh, Ramsi ke rumah. Katanya jam enam kita sudah harus berangkat.”
“Sufyan di mana?” tanyaku, karena tidak melihat si Sufyan.
“Dia nunggu di pasar Kapedi bareng Ramsi”
“Kalau begitu, tunggu. Saya mau subuh dulu.”

6.00, Aku dan Nom Farid sampai di pasar Kapedi. Di sana sudah menunggu Sufyan dan Ramsi. Verempat kami langsung menuju rumah si pemilik Sampan. Pada jam 6.12, kami sampai di tujuan. Sesampainya di sana, kata istri Parto, suaminya nunggu di sampan. Kami diminta untuk segera ke sana, karena Parto sudah di sampan sejak habis subuh. Maka, kami bergegas menuju bibir pantai.

Sesampainya di Sampan, Parto malah turun. Ternyata dia meminta ikan ‘Beis’ ke temannya untuk dijadikan umpan.



6.40, mesin sampan dihidupin. Senyum kami yang sempat melayu, kini kemabali merekah. Sangat indah, seindah matahari menyapa lautan. Ini seakan tidak nyata, kami menuju tengah lautan yang diapit pulai Gili dan Kapedi. Ah, akhirnya impianku mancing di tengah laut akan tercapai.


Bapak pengemudi

Aku lirik teman-temanku, mereka pun juga sama. Menyunggingkan senyum sambil menatap pemandangan di laut. Sangat tenang.



Kecuali si Parto dan bapak pemilik sampan yang tengah mengemudi. Mereka tampak biasa saja. Bagi mereka berdua, yang memang asli nelayan, tidak begitu terkejut dengan pemandangan di laut. Sebab lautan adalah halaman mereka, dan setiap hari mereka ada halaman ini.


Sufyan

07.04, Parto mengambil ancang-ancang untuk mengikatkan tampar sampan ke Bagan. Itu pertanda kami akan mancing di daerah bagan itu.


Ramsi menatap Bagan

07.08, bapak pemilik sampan mematikan mesin. Parto dengan sigap mengikatkan tampar ke Bagan. Yang lain mempersiapkan pancing. Kami pun MANCING.


Nom Farid, siap mancing

Selang beberapa menit, Sufyan berhasil menaklukkan ikan. Kemudian di susul Parto. Bergantian mereka mengangkat pancing masing-masing dari dalam lautan. Tidak lama kemudian, Ramsi dan nom Farid juga berhasil menaklukkan ikan. Melihat aksi teman-teman, bapak pemilik sampan merasa tidak mau kalah dari kami. Beliau pun mempersiapkan pancingnya.

Pancingku yang tidak dihampiri ikan sama sekali hanya bengung menyaksikan ke empat temanku silih berganti menaklukkan ikan. Ditambah lagi, bapak pemilik sampan juga berhasil menaklukkan ikan. Jadi, dari keenam orang di sampan itu, hanya aku yang belum berhasil menaklukkan ikan. Sampai akhirnya kami harus berpindah tempat ke Bagan yang lain.

Dari Bagan ke Bagan yang lain. Kami berusaha menaklukkan ikan. Dan berkali-kali pindah tempat, hanya aku yang belum menaklukkan ikan. Sedang yang lain sudah puluhan.

Namun, inilah seni memancing. Kesabaranku, kejelian dan ketelatenanku diuji. Jika aku tidak bisa sabar, maka tentunya aku tidak pernah suka memancing. Karena itulah, dulu sewaktu aku diinterviwe salah satu perusahaan untuk mendapatkan pekerjaan, aku lolos. Itu hanya karena ketika ditanya apa hobbiku, aku jawab MANCING. Ya, mereka menilai orang yang hobbi mancing adalah orang yang sabar, ulet dan terampil. Meski kenyataannya tidak demikian padaku, tapi aku menyetujui penilaian mereka.

Menjelang dzuhur, umpan punyaku belum juga dimakan ikan. Semua temanku terheran. “Kok bisa, ya? Padahal kita satu sampan” Sufyan mempertanyakan kejanggalan yang kualami. Aku sendiri juga tak habis pikir, kenapa hanya pancing milikku yang tidak dihampiri ikan? Sedang punya yang lain, terus menerus mengit ikan di lautan. Ada apa dengna aku, atau pancingku? Berbagai kemungkinan pun muncul dari kami. “Mungkin kamu kurang niat kali, mancingnya” kata yang Sufyan. “Mungkin pancingmu yang salah” kata Ramsi. Berbagai anggapan dari yang logis sampai yang tidak logis pun, bermunculan. “Mungkin kamu keliru pas ke luar rumah. Seharusnya dari pintu belakang malah lewat pintu depan”.

Hemhm, terlepas dari semua anggapan aneh mereka, aku tetap beruasaha sebisaku. Sampai akhirnya, bapak pemilik sampan istirahat dari memancing. Beliau memilih tiduran di Bagam miliknya. Dan saat itulah, aku pinjam pancing punya beliau.

Entah karena apa, yang jelas saat aku menggunakan pancing milik bapak pemilik sampan, aku mulai bisa menaklukkan ikan. Sekat di sampan yang kami jadikan penampungan ikan hasil panciangan, sama-sama mulai terisi. Bahkan di sekat yang ku gunakan, ikannya hampir menyamai banyaknya ikan milik bapak pemilik sampan.
Inilah saatnya dewi keberuntungan memihakku. Jika pagi sampai siang aku tidak dapat menaklukkan ikan, justru siang sampai sore aku lah yang tak hentinya menaklukkan ikan. Pancing yang kugunakan terus menerus sukses menyeret ikan dengan mudah. Seakan semua ikan hanya ingin memakan umpan milikku.


Akhirnya berhasil naklukkan IKAN

Sebaliknya, Sufyan dan nom Farid yang di awal paling sering mengangkis ikan, malah sekarang mereka tidak memperoleh satu ikan pun. Sungguh, MEMANCING IKAN SAMA HALNYA DENGAN MENGUJI KESABARAN.
18.02, kami menuju daratan. Tampa terasa hari sudah gelap. Kami semua dibuai dengan kesenangan, ketenangan, dan kedindahan di tengah lautan.

Sesampainya di daratan, pemenang dari mancing kali ini adalah Parto. Setengah sak lebih ikan yang berhasil dia taklukkan. Sekitaran 46 ikan. Selanjutnya, Ramsi dengan 1 plastik kresak hitam penuh. Disusul Sufyan dan nom Farid yang hampir sama banyaknya dengna punya Ramsi. Masing-masing berkisaran 20-an ikan. Dan waktu itu, dengan lapang dada aku mengaku kalah dari mereka semua. Ikan yang berhasil ku taklukkan hanya setengah plastik kresek hitam. Sebanyak 16 ikan yang berhasil ku bawa pulang.

Sesampainya di Rumah, ikan hasil pancinganku, langsung ku bakar.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

MANCING KE TENGAH LAUT, HARUS TAHU ATURAN



From google

Selasa, 09 Maret 2013

13.30, Aku, Sufyan dan nom Farid ngumpul di rumah Sufyan untuk persiapan berangkat macing ke tengah LAUT di Kapedi.

14.20 segala sesuatu yang perlu disiapkan sudah kami persiapkan. Diantarnya pancing sederhana yang hanya berupa potongan sejengkal bambu utuh yang dirapikan pinggirannya. Untuk gulungan senar pengikat kail/pancing. Kemudian beton berupa benda kecil tapi berat, cukup untuk melawan arus di lautan. Beton tersebut diikatkan di ujung senar, setelah itu baru kail berukuran 14. Kail pancing yang dipasang tidak hanya satu, ada yang 2 ada pula yang tiga kail.

Selanjutnya, yang harus dan paling wajib dibawa adalah umpan. Ya, kami harus menyediakan umpan yang bagus. Karena itu, kami harus membelinya dulu ke pasar Kapedi. Kenapa harus beli? Yah, karena mancing di tengah berbeda dengan memancing di pinggir. Kalau di pinggir umpan yang biasa kami pakai berupa cacing darat atau cacing pasir yang juga dikenal dengan ‘rotos’. Jadi tidak harus beli. Sedangkan mancing di tengah harus menggunakan umpan berupa ikan juga. Dalam hal ini ikan kecil-kecil yang disebut ‘Bais’lah yang paling cocok dijadikan umpan. Satu kilo sangat cukup, harganya berkisaran Rp. 2000.

Pancing buatan dan umpan sudah ada, tinggal bekal makanan orangnya.

15.30, aku pulang dari rumah Sufyan, tempat kami ngumpul dan mercik bahan yang kami butuhkan untuk mancing. Kami sepakati akan berangkat ke pantai Kapedi pas jam 17.00. Rombongan pecinta mancing ini ada empat orang. Aku, Sufyan, Farid yang masih berstatus paman saya, terakhir Ramsi.

Dari keempat orang ini, Ramsi yang betugas menemukan Sampan ‘sewaan’ yang murah tapi meriah. Karena Ramsi ini anak yang paling dekat dengan pasar dan lautan di kapedi. Dan dari pencariannya, dia berhasil mendapatkan sampan dimaksud dengan harga fantastis murah. Rp. 60.000. harga yang benar-benar murah. Karena biasanya, para pemilik sampan mematok harga 100.000. Itu pun terbatas hanya 12 jam. Sedangkan sampan yang akan kami sewa ini, sehari semalam pun siap dengan harga yang tetap.

17.05, aku menunggu kedua temanku, Sufyan dan nom Farid di sebelah timur rumahku. Hingga di jam 16.11, mereka belum juga menampakkan diri.

Di tengah pikiranku yang was-was, tiba-tiba Ramsi (yang seharusnya tidak perlu melakukannya), datang untuk menyusul kami. “Leh, gimana, jadi gak?” tanya sekatika padaku.
“Harus. Tuh, mereka sudah datang.” Sambil aku mengarahkan telunjuk ke arah Sufyan dan nom Farid yang baru nongol.

16.14, kami pun berangkat menggunakan dua motor menuju rumah sang pemilik sampan. Pada saat itulah tak hentinya senyum mengembang dari bibirku. Betapa tidak, ini adalah kali pertama aku mancing ke tangah lauta. Sebuah impian yang lama terpendam, tapi akhirnya akan terbayar hari ini juga. Selam perjalanan, aku membayangkan senangnya mancing di tengah. Hem, pasti lebih menyenangkan dari mancing di pinggir pantai.

16.25, kami menyempatkan diri mampir ke toko di kapedi untuk melengkapi bekal kami. Untuk makan nanti di tengah, kami membeli roti. Ditambah rokok, minuman, cemilan dan ditambah kail pancing dan senar. Sebagai persiapan, berjaga-jaga takut nanti ada pancing yang bermasalah. Seperti pepatah, sedia payung sebelum hujan.
Jam 16.31,  kami lanjutkan perjalanan. Dan pada jam  16.38, kami pun sampai di tujuan. Rumah sang pemilik sampan.

Sesampainya di sana, senyum kami yang awalnya merekah bak bunga mawar yang paling haru, perlahan mulai layu dan bau. Sesuatu yang kurang menyenagkan sepertinya akan terjadi. Dan, akhirnya, memang benar. Kami terpaksa harus gagal untuk mancing ke tangah.

Ya, ini dikarenakan menurut bapak nelayan alias pemilik sampan yang akan kami sewa itu, bahwa mancing ke tengah lautan di malam hari bukan pilihan yang tepat. “Tidak ada orang macing ke tengah malam hari. Yang ada yah, nyolo ata magan” kata bapak itu.

Dan intinya, keputusannya adalah, macing ke tengah malam ini, GAGAL.

Hal ini terjadi karena kurangnya komonikasi. Padahal menurut si bapak, jam 06 pagi berangkat ke laut, tapi oleh Ramsi ditanggapi 06 sore baru berangkat ke laut. Ini mengingat, karena kami sama-sama belum pengalaman mancing ke tengah laut. Ketika kami mancing, hanya di bibir pantai datu di sungai. Dan itu kami lakukan pada malam hari. Dari sini, kami dapat pelajaran berharga, bahwa kalau mau mancing ke tengah lautan jangan di malam hari. Karena di malam hari, ikan pada ngantuk dan terlelap. :-)

17.44, kami bertiga, aku, Sufyan dan nom Farid pulang dan akan kembali lagi besok sesuai dengan waktu yang telah kami sepakati bersama. Jam 06.30 PAGI, bukan SORE. Sedang Ramsi masih di rumah Parto --menantu pemilik sampan yang akan mengkordinir keberangkatan kami besok pagi. Ramsi dan Parto pun berjanji akan memperbaiki pancing-pancing kami yang manurut Parto kurang siep.

17.19, aku baru sampai di kamarku.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels