Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Thursday, January 31, 2013

MAULID NABI; Flashback Sejarah Kehidupan Muhammad dari Sisi Entrepreneurship

Muktir Rahman S. Munir

Tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender Hijriyah merupakan hari yang  bersejarah. Karena seorang proklamator dunia lahir di tanggal tersebut. Dialah nabi panutan umat, Muhammad SAW. Dan pada tanggal tersebut pula, sebagian besar umat Islam memiliki acara rutin yakni memperingati hari kelahiran nabi Muhammad. Sehingga jadilah tanggal 12 Robi’ul Awal menjadi hari kebesaran dalam Islam.
Di tahun 2013 ini, tanggal 12 Robi’ul Awal bertepatan dengan tanggal 24 Januari hari Kamis dalam hitungan Masehi. Di hari inilah sebagian umat Islam dunia, tak terkecuali Indonesia, tengah memperingati hari kebesaran itu. Dengan ditandai pembacaan solawat bersama yang dipersembahakan kepada nabi Muhammad, umat Islam telah merayakan hari lahir nabi utusan terakhir itu. Ada pula yang diselingi dengan tausiyah berkaitan dengan kelahiran nabi Muhamad. Dan tak jarang pula yang memberi kilasan balik kehidupan Beliau.
Bayak hal yang bisa dikisahkan kemudian diambil hikmahnya dari kehidupan nabi Muhammad. Mulai dari perkataan atau pun perbuatan. Semuanya tercatat dalam sejarah, bahwa ucapan maupun tindakan Beliau sangat mulia dan patut (harus) ditiru oleh umatnya. Karena demikian, hampir semua ucapan dan tindakan nabi Muhammad merupakan penjabaran dari kitab suci al-Qur’an. Sedangkan al-Qur’an adalah kitab suci yang isinya wajib diaplikasikan oleh seluruh umat Islam. Sehingga ucapan maupun tindakan nabi Muhammad disebut dengan ‘Hadist’. Dan Hadist adalah rujukan penentuan hukum dalam Islam setelah al-Qur’an, baru setelahnya Ijtihat.
Salah satu kepribadian Beliau yang patut kita teladani adalah perjalanannya di dunia bisnis. Nabi Muhammad semasa hidupnya sampai masa sekarang dikenal sebagai pembisnis sukses. Beliau menjalani kehidupannya sebagai pembisnis sukses selama 28 tahun, mulai dari 12 tahun sampai diangkat sebagai rasul di tahunnya yang ke 40. Barulah kemudian semenjak menjadi rasulullah, Beliau lebih banyak bergelut dengan perbaikan sosial masyarakat.

Perjalanan Karir Nabi Muhammad

Nabi Muhammad menjadi yatim sejak dalam kandungan. Abdullah, ayah Beliau, meniggal dunia ketika nabi Muhammad masih dalam usia kandungan enam bulan. Setelah itu, disusul dengan meninggalnya Sitti Aminah, ibu Beliau, ketika umurnya masih enam tahun.
Di umurnya yang masih belia itu, nabi Muhammad memulai karirnya sebagai pengembala kambing. Kambing yang Beliau kembalakan tidak tanggung-tanggung, jumlahnya ratusan ekor. Setiap kambing yang dikembalanya selalu pulang dalam keadaan kenyang, sehat dan selamat. Hal ini menarik minat seluruh penduduk untuk memakai jasa Beliau mengembalakan kambing-kambing mereka. Dari penghasilan ini, Beliau pun bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada umurnya yang baru akan menginjak remaja, yakni 12 tahun, Beliau mulai merobah haluan karirnya. Beliau mulai memberanbikan diri ikut rombongan ekspedisi dagang bersama dengan pamannya, Abu Thalib, ke Syam. Setelah itu makin aktif dengan memperluas wilayah eksportirnya ke Irak, Yordania, Bahrain, Suriah dan Yaman.
Menginjak masa remaja, sekitar umur 17-20 tahun, Beliau semakin intens dalam dunia bisnis. Tidak sedikit pesaing Beliau, yang mereka semua itu lebih senior dan tentunya lebih berpengalaman. Hal ini menjadikan perjalanan bisnis Nabi Muhammad mengalami rintangan cukup berarti. Bisa dikata, pada masa ini adalah masa tersulit Beliau karena harus bersaing dengan para pembisnis senior yang lebih dulu bergelut dengan dunia bisnis dalam perdagangan regional.
Namun, inilah ketangguhan nabi Muhammad. Beliau siap untuk terjatuh dan siap untuk bengun kembali. Sehingga di usianya yang masuk 20 tahun, Beliau pun mencapai puncak kesuksesan. Di masa ini pula merupakan titik keemasan bisnis Beliau sampai pada akhirnya di tahun ke 25 Beliau menikahi seorang perempuan konglemerat Mekkah, Siti Khadijah binti Khuwalid.

Maskawin Untuk Sang Rekan

Siti Khodijah sebenarnya adalah rekan bisnis Nabi Muhammad. Ia adalah pengusaha ternama di Mekkah. Bisnisnya menjangkau wilayah Syiria –daerah yang menjadi persimpangan antara Cina-Eropa dengan jalur Syiriya-Yaman. Ia cantik, lembut namun sangat disegani masyarakatnya. Para penduduk menjulukinya sebagai ‘Ath-Thahirah’ dan ‘Sayyidatul Quraish’.
Jadi, Siti Khodijah dan nabi Muhammad adalah sama-sama pengusaha sukses. Bisnisnya tidak hanya pada jangkauan nasional, tapi internasional. Perdagangan yang dilakukan sudah bicara impor – ekspor. Dan mereka adalah rekan bisnis yang saling menguntungkan. Maka demikian salah interpretasi orang-orang yang menyatakan bahwa nabi Muhammad bekerja pada Siti Khodijah. Karena kata ‘bekerja’ memiliki makna bahwa nabi Muhammad adalah karyawan Siti Khodijah, padahal kenyataan sejarah yang sebenarnya adalah nabi Muhammad rekan bisnis Siti Khodijah.
Pada saat Khodijah menyampaikan keinginannya untuk menikah pada nabi Muhammad melalui sahabatnya, Nufaisa. Dia saat itu berusia 40 tahun -15 tahun lebih tua dibanding nabi Muhammad yang berusia 25 tahun.
Yang sangat menarik di sini adalah, maskawin yang diberikan oleh nabi Muhammad. Statusnya yang masih bujangan, remaja dan hidup sendiri mampu memberikan maskawin yang pantas untuk ukuran konglemerat sekaliber Siti Khodijah saat itu. Siti Khotijah yang cantik, kaya dan memiliki pengaruh luas di beberapa negara tentunya tidak etis jika hanya dihadiahi dengan maskawin yang nilai harganya kecil. Maka pada saat itu, maskawin yang diberikan nabi Muhammad berupa 40 ekor unta merah –kendaraan terbaik pada saat itu. Ada pula yang mengatakan 100 ekor unta.
Jika value alat transportasi terbaik itu kita tarik ke era sekarang, maka cukup kita asumsikan saja BMW seharga Rp. 300 jt. Maka, jumlah kendaraan 40 BMW dengan harga jual per kendaraan Rp. 300 jt., semuanya adalah 6 milyar. Jadi maskawin pernikahan nabi Muhammad yang masih remaja itu adalah 6 milyar.
Demikian ulasan flashback kehidupan nabi Muhammad dari sisi entrepreneurship di hari milad beliau ini. Semoga dengan ini banyak remaja, khususnya mahasiswa, yang mulai “malu” untuk menggantungkan keuangan pada orang tuanya. Karena orang tua bukan lembaga keuangan yang bisa kita gerus uangnya setiap saat. Apalagi uang itu hanya untuk hal hedonis; bergaya dan berasmara. Wallaua’lamu bissawab.,
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

HARUSKAH GURU DIHORMATI?

Hasil gambar untuk Foto kartun Guru

Muktir Syaifullah Munir

Hormati gurumu, sayangi teman, itulah tandanya murid yang budiman.

Penggalan lagu tersebut pernah cukup akrab di kalangan siswa sekolah dasar.Hampir semua siswa SD hafal lagu tersebut. Lagu yang diajarkan oleh guru demi menanamkan pribadi murid yang budiman. Salah satu ketegori murid budiman menurut isi lagu tersebut, adalah dengan menghormati guru.
Guru adalah media transformasi pengetahuan pada murid. Segala macam pengetahuan tidak akan diperoleh tanpa adanya guru. Maka demikian pantas, jika dikatakan guru adalah tonggak kemajuan peradaban suatu bangsa. Dan tak bisa dipungkiri, tanpa guru tidak akan ada peradaban yang berkembang. Karena itulah, menghormati guru adalah pilihan yang tepat.
Di madrasah diniyah atau pesantren, menghormati guru adalah hal sangat urgen. Terbukti dengan adanya materi akhlak, yang mana menghormati seorang guru adalah akhlak paling mulia. Ijlis limuallimika bil adabi wal ikhtiromi, duduklah di depan gurumu dengan sopan dan menghormati.
Salah satu bukti yang lain, adalah adanya kitab Ta’limul Muta’allimyang menjadi kajian wajib di pesantren. Kitab karya Az-Zarnuji tersebut membahas berbagai macam hal berhubungan dengan guru dan dan murid. Tak luput di sana dijelaskan, bagaimana buruknya seseorang yang tidak menghormati gurunya. Sedemikian rupa kitab tersebut memaparkan betapa urgennya ta’dzim terhadap guru.
Nabi Muhammad yang merupakan pengemban tugas memperbaiki akhlak manusia, telah mencontohkan pentingnya menghormati guru. Suatu ketika, beliau pernah bepergian bersama sahabatnya. Di perjalanan beliau turun dari hewan tunggangannya hanya karena ada seorang anak kecil. Lalu kemudian karena penasaran dengan tindakan nabi Muhammad, sahabat pun menanyakan kenapa beliau berlaku demikian. Nabi Muhammad menjawab, hal itu beliau lakukan karena demi menghormati anak kecil tersebut yang pernah memberitahu nabi bagaimana seekor unta hendak kawin dan atau akan melahirkan.
Sahabat Umar pun juga demikian. Beliau  pernah berfatwa jika ada yang mau mengajarinya satu huruf saja, maka niscaya orang tersebut akan deberi imbalan satu dinar.
Maka dengan demikian, menghormati guru adalah hal penting yang harus dilakukan oleh murid. Meski penghormatannya tidak harus sama persis dengan apa yang dilakukan sayyidina Umar atau bahkan nabi Muhammad. Namun, paling tidak mendekati mirip dan sesuai dengan ajaran Islam. Dan juga sesuai dengan budaya yang berkembang di daerah sekitarnya.
Dipandang dari sisi makna guru itu sendiri, memang sudah seharusnya guru dihormati. Karena makna dari guru tidak lain adalah patut digugu dan ditiru. Artinya, guru di sini adalah seseorang yang mampu memberi contoh baik, tindakannya sesuai dengan apa yang telah diajarkan pada muridnya. Mendidik sepenuh hati yang dirasa pantas dengan ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Namun pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan guru di era sekarang? Masih relevankah menghormati guru yang mayoritas mengajar karena ingin mendapat tanda jasa? Atau masih dianggap haruskah guru dihormati sedang perilakunya tak lagi sesuai dengan apa yang diajarkannya?

Beda Guru Dulu dan Sekarang

Takdzim atau hormat dan atau patuh pada seseorang, paling tidak harus sesuai dengan kapabilitas orang tersebut. Dengan kata lain, kadar penghormatan kita pada seseorang disesuaikan dengan kadar ‘kepantasan’ orang tersebut untuk dihormati. Begitu pula pada seorang guru.
       Pada zaman dahulu, guru atau istilah lainnya mua’llim tidak perlu diragukan kapabilitasnya. Sangat jelas mereka patut dihormati, ditakdzimi maupun digugu dan tiru. Sebut saja pada zaman keempat imam madzhab Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’e atau di zaman Az-Zarnuji.
       Di zaman tersebut, seorang guru dicari dan didatangi oleh murid. Kesan yang terbangun adalah murid butuh pada guru, karena memang guru yang dimaksud benar-benar berkapasitas sebagai pengajar yang patut ditiru dan gugu. Seakan tidak terdapat celah pada diri mereka untuk diklaim sebagai orang sok tahu dan sok alim. Keilmuan dan kepribadian mereka tidak bisa diragukan. Buktinya, mereka ikhlas mengajar tanpa ada harapan balasan bersifat duniawi dari muridnya. Mereka hanya berharap ridha dan balasan dari Tuhan. Dan yang paling penting mereka hanya berharap ilmunya bermanfaat untuk seluruh ummat. Sehingga meski pun tidak dibayar mereka tetap akan mengajar.
       Perbandingannya dengan guru di era sekarang cukup jauh. Kesan yang muncul di zaman ini adalah guru yang mencari murid. Semakin banyak murid yang didapat, maka semakin makmur guru tersebut.
Hal yang membangun prilaku demikian salah satunya adalah bantuan biaya pendidikan oleh pemerintah. Adanya bantuan operasional siswa (BOS), bantuan guru fungsional dan bantuan yang lain tak bisa ditampik sebagai faktor utama penyebab berubahnya haluan prilaku guru dari mengajar tanpa tanda jasa menjadi mengajar untuk dibayar.
Semakin banyak murid, semakin banyak pula uang yang didapat oleh guru. Maka, di zaman sekarang murid menjadi lahan subur bagi guru. Penghasilannya cukup menggiurkan. Sedangkan pengetahuan yang diajarkan kepada para murid, tidak sebanding dengan penghasilan guru dengan cara demikian. Karena mayoritas guru di era ini hanya berstatus guru, tanpa memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengajar.
Hampir semua guru mengajar dengan orientasi lulus sertifikasi atau jadi pegawai negeri sipil (PNS). Dengan begitu, mereka pun bisa mendapat penghasilan yang cukup (memprihatinkan).
Bahkan yang cukup miris, guru agama tidak bisa berperilaku sesuai dengan apa yang diajarkan pada muridnya. Mereka mengajar agama, tapi perilakunya menyimpang dari ajaran agama. Sudah banyak kasus seorang guru bertindak senonoh baik terekspos media atau pun tidak.

Lalu Kemudian?

Jika dulu guru atau mu’allim dirasa sangat pantas ditakdzimi, bagaimana dengan guru atau mua’llim sekarang? Guru yang mengajar karena mendapat Surat Keputusan (SK) mengajar dari lembaga bersangkutan, bukan karena diinginkan muridnya. Guru yang mengajar karena punya misi terseleubung, yaitu mendapat penghasilan dari bantuan pemerintah. Guru yang tidak terlalu banyak memberi kontirbusi terhadap kecerdasan siswa karena minimnya keilmuan yang dimilikinya. Guru yang mengajar hanya karena bergelar sarjana, namun sesungguhnya tidak berkompeten untuk mengajar. Guru yang ternyata tidak mampu menyelaraskan antara prilakunya dengan kalimat yang diwejengkan pada murid. Guru yang hanya berstatus sebagai pegawai negeri namun tidak mampu mencontohkan kedisiplinan. Guru yang ternyata hanya melahirkan generasi dengan moral yang buram, karena moral seperti itulah yang (selalu) dicontohkan, baik secara langsung maupun tidak, oleh guru tersebut.
Lalu kemudian, haruskah guru sejenis itu digugu dan ditiru? Jawabannya penulis pasrahkan pada pembaca budiman. Wallahua’lam.


Alumni madrasah Miftahul Ulum, Sasar Kapedi Bluto Sumenep. m.rahmanasyaf@gmail.com



>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

PEREMPUAN LUKA


Oleh: Muktir Rahman Syaf*

PEREMPUAN itu terluka. Setidaknya begitulah yang dapat kupahami.
Tepat di bawah pohon beringin besar, seorang perempuan duduk berselonjor di kursi beton yang puluhan tahun tegak berdiri. Seakan beton itu menunggu sejarah mati, kemudian roboh tak berarti. Kursi itu kokoh menemani lamunan sang bidadari yang lelah letih bersama mimpi. Mengulur pikirannya yang tertambat jauh entah pada apa dan siapa, yang jelas matanya menerawang pergi sejauh langkah kaki di sepanjang jalan tanpa ujung yang pasti.

Karena luka itu, dia menyandang predikat janda. Karena luka itu, dia tidak dikenal orang bahkan oleh keluarga –tepatnya tidak mau dikenal. Karena luka itu pula, dia hidup sendiri dalam dunianya. Dunia asing bagi manusia yang tidak pernah peduli akan luka. Mengacuhkan, mencaci lalu menganggapnya tiada. Padahal, luka tetap ada dan tidak pernah sirna kecuali Tuhan mengkehendakinya.
Perempuan itu tetap berselonjor seperti sebelum-sebelumnya. Persis ketika anak-anak berdasi belum dilahirkan hingga menetaskan anak-anak berdasi lainnya, dia selalu pada posisi yang serupa. Setiap hari, setiap pagi, semenjak matahari masih pagi buta. Dia baru akan beranjak dari lamunannya ketika matahari sudah terbang tinggi menghangatkan tubuh kerontangnya.

Dia sering menatap langit mencari jawaban atas peristiwa yang menimpanya namun semakin dia mencari, perih yang didapatkan. Seperti daun yang sudah tidak kuat lagi menempel pada reranting, karena layu. Selayu tatapan perempuan yang nanar tak berdaya. Sekering harapan yang sudah berlarut dia benam dengan luka. Dan perempuan itu, adalah aku yang terluka.
Saat itu, sebelum dia datang dengan ibunya untuk meminangku, sebelum dia tahu aku adalah perempuan dewasa dan cantik, dan sebelum dia tahu aku tidak pernah keluar darah haid. Aku masih berumur dua belas tahun, yang kata ibu, waktunya seorang perempuan berdada montok dan berdarah haid. Nyatanya memang benar, payudaraku membusung lebih besar dari milik ibunya. Akan tetapi, darah haid tak kunjung mengisi bulanku, namun aku sadar bahwa aku semakin dewasa. Karena kata ibu, aku sempurna.
Saat itu hari belum senja, dia datang ke toko ibu untuk membeli berbagai macam keperluan yang sudah dipesan ibu dan ayahnya juga kebutuhannya.
Sempat kulihat dia menatapku, lama sekali. Akupun menatapnya sampai ibu membangunkan kami dari tatapan nyenyak mempesona itu. Kontan saja aku tersadar bahwa dia baru dimataku dan aku yakin dia baru melihatku.

“Namaku Fauzi, baru pindah dari Malang” dia memperkenalkan diri.
“Fatimah. Biasa dipanggil Imah.” Hanya itulah yang dapat keluar dari mulutku-tidak lebih. Aku adalah anak pendiam. Setidaknya begitulah kesan yang ditangkap warga kampung Sasar (kampungku) terhadap sikapku selama ini.

Semenjak hari itu, dia semakin rajin mendatangi toko ibu, sekedar membeli yang tidak begitu penting menurutku. Kulihat di matanya, dia datang untukku—hanya untukku. Semakin rajin dia mengunjungi toko, semakin setia aku menunggu. Hubungan husus pun terjalin bersama belaian waktu. Jalinan itu husus bagi kami berdua yang orang pun tak tahu. Walupun akhirnya tercium juga oleh orang tua kami. Dan…terciptalah kesepakatan, kami dinikahkan.

Pesta besar-besaran diselenggarakan untuk memeriahkan hari bahagia kami. Di sana berbagai macam hidangan disajikan. Berupa-rupa buahan dihaturkan, tak lupa pula bunga dan hias-rias lainnya tertata rapi di ruangan, meja, ranjang bahkan kolong ranjang. Usia kami hanya terpangkut lima tahun. Dia 20, aku 15 tahun. Dan kami, kata orang-orang, sangat serasi. Aku cantik, dia tampan.

“Kamu benar-benar cantik apalagi malam ini! Aku akan selalu mencintaimu.” Begitulah dia sering melontarkan kata-kata manis untukku. Walaupun kata-katanya tak lebih dari orang yang hanya membual dan gombal, tapi aku senang karna di mana pun dan kapan pun dia selalu manyenangkan hati. Tidak pernah dia menyuruh ini, nyuruh itu kepadaku, bahkan membentak dan itulah yang membuatku semakin sayang padanya.

Usai pesta itu, berhari-hari kami dalam rumah tak pernah terbesit untuk keluar bahkan untuk sekedar menyapa pagi bersinar. Mas Fauzi dan aku keluar ketika akan makan, mandi juga buang air besar. Itupun hanya keluar kamar, keluar rumah tetap tidak tahan. Hari hari terus menanggalkan tempatnya, sedang kami menikmati dengan bahagia.

Hingga hari itu, setelah genap enam tahun usia pernikahan kami, mas Fauzi dan ibunya membawaku ke rumah sakit. Memeriksa apakah aku masih sehat dan normal, karena semenjak malam pertama, dia merasa risih akan sesuatu dariku. Dari persetubuhan yang sering kami lakukan, tidak pernah keluar darah atau cairan kental dari (maaf) kemaluanku. Kemudian dia sempurnakan kecurigaannya di saat aku harus terluka. Ya, enam tahun kami menikah, sosok bayi belum mengisi kebahagiaan hingga akhirnya, keparat itu harus membawaku ke spesialkandungan dan hasilnya sangat mengejutkan –aku mandul. Betapa kikuknya dia mendengar itu. Aku menangis berjam-jam, kemudian terdiam. Sempat aku usulkan kepadanya di suatu malam yang remang. “Bagaimana kalau kita mengadopsi anak saja? Tidak mungkin aku hamil, karena aku terluka.” Namun apa respon si-bejad itu? Dia beku menjawab usulku.

Keesokannya dia membuat kejutan yang mencabik jiwa “Sudahlah Imah, kita tidak bisa melanjutkan hubungan kita” dari semua perkataannya, inilah yang paling aku takutkan. “Mas, tapi aku mencintaimu dan aku yakin kamu juga mencintaiku, karna itu yang selalu mas Fauzi katakan.” Perih terasa mengingat peristiwa yang tak pernah disangka. “Tidak bisa! Aku merindukan hadirnya bayi, sedang kamu… apa yang bisa… bisa—kamu berikan ?” Menangis! Itulah yang hanya bisa dilakukan.

Dulu, dia sering melontarkan kata-kata manis untukku, hingga aku lupa akan manisnya madu. Dulu, sebelum peristiwa itu nyata, aku selalu dipuja, dijaga, selalu dan terus selalu dia setia. Namun, setelah peristiwa itu, dia kubur semua sifat dan kata-kata terindah hanya dengan satu kata “CERAI”

Sering aku mengiba padanya untuk meralat perkataan yang dilontarkan, yang mencabik kebahagiaan. Namun kenyataan berkata lain. Dia malah mempertegas dengan kata yang sama “Cerai! Kita cerai” hampir aku tak percaya bahwa di hadapanku adalah suamiku yang selalu mengucapkan cinta di manapun berada. Akhirnya kemarahan yang membakar jiwa membuatku kalap. Aku masih ingat; Aku mengambil pisau pengupas buahan di meja ruang tamu, menusukkan berkali-kali pada perutnya. Namun, dia masih kuat berlari. Sambil berteriak minta tolong, dia lari terbirit-birit ke luar rumah dan… hm dia lari ke arah jalan buntu. Aku menghampirinya dan kuangkat tangan kanan yang menggenggam pisau. Belum sempat kuhunjamkan, tiba-tiba ada seseorang yang memukul leherku dari belakang dan akupun roboh. Sempat aku mendengar samar-samar ucapannya pada laki-laki yang memukulku. Namun yang paling jelas di sela perkataannya, iblis itu menuduhku orang gila. Akibat pukulan tadi, kurasakan kepalaku semakin pening dan akhirnya aku lunglai, terkapar lalu pingsan. Sampai akhirnya, kudapatkan diriku duduk di kursi beton ini, di belakang bangunan besar yang halaman depan terdapat papan bertuliskan abjad dengan font besar pula. Huruf yang merangkai kalimat, RUMAH SAKIT JIWA.

Sasar Kapedi, 2007

* Adalah anak yang dilahirkan pada 28 Desember 1990. di lingkungan LPI Miftahul Ulum, Sasar, Kapedi, Bloto, Sumenep, Madura. alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

PENYESALAN SEMU





Oleh: Muktir Rahman Syaf

Denting air merangkak di daun kemudian basahi bumi di gerbang pagi. Bening terasa dalam hati. Tentram jiwa meski sunyi. Pandanganpun sejuk menikmati hijau pepohonan tanpa polusi.
Karena semalaman hujan mengurungku dalam kamar, di hari dengan pelangi indah ini akan kupuaskan diri. Menikmati dunia kebahagiaan yang telah Tuhan beri. Tidak siapa pun boleh melarang. Ayah, Ibu, kakak, adik dan siapapun. Sudah terlalu lelah pikiran setelah berhari-hari hanya dirundung sesal. Ya, aku menyesali sesuatu yang tak jelas. Pasnya aku lagi dirundung kebingungan tanpa tahu apa yang aku bingungkan. Kata Ibu, mungkin karena aku jarang sholat. Sholat memang kadang membuat aku tenang. Seperti tidak ada masalah apapun terlintas di hati setelah selesai sholat. Jika pun ada, seberat apapun tidak menjadi beban pikiran. Tapi, seingatku aku tidak pernah meninggalkan sholat. Kalaupun tertinggal karena tidur atau bepergian. Lagian aku menggantinya di waktu yang lain. Dan juga, aku ini kan penjaga musolla di desaku. Musolla Miftahul Ulum namanya. Aku yang mengumandangkan adzan, pujian lalu iqomah. Setelah itu aku pasti sholat berjemaah. Lalu bagaimana mungkin Ibu bilang aku jarang sholat? Aku jadi muadzin semenjak kecil. Waktu itu aku masih SD. Sewaktu belum tahu tata cara sholat, jika selesai adzan, pujian lalu iqomah aku keluar bermain dengan teman. Tapi sekarang aku bukan aku yang dulu. Setelah aku seakan merasakan manfaat sholat, untuk meninggalkannya tidak ada alasan. Jadi, kenapa aku sekarang bingung?
Mungkin aku kurang membaca al-Qur’an? Bisa jadi. Aku kan hanya membaca sehabis maghrib. Tidak seperti Ibu dan Ayah yang membacanya setiap selesai sholat. Ya, jangan dibandingkan dengan kawan-kawanku yang sering cangkruan di atap rumah. Jika dibandingkan dengan mereka, lebih baik aku. Mereka bukan cuma jarang baca kitab suci al-Qur’an, bahkan nyaris tidak sama sekali. Bacanya ketika malam jum’at pas tadarusan. Itupun sebulan sekali. Di kampungku Sasar, setiap jum’at legi semua musolla ada parade baca al-Qur’an. Sudah pasti ketika jum’at legi tiba, kampungku rame. Pertama, karena baca al-Qur’annya menggunakan mic rofon. Kedua, pasti ada banjaan dari warga. Bermacam-macam makanan ada di malam jum’at legi. Aku sama teman-temanku sangat senang jika malam kramat itu tiba. Soalnya makan gratis.
Di antara kami berlima kata guru ngaji kami, aku yang paling lancar bacaan al-Qur’annya. Memang ketimbang Andi, Rudi, Agus dan Salim aku bisa menguasai beberapa lagu. Mulai bayati : qoror, nawa, jawab, jawabul jawab, nahawand, sika, jiharka dalam berbagai versi bacaan seperti misri, turky dll dalam bebera surat Ayat Al-qur’an. Beberapa surat saya menghafal mati. Suaraku pun kata orang-orang, enak didengar. Jadi sketika aku baca al-Qur’an mereka akan mendengarkannya dengan nyaman.
Dari cara aku membaca al-Qur’an, sepertinya tidak mungkin aku bingung karena jarang baca al-Qur’an. Soalnya teman-temanku tidak ada yang mengalami perasaan seperti yang aku rasakan. Padahal mereka lebih jarang dari aku mengaji al-Qur’annya.
Andi yang ayahnya seorang ustadz, setiap minggu mengaji tapi atas paksaan ayahnya. Namun kesehariaanya selalu ceria, enjoy, terasa tidak ada beban apapun. Juga yang lain yang orang tuanya petani dan sibuk bekerja dan sudah pasti jarang baca al-Qur’an juga. Kalau Andi masih cukup wajar karena ayahnya sering kulihat baca al-Qur’an. Mungkin dia dapat kesejukan dari ayahnya. Yang kuherankan Rudi dan yang lainnya. Orang tuanya jarang mengaji, anaknya apa lagi. Kenapa mereka semua tidak segelisah seperti aku? Orang tuaku yang pengajar ngaji di musolla Miftahul Ulum sering baca Qur’an. Maka, anak-anaknya pun pasti mengiringi kebiasaan beliau mengaji. Termasuk juga aku. Jadi aku yakin kegelisahanku bukan karena jarang baca al-Qur’an. Lalu karena apa ya?

Seminggu yang lalu aku bertemu cewek cantik di sekolahku SMA Muhyidin. Setelah kenalan, aku tahu dia adalah adik kelasku yang beda jurusan dengan aku. Aku kelas IIX A jurusan IPA. Sedang Sinta, namanya, kelas IX A IPS. Makanya aku baru mengenalnya. Soalnya jarang ketemu. Setelah itu kami sering ngobrol bareng. Hingga kata teman sekolahanku kami ini pacaran. Apalagi kata Andi, Sinta pernah bilang ke dia kalau Sinta suka aku. Mulailah aku memikirkan perkataan Andi. Kenapa Sinta bisa mengatakan dia suka aku ya? Tampa lelah, pikiranku menjelajahi semua kemungkinan. Dan keputusanku Sinta adalah wanita yang cantik. Ow, apa mungkin Sinta yang membuat aku gelisah, dan merundungku dengan kebingungan? Seperti kata pemuja cinta “Aku sedang jatuh cinta”.
Jika benar cinta atau Sinta yang menyumbat pikiranku dengan gelisah, kenapa aku tidak pernah berharap dia adalah tulang rusuk kiriku. Atau sekedar berpikir dia adalah pengisi hati. Yang ada malah menganggap dia adik yang sangat lucu. Apa lagi Sinta seumuran dengan adikku yang tingkat kelasnya juga sama. Cuma beda jurusan. Adikku jurusan Bahasa.
Ditambah lagi aku memang pernah berharap dia adalah adik kandungku. Karena keakrapan kami selayaknya saudara kandung. Jadi jika bukan perempuan yang membuat pikiranku redup, lalu apa dan siapa? Semakin mencari, kerontang otakku makin terasa. Aku adalah manusia bodoh yang membingungkan sesuatu yang tidak ku tahu apa yang harus dibungungkan. Allah, kehebatanmu adalah tak terhingga. Sesuatu yang semu mengacaukan pikiranku. Hanya Engkau yang tahu apa yang semu itu.

Setengah bulan gelisah yang kurasakan. Sampai hari yang ke tujuh belas ini, aku mulai lunglai dan sering menatap sesuatu dangan nanar. Dari rumah berjalan sampai ke sekolah tampa aku rasakan. Di pagi belum terang benar tiba-tiba Andi memanggilku dan menyadarkan aku sudah ada di sekolah Muhyidin. Beberapa waktu aku lewati tampa tahu telah menghantamku. Selanjutnya kesadaranku kembali lagi dari pengembaraannya ketika aku sudah di kursi kelas. Berkali-kali bayangan semu menghilangkan akal dari otakku. Dan kali ini entah sudah yang keberapa kalinya. Aku tersadar oleh suara guru Amin.
“…kita sering mendapatkan suatu kelebihan dari yang Maha Kuasa. Setelah merasakan tinggal disyukuri. Karena jika tidak disyukuri, akan diambil lagi oleh sang Pencipta.”
Apa saja yang dibahas oleh pak Amin aku tidak memahaminya. Sejak dari tadi kesadaranku hilang entah ke mana. Aku pandangi teman-teman kelasku. Mereka sepertinya menikamati apa yang disampaikan pak Amin. Dan kulihat Anis yang cerdas di kelasku mengacungkan tangan.
“ Pak, minggu kemarin dijelaskan cara mensyukuri sesuatu. Bahwa bermacam cara untuk mensyukuri nikmat bisa dilakukan. Tapi yang jelas harus mengacu untuk meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah. Namun yang belum kami pahami, bentuk pengaplikasian syukur sendiri itu bagaimana? Tolong penjelasannya” Anis pandai sekali ceplas ceplos. Kadang ketika berdebat dengan aku, seakan tak ada waktu sebagai pembatas pembicaraan kami. Sehingga teman-teman menjuluki kami Mr and Ms ceplas ceplos.
“ Ya, terimakasih pertanyaannya. Bentuk pengaplikasiaan syukur bisa berupa meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT. Yang biasanya sholatnya bolong-bolong, mulailah melengkapinya. Dan yang jarang mengumandangkan ayat suci al-Qur’an, perbanyaklah mengaji. Masih banyak bentuk syukur yang lainnya. Misal, jika berlaku kurang baik ubahlah menjadi lebih baik. Yang penting, melakukan sesuatu sesuai dengan perintah Allah dan menjahui laranganNya”
“ Terus pak, jika kita kurang mensyukuri nikmat yang Allah berikan apa hukumannya?”
Andi ikut lebur dalam tanya jawab membuatku ingin menghujankan pertanyaan juga seperti yang telah teman-teman lakukan.
“Hukumannya bermacam. Terkadang merasa kurang puas terhadap apa yang telah kita terima. Atau merasakan nelangsa hidupnya. Ada juga yang pikirannya kacau tanpa mengerti apa penyebabnyannya”
Deg!
Aku terkejut demi mendengar jawaban pak Amin. Seperti beliau sedang membahas masalahku.
“Maaf pak”
“Iya Jun, ada pertanyaan?”
“Begini pak, saya sekarang merasakan seperti yang telah bapak jelaskan tentang konsekwensi orang tidak bersyukur. Bahwa hidup saya nelangsa, bingung, pikiran tidak fokus dan pandangan selalu nanar. Penjelasan tadi, hal itu disebabkan karena bolong sholat atau jarang mengaji Qur’an. Semua teman-teman di sini saya kira tahu keseharian saya.”
“Huuuuuuuu” sekelas menyoraki ku. Entah kenapa mereka. Sudahlah aku lanjutkan saja.
“Saya muadzin baik di sekolah maupun di rumah. Tidak cuma itu, saya pasti berjemaah dan sering baca Qur’an. Ketimbang yang lain yang saya rasa tidak lebih baik dari saya, tentunya saya tidak harus mengalami hal demikian. Lihat saja teman-teman seperti Andi, Rudi dan yang lain. Mereka enjoy tampa kegelisahan seperti yang saya rasakan. Padahal mereka jarang baca Qur’an dan bahkan jarang jemaah. Lalu kenapa ini bisa saya rasakan?” Sleng… lepas deh semuanya. Terasa nyaman juga melepas unek di pikiran.
“Em, begitu ya” pak Amin hanya manggut-manggut paham apa yang kutanyakan. Tapi aku tidak puas hanya dengan angguan. Aku bukan untuk memberi pmahaman tapi meminta jawaban.
“Pak, kenapa? Seharusnya saya ini tidak merasakan gelisah yang tidak saya mengerti apa yang saya gelisahkan. Dari pada yang lain saya lebih baik pak. Saya selalu mengumandangkan adzan, pujian dan baca Qur’an kitab Allah. Tapi kanapa saya masih ditimpa kebingungan? Seharusnya mereka yang jarang menga…”
“Ya itulah kesalahanmu!”
“Maksud bapak?”
“Kamu terlalu sombong dan kurang bersyukur atas kelebihanmu dari teman-teman kamu. Andi maupun Rudi atau yang lainnya tidak mau mengedepankan apa yang mereka bisa karena mereka merasa selalu ada yang lebih bisa dari mereka. Sedangkan kamu merasa sudah yang paling bisa padahal di atas langit masih ada langit. Ingat, masih ada yang maha dari segala maha dan Dia adalah Allah. Kamu bisa qiroah, bisa menjawab soal dengan mudah sudah merasa paling bisa dari segala yang paling bisa. Termasuk juga pengaplikasian rasa syukur adalah tidak menyombongkan diri. Jadi wajar jika pikiranmu kacau dan selalu tidak tenang.”

Aku tertunduk tampa gerak. Hingga lelah makin terasa namun beban kesadaran ringan kubawa.

Warnet AR-ROUDLOH Jemur Wonosari Surabaya, Mei 2009.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

HARUSKAH ADA TANGIS?



Oleh Muktir Rahman Syaf

ENTAH sudah berapa tahun aku tidak tersenyum. Padahal, senyum merupakan tanda kehidupan, tapi bagaimana aku akan tersenyum, jika tidak tahu caranya tersenyum? Apakah seperti jeritan yang yang sering mengisi ruang kesunyian, ataukah seperti linangan air mata yang selalu tumpah dari mata karena sering mendapat pukulan dari iblis yang mengawini ibuku? Sungguh semua ini salahku membiarkan ibu menikah dengannya setelah kematian ayah kandungku. Tapi kenapa ibu malah meninggalkan aku juga? Bahkan di saat aku mengerang kesakitan? Apakah dia tidak menyayangi dan merindukanku? Jika mereka tidak merindukanku, aku yang meridukan mereka. Di saat seperti ini, tangisku malah menjadi. Benarkah dengan menangis, penderitaan akan berkurang? Jika benar, kenapa perihku masih berlanjut? Bukankah setiap detikku adalah tangis? Allah… ini ujian atau penyiksaan?
Andai mereka masih ada, mungkin aku tidak akan lupa bagaimana cara tersenyum. Selama ini bukan hanya senyum yang tidak aku punya. Kasih sayang, cinta, teman, bahkan rasa percaya terhadap orang lain, aku pun tak punya. Seperti inikah hidup? Dulu, ketika aku bersedih, aku lari ke pangkuan ibu dan dia akan membelaiku hingga aku tidak menangis lagi. Lalu sekarang? Jika aku bersedih aku hanya bisa berbagi dengan Riko karna hanya dia satu-satunya yang bisa kupercaya untuk menemani sepiku. Dialah tempat curahan hatiku, tempat aku berteduh dari guyuran derita, tempat aku bercerita tentang luka dan berbagi nestapa.

Di tengah tusukan angin malam yang mencekam, awan menghitam patahkan pandangan pada rembulan bersinar yang kemudian disibak jeritan seorang anak laki-laki yang tidak menemukan kasih sayang.
“Apa kamu ini sudah gila?” suara lantang Riko hanya mampu menembus pori-pori kulitku, tidak bisa dan tidak akan pernah bisa lebih dalam lagi.
“Aku sudah bosan Rik, aku merindukan mereka”
“Tapi, mana mungkin kamu menyusul orang tuamu?”
“Dengan kematian!” entah dari mana kalimat itu datang yang begitu saja keluar dari mulutku. Aku mengucapkan kalimat itu dengan fasih dan lancar, lirih hampir tak bersuara karena serak, tapi mampu memecahkan pendengaran.
Tanpa terasa, air mata bergulir mengisi lekungan pipi yang memar karena tanparan. Betapa lelahnya aku memikul kepedihan ini, hingga aku terlelap dalam belaian tangan sesosok sahabat yang sudah kuanggap sebagai segala-galanya bagiku. Sungguh aku mulai goyah memikul hidup yang penuh dengan penderitaan.

Aaaaaauuuuuuu………… aku merasa sekujur tubuhku terkena hantaman beribu-ribu panah dan aku hanya bisa mengerang kesakitan. Dengan sekejap aku pun bangun dari lelapku dan kudapatkan sekujur tubuhku basah. Entah air apa ini, setiap luka di tubuhku sangat perih seperti tersiram air garam. Belum sempat aku mengelap tubuhku, tiba-tiba saja ada tangan yang menjambak rambutku
“LIHAT! SUDAH JAM BERAPA INI???”
suaranya sangat keras menghantam, mampu memecahkan barang-barang di sekitar.
Iblis itu menyeretku keluar rumah. Tanpak matahari bersinar gerah seakan menampakkan kemarahan. Burung-burung berkicau, tapi lagunya tidak enak didengar. Apa karena aku jarang menikmatinya, sehingga setiap irama dari suara burung-burung itu menjijikkan?
“Kamu ini harus diberi pelajaran…” Diberi pelajaran? Inikah yang dia sebut memberi pelajaran? Dengan memukul, menyeret kemudian mengikatku di pohon mangga di halaman depan rumah? Bukankah hampir setiap hari seperti ini?
“Aaauuu… aaauuu”
“Ini agar kamu tidak lalai…”
“Aaauuu…” Iblis itu terus mencambuki tubuh keringku sampai dia merasa puas, kemudian meninggalkanku begitu saja terbakar panas matahari.
Kulihat Riko di hadapanku menangis melihat tubuh tanpa baju yang penuh memar akibat cambukan tadi.
“ Kenapa kamu menangis, apa dengan menangis aku akan bebas?” ucapku lirih pada Riko “Sudahlah, ini sudah biasa kok terjadi. Ayolah jangan menangis. Semua itu hanya menambah beban padaku” akhirnya Riko terdiam. Membeku. Membisu dalam kaku.

Terik matahari yang begitu membakar, menghanguskan badanku. Namun lebih panas lagi bara yang terus hidup dalam dada hingga panas yang dikeluarkan matahari tidak terasa. Jika saja bara dalam dada bisa kukeluarkan, kugunakan untuk membakar iblis biadab itu.
“Ayooo, cepat masuk!…” tangan kekarnya terus mencengkram tangan kecilku hingga meninggalkan bekas dan Riko sangat marah melihat semua ini “…Makan ini” ternyata iblis ini masih mau memberiku makan. Namun, aku takkan sudi menerima pemberian dari tangan kotor yang menyakitiku. Jika maksudnya menyodorkan nasi hanya untuk menghilangkan laparku saja, dia keliru karena aku tidak akan pernah kenyang sebelum memakan dan meremas-remas dagingnya lalu mencabik-cabik hati dan ususnya.
“ Kenapa tidak makan? Kamu mau melawan?” yang bisa kulakukan hanya diam membisu dalam beku
“ Ayo jawab!” Dia mulai menjambak rambutku dan menghempaskan tubuh kecil ke lantai dengan kasar
“Baik! Jangan salahkan aku jika kamu kelaparan” sambil bersungut-sungut dia keluar membawa kembali nasi yang hendak diberikan padaku. Tapi, kemuadian dia membuangnya karna aku tidak memakannya.
“Seharusnya kamu berontak tadi,” Riko yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu menegurku
“Memberontak? Walaupun aku seorang laki-Laki? Dengan apa aku harus melawan, jika tubuhku tak bertenaga?”
“Ya—dengan apalah! yang penting membuat dia mampus” tiba-tiba Riko beranjak keluar.
“Mau kemana kamu?”
“Mengambil sesuatu yang bisa menghabisinya”
Tak lama kemudian Riko datang membawa sejerigen minyak tanah. Entah apa maksudnya. Kemudian dia menuangnya ke sembarang tempat
“Hei! Apa yang kamu lakukan?” ternyata iblis yang merupakan ayah tiriku itu sudah ada dalam kamar tempat penyekapanku
“Jangan bergerak! Semua pintu telah kukunci dan jika kamu berani bergerak, kubakar rumah ini beserta kamu” Riko terus mengancamnya. Sekarang kemenangan ada di tangan Riko. Bukan! Bukan di tangan Riko, tetapi di tanganku! Ya, di tanganku karena aku dan Riko adalah satu, satu gerak, satu dalam segala hal, karena Riko itu tidak nyata dia hanya halusinasiku. Dia tak lebih adalah batinku sendiri.
“Jangan! Kumohon jangan!” Iblis itu terus melangkah mendekatiku. Tak urung bagiku membakar rumah yang seharusnya menjadi milikku sebab semua ini adalah hasil dari jerih payah ayahku. Lidah-lidah api terus menjilat melalap barang-barang dengan cepat.
Kini aku terjebak bersama orang yang sangat aku benci dalam hidupku menunggu kematian menjemput. Orang itu terus mendekatiku kemudian meraih tangan. Kali ini dia tidak menarik tanganku dengan kasar namun begitu melekat.
“Selamatkan dirimu!” Apa? dia menyuruhku menyelamatkan diri, apa dia sudah gila? Atau mungkin dia hanya menjebakku?
“Lihat! Di sana ada lubang” serunya seraya menunjuk pada lubang yang menghubungkan ruangan ini dengan halaman depan yang hanya bisa dilewati anak sekecil aku. Tapi, kenapa dia ingin menyelamatkanku? “Lubang itu hanya bisa dimasuki anak sekecil kamu. Ayo cepatlah! ” seketika itu juga sebatang kayu besar penyangga atap jatuh menimpa orang yang selama ini kusebut iblis tapi sekarang hendak menyelamatkanku “Cepatlah tidak ada waktu lagi! Lubang itu akan menyelamatkanmu” kutatap orang di hadapanku. Inginku menolongnya, tapi anggota badanku tak mampu kugerakkan.
Untuk terahir kalinya, kutatap wajah ayah tiriku. Tanpa terasa setetes airmata jatuh dari pelupuk mataku. Kutatap lagi wajahnya, dan aku hanya bisa mengangguk, kemudian berlari menuju lubang kecil itu. Tapi, kenapa dia menyelamatkanku? Pertanyaan itu terus menggelantung pada benakku.
“Ingat Ko! Kamu harus tetap hidup! Agar kamu bisa meneruskan pekerjaanku, menyiksa anak—cucuku.” Aku tersentak mendengar ucapannya yang begitu jelas menggema di telingaku. Aku tidak pernah mengerti, kenapa ayahku seperti orang kesurupan iblis. Atau mungkin bukan kesurupan, melainkan dia adalah yang benar-benar iblis. Tapi, kenapa dia menyelamatkanku?
Di tengah-tengah pertanyaan yang menghujan, lantunan merdu suara para muadzin mendendangkan adzan magrib, menyusup keramaian api meronta, di kala malam mulai menjelma.
Aku terus berlari. Diluar rumah, banyak orang yang berusaha memadamkan kobaran api yang semakin membesar melahap rumahku dan seseorang yang sedang terjebak di dalamnya. Aku terus berlari sekuat tenaga. Ingin ransanya aku menangis, tapi menangisi siapa, menangisi orang itu, haruskah ada tangis untuknya?

sasar, 2oo7
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

BERCITA-CITA JADI PENULIS


Muktir Rahman S. Munir

Qolam tampak masih tertunduk lesu, tanpa gerak dan tanpa gairah di atas meja belajarnya. Matanya menatap tajam seakan tanpa arah. Kosong dan tidak jelas apa yang tengah dipandangnya. Walaupun, tidak bisa dipungkiri dari sorot matanya yang paling dalam, lelaki kurus dan tidak ganteng itu sedang mencari-cari sesuatu melalui daya konsentrasi yang sangat keras. Bisa jadi Qolam tengah mengalami ejakulasi pemikiran. Atau sedang merasa di puncak ransangan berimajinasi tingkat tinggi. Bisa saja begitu.
Sesekali Qolam mengejang menatap lembaran di meja belajarnya. Masih putih polos. Entah, apa yang sedang ada dalam pikirannya.
“Huh… bisa stress ne aku” desisnya sambil bersandar lesu.
“Ada apa, Qol ?” Tanya Khozin yang sejak tadi mengamati perilaku Qolam, sahabat barunya, dengan penasaran.
“Kamu bersedia dengar keluh kesahku?” Khozin hanya dapat diam setengah tidak mengerti dengan jawaban Qolam. Tapi, dia mengangguk saja.
“Ya” hanya kata itu yang keluar dari mulut mungil Khozin. Kemudian dia mengambil tempat di sebelah kanan Qolam. Qolam pun memulai kisahnya.
“Orang-orang memanggilku Qolam. Kakek yang memberi nama itu sebelum beliau meninggal. Sejak masih dalam kandungan, orang tuaku mengharapkanku menjadi penulis, karena itu namaku Qolam. Artinya pena.” Khozin mendengarkan secara ikhlas. Ia yakin bahwa dirinya siap menampung semua kegelisahan yang dialami sahabatnya.
            “Setelah aku mulai belajar membaca dan menulis, orang tuaku sering menghadiahiku buku. Bahkan di setiap ulang tahunku, sampai sekarang pun, mereka tidak lupa memberi kado berupa buku.
Aku masih ingat buku pertama berupa novel anak yang mereka hadiahkan. Waktu itu aku baru kelas tiga SD. Bukunya berwarna hijau karya Arsyad H. Ishaka berjudul Desa Pemukiman. Setiap hari, ke manapun aku pergi buku itu selalu kubawa.”
            Sementara Khozin mendengarkan, Qomar melanjutkan ceritanya,
“Setiap aku membacanya, aku merasa ikut bertualang dengan anak-anak desa pemukiman dalam novel itu. Jika di kelas teman-temanku asyik menceritakan pengalamannya pergi ke daerah-daerah jauh, aku lebih sering bercerita isi buku. Aku menceritakan kembali kisah dalam novel yang pernah aku baca, dan nyatanya teman-teman lebih banyak menyukai ceritaku.” Sampai di sini Qolam berhenti sejenak menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan.
            Hem, terus?” Khozin mulai tertarik dengan kisah sahabatnya.
            “Bermula dari buku-buku pemberian ayah dan ibu, aku mulai mengenal penulis-penulis hebat. Apa kamu tahu Djoni Arya Dinata?”
“Aku pernah dengar tapi, kurang tahu siapa dia.”
“Beliau dulunya adalah tukang becak. Di umurnya yang sudah tua, dia belajar menulis cerpen sampai akhirnya dia menjadi penulis hebat.”
Ow…” Khozin menggangguk tanda mengerti, namun  masih ada sesuatu yang mengganjal di benaknya “Terus… apa kaitannya dengan ceritamu yang Kaututurkan sejak tadi?”  
“Ada!” jawab Qolam tanpa pikir panjang. Khozin diam dan merasa kurang memahami apa yang sedang terjadi pada Qolam.
“Apa itu?”
“Kamu pernah pegang buku, atau majalah, atau koran?” Tanya Qolam.
“Bukan hanya pegang sih, Qol, bacanya juga pasti” jawab Khozin.
“Berarti kamu pernah tahu nama Afrizal Malna, WS Rendra, Agnes Jessica, D Jenar Meysa Ayu, Asma Nadia, Lan Fang, Adrias Harefa, JK Rowling, dan penulis- penulis lainnya”
“Sebagian aku tahu… seperti JK Rowling penulis novel Harry Potter”
Sieep kalo gitu”, puji Qolam. “Mereka semua adalah penulis yang selalu aku kagumi. Bukan hanya karena karya mereka yang bagus, tapi juga karena proses yang mereka lewati. Kamu tahu gak, berapa kali JK Rowling mengalami penolakan, hinaan, dan cacian dari penerbit  untuk novelnya, Harry Potter?” Khozin menggeleng.
“12, Zin! Tidak tanggung-tanggung! Tapi, dia tetap yakin dan terus saja menulis hingga akhirnya novelnya diterbitkan setelah untuk  ke-13 kalinya dia mengirimkan ke penerbit.” Khozin hanya bisa diam mendengar ucapan-ucapan Qolam. Sesekali dia mengangguk kagum.
“Khozin, dari dulu sejak aku kecil, aku sangat ingin seperti mereka yang karya-karyanya banyak dibukukan.” Qolam memejamkan matanya. Dia menunduk seakan dapat melihat jantung bumi dengan cara terpejam.
“Itu bagus, Kawan. Aku yakin kamu bisa.”
“Masalahnya, aku tidak bisa berproses seperti mereka. Aku lemah. Aku tak sekuat Rowling yang terus berusaha meski mengalami penolakan dan cacian berkali-kali. Aku menulis satu judul saja tidak pernah bisa maksimal, apalagi satu buku seperti Adreas Harefa dan yang lain?” Khozin kebingungan menghadapi kondisi temannya. Dia hanya diam tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Qol, aku memang kurang tahu dunia tulis-menulis. Tapi, bagiku tak ada yang tidak bisa, hal itu tergantung niat dan usaha. Thomas Alfa Edison mengalami kegagalan percobaan sebanyak 10.008 kali dan baru berhasil pada percobaan yang ke 10.009 kalinya. Seandainya dia menyerah pada percobaan yang ke 10.008, maka bisa dipasikan tidak akan ada lampu. Begitu juga dengan Rowling yang Kamu ceritakan. Jika saja dia menyerah setelah penolakan yang ke-12 dan tidak mencoba lagi, aku tidak yakin dunia akan mengenal Harry Potter”. Qolam terperangah demi mendengar ucapan temannya. Kali ini dia yang tercengang. Namun jauh dalam dirinya ada sesuatu yang memberontak.
“Iya, mana mungkin mereka menyerah. Mereka sudah pasti terus mencoba karena mereka kuat dan tidak lemah seperti aku.” Qolam kembali menunduk.
“Begini, pada saat sekolah Diniyah kemaren, Kiayi Rahman pernah menjelaskan bahwa Allah itu memberi ujian sesuai kemampuan hambanya.” Khozin mengambil nafas sambil sesekali melirik Qolam yang sedari tadi masih menunduk. Kemudian Khozin melanjutkan, “Jadi, masih menurut beliau, orang yang mendapat ujian kecil berarti dia dipercaya oleh Allah sebagai orang kecil. Begitu juga sebaliknya, jika ujian yang dihadapi seseorang besar, berarti Allah mempercayainya sebagai orang yang besar.” Qolam hampir tidak percaya, dalam hati dia hanya bergumam “Teman yang satu ini baru mondok kok sudah pintar menjelaskan hal-hal yang baru diserap.
“Terus? Kau mengatakan aku ini adalah ornag kecil?” Qolam merasa tersindir.
“Tanyakan saja pada dirimu sendiri. Bagiku, jika kamu sudah mau menyerah pada hal kecil, berarti kamu memang ingin jadi orang kecil. Jika Kamu bersedia meniru JK Rowling dan penulis-penulis lain yang walaupun mengalami sebesar apapun cobaan tapi tidak mau menyerah, berarti Kamu sama besarnya dengan mereka. Itu menurutku lho….”
“Hem,… begitu ya?”
YUP….! Lalu, apakah kamu masih tetap akan menyerah pada satu judul yang sulit Kau lahirkan itu?”
“Hem, aku rasa tidak! Karena aku ingin seperti mereka dan menjadi penulis hebat. Zin, trimakasih buaaaaanyaaak….. Aku mulai mengerti kenapa orang-orang besar dan terkenal tidak banyak mengeluh,” ucap Qolam sumringah, seperti mendapat semangat baru. Keduanyaa saling tatap dan tersenyum, kemudian tertawa bersama di dalam kamar kecil yang mereka huni bersama.
Begitulah awal keakraban dua santri baru yang nantinya menjadi orang yang berhasil mencapai tujuan masing-masing.

Sasar, 24 Pebruari 2011

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels