Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Wednesday, May 17, 2017

Cerita di Hari Baru, 17 Mei 2017


Hari ini, sekitar jam setengah enam, suasana sehabis jamaah subuh di Musolla Perumahan Puncak Permata Sengkaling (PPS) diramaikan oleh gerombolan bocah. Mereka dari dua kubu, gerombolan bocah PPS dan gerombolan bocah kampung bawah. Hampir tiap libur sekolah mereka berkumpul di halaman musolla, untuk bermain apa saja. Tapi yang sering mereka bermain bola. Itu dunia mereka.

Ada beberapa warga yang senang pada tingkah gerombolan itu, ada yang datar saja tidak terpengaruh, dan ada pula yang resah karena gerombolan itu hanya bermain. Saya selaku bagian dari warga merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperkecil "ketidaknyamanan" tersebut, agar semua warga senang dan bocah-bocah itu juga senang.

Jadilah saya melakukan interaksi sosial dengan gerombolan bocah itu. Saya tahu dunia saya adalah kampus dan literasi, sedang bocah-bocah itu dunianya bermain, ini yang barang kali oleh Kak Nada disebut "dunia lain". Untuk berinteraksi aktif dengan mereka, saya harus memasuki dunia lain dimaksud.

Pertama saya coba mengidentifikasi identitas dan perilaku mereka, kira-kira melalui siapa atau apa saya memasuki dunia mereka. Tidak butuh waktu lama, saya pun menemukan pintu masuk. Mereka memanggilnya dengan nama Rozan. Di antara yang lain, Rozan adalah anak yang dominan memberi intruksi. Saya perkirakan dialah pimpinan gerombolan itu.

"Zan, zan, mau main bola ta?" tanyaku sok akrab, "biar tambah seru, ayo aku yang jadi wasit."

"Woy, teman-teman, kak Muktir jadi wasit!"
Tawaran saya disambut baik oleh Rozan dan teman-temannya. Yes, pintu telah terbuka dan saya siap memasuki dunia lain. Mahasiswa S2 Ekonomi Syariah jadi wasit dalam pertandingan bola antara gerombolan bocah PPS vs gerombolan bocah kampung bawah. Wow!

Pertandingan siap dimulai. Sebelum itu saya panggil kedua kapten gerombolan untuk memberi arahan pertandingan. Di tengah perundingan, salah satu warga memberikan usul bahwa siapa yang menang akan diberikan hadiah olehnya. Wuih, kedua gerombolan pun bersorak gembira.

Mendapat angin segar dan sejuk di dunia mereka, saya pun memunculkan ide yang saya tawarkan kepada para penghuni dunia lain tersebut. Saya tawarkan bagaimana jika pertandingannya ditunda nanti sore agar kedua gerombolan melakukan persiapan. Selain itu, saya sebagai wasit merangkap panitia pelaksana harus menyiapkan lapangan dan tribun penonton terlebih dulu. Atas tawaran saya, mereka menyepakatinya. Konsekuensi dari kesepakatan itu, karena panpelnya seorang, maka kedua gerombolan harus membantu menyiapkan lapangan pertandingan dan tribun penonton.



Di sinilah saya mencoba mengajak mereka rekreasi, traveling, ke dunia luar. Dunia bersih-bersih. Dan sungguh, mereka melakukannya; membersihkan areal musolla PPS dan bahkan di dalam musolla. Warga senang melihatnya, gerombolan bocah pun senang melakukannya, meski ada nyeletuk,
"Kita main bola tapi kok bersih-bersih sih?". Hahahaha.

*bersambung*
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Thursday, April 6, 2017

Lima Hal yang Membuat Mahasiswa Ekonomi Syariah Muak dengan Wisuda (2)

Keempat, acara wisuda membosankan.

Acara berlansung biasanya antar 4-7 jam. Selama itu acara yang dinanti hanya mindahin tali yang ada di kepala. Selebihnya kita hanya duduk di auditorium tanpa melakukan apa-apa, kecuali makan snack yang dikasih panitia atau kita main game di smartphone dan update status tentang wisuda kita. Foto biasanya akan diupload nanti sesampainya di rumah karena harus dipilah dan dipilih mana foto yang paling mewakili ekpresi yang ingin kita pamerkan ke dunia.

Bagi mahasiswa yang menjadikan rokok bagian dari caranya bernafas, maka acara wisuda adalah hal yang memuakkan. Merokok memang bagi sebagian mereka yang menggembar-gemborkan syari’i itu perbuatan sesat bahkan disamakan dengan sririk, menyekutukan tuhan, dan itu adalah perbuatan paling tercela. Wong mereka sipembenci rokok saja menghisap asap rokok tanpa sengaja sudah merasa kena adzab kok, apali siahli hisab. Mungkin karena itulah mereka yang syar’i itu ke mana-mana menggunakan masker lebar.

Sedangkan bagi mahasiswa ekonomi syariah berdiam seperti itu menyalahi prinsip dalam ekonomi syariah karena tidak produktif, padahal umat muslim haruslah produktif agar semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Maka jika ada mahasiswa ekonomi syariah merasa muak pada acara wisuda dengan beralasan seperti itu, katakan ini padanya, “Sarap luh.”

Kelima, wisuda berarti lulus kuliah dan itu bermakna siap mengaplikasikan ilmu yang didapat selama perkuliahan.

Mungkin bagi sebagian mahasiswa di jurusan yang lain wisuda bermakna dapat ijazah dan oleh karenanya sudah memenuhi syarat untuk melamar kerja dan atau melamar calon istri. Namun bagi mahasiswa ekonomi syariah wisuda bermakna dia telah dianggap mampu untuk mengaplikasikan teori-teroi ilmu-ilmunya tentang ekonomi syariah. Menerapkan konsep ekonomi syariah dalam kehidupan sehari-hari itu sulit ya, Akhi.

Karena itulah mahasiswa ekonomi syariah yang merasa belum mampu, dia akan menghindari wisuda. Sebagaimana dia menghindari kenyataan hidupnya bahwa dia sudah semester akhir tapi skripsi belum kelar, pihak kampus selalu tanya kapan mau lulus dan itu artinya dia diusir dari kampus, masih jomblo alias ga laku, dan skripsi selalu ditolak dosen pembimbing mirip kisah percintaanya yang selalu mengalami penolakan.

Kesimpulannya adalah mahasiswa ekonomi syariah yang muak dengan wisuda itu sungguh memprihatinkan.

(Kemabali bagian 1)

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Lima Hal yang Membuat Mahasiswa Ekonomi Syariah Muak dengan Wisuda (1)

Saya mahasiswa jurusan ekonomi syariah di Malang. Seharusnya 2017 menjadi tahun terakhir saya berstatus mahasiswa, atau bahasa palig memuakkannya adalah wisuda.

Ada lima hal kenapa wisuda harus menjadi memuakkan bagi saya dan beberapa teman yang senasib. Tentang kenapa harus lima dan bukan empat, enam, tujuh atau yang lainnya, adalah karena saya suka angka 5. Itu saja. Simple kan?

Lima hal yang saya rasa penting diketahui, untuk memperbaiki cara pandang Anda bahwa mahasiswa dengan jurusan berlabel “syariah” itu sungguh memilukan.

Oke, sebaiknya jika Anda adalah bagian dari mahasiswa jurusan ekonomi –dengan kata- syariah, entah Anda sebagai mahasiswa, saudaranya, temannya, bapak-emmaknya, dosennya, kajur/sekjurnya, atau bahkan Anda satpam di kampus tempat mahasiswa ekonomi syariah mondar-mandir ibarat kupu-kupu, maka perhatikanlah lima hal berikut ini.

Pertama, hal paling krusial yang bercokol di kepala mahasiswa ekonomi syariah saat mendengar kata wisuda adalah PW, alias pendamping wisuda. Ini memang sudah menjadi gosip umum para mahasiswa, baik di kampus, di kamar kosan, di media sosial seperti facebook dan twitter. Jika tidak percaya, coba Anda tanya Bapak Presiden dan Kapolri.

Pendamping wisuda artinya istri, bukan pacar. Ingat, mahasiswa berlabel syariah dilarang pacaran ya, Akhi! Maka pendampingnya harus bersertifikat halal sekalipun bukan dari MUI, karena MUI sedang sibuk dengan urusan lain di Jakarta. Eh, sertifikat halal yang itu bukannya urusan KUA ya?

Nah, bagi mahasiswa yang jomblo seperti saya, wisuda menjadi hal yang memuakkan karena harus menghadapi bertubi-tubi pertanyaan sadis teman, “mana PW-mu?”

Kedua, tugas akhir. Bro, untuk sampai pada tahap wisuda tuh perjuangannya sungguh ribet. Yang paling membuat ribet adalah mengerjakan skripsi. Diperparah lagi dosen pembimbing skripsi sok jual mahal, sulit ditemui dan sekali ketemu dengan semena-mena dia mencorat-coret skripsi kita. “Revisi,” begitu ringannya dia berkata tidak peduli hati mahasiswanya juga tercorat-coret luka. Peeedih, Bro. Lebih pedih dari pertanyaan yang mana PW-mu?

Selain itu saat ditelpon orang tua menanyakan kapan kita lulus. Duh, seandainya mereka tahu sulitnya untuk sampai tahapan wisuda. Ditanya wisuda sih masih mending. Sekarang coba bayangkan saat ibu telpon, dia ngebandingin kita dengan anak tetangga yang habis beli motor baru, terus dia sebentar lagi akan menikah. Terus lagi ibu ngingatin kita kalau dia umurnya lebih muda dari kita dan tidak kuliah, hanya lulusan SMP. Apa yang kamu rasakan jika sebagai mahasiswa ekonomi syariah? Kalau yang saya rasakan sih, saya muak mendengar kata wisuda.

Ketiga, Setelah diwisuda tentu kita dapatkan gelar sarjana ekonomi syariah. Mendengar kata sarjana ekonomi saja tetangga di kampung akan berpikiran kita pintar, sejahtera, mapan, pokonya sukseslah. Apalagi ditambah kata syariah. Wuih, sudah pinter, kaya, syar’i lagi. Padahal kenyataannya setiap pertengahan bulan untuk bertahan hidup hanya makan indomie yang kadang direbus kadang dimakan langsung, meski sudah jelas tertulis di bungkusnya mie goreng.

Gelar sarjana itu beban, ya Akhi! Ingat, beban. Terlebih bagi mahasiswa sleboran seperti saya yang sering bolos kuliah dan lulusnya hanya karena kampus ingin segera cuci gudang memperbaharui stok mahasiswa. Saat seperti itulah, wisuda jadi memuakkan.

(Lanjut Bagian 2)

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Thursday, March 9, 2017

Kuperkenalkan Lek Istianah Padamu

Keakraban. Perantauan. Satu alma mater. Satu daerah.

Sederek kata itu menjadi faktor hubungan kita dengan seseorang. Hubungan adalah ikatan relasi.

Mungkin karena sama-sama di perantauan, satu alma mater dulu dan satu daerah Sumenep, aku akrab dengan seorang mahasiswi Unisma, kupanggil dia Lek Istianah. Lek adalah adik.

Dia baik padaku. Ukuran baik bagiku tidak terlalu jauh dengan urusan makanan. Kamu nawarin aku makan, maka kamu baik. Kamu mentraktirku makan atau menghadiahiku makanan, maka kamu baik. Kamu memberi tahu rahasia resep makanan, kamu baik. Kamu ngobrol tentang makanan, maka kamu baik. Kamu membuang makanan, baru kusebut kamu tidak baik.

Ada beberapa orang yang baik menurutku karena berurusan dengan makanan. Salah satunya si Nurul itu dan tentu Lek Istianah. Kemarin Lek Istianah memberiku goreng kruluk sekantong plastik besar. Dasar aku maniak makanan, alias pemakan segala, alias rakus, diberi krupuk sebanyak itu membuatku sangat senang.

Pelajarannya adalah, jika kamu ingin berbuat baik, tawarkan dan berikan makananmu pada yang membutuhkan dan jangan pernah membuang makanan.

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels