Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Sunday, February 24, 2019

K. Maujudi Djudaidi




"Sudah makan?" Pertanyaan itu yang seringkali diucapkan setiap menyambut tamu. Mau Anda maling, bandar narkoba, santri, kiai, guru, berpenampilan necis, semrautan, songkoan, gondrong, atau bahkan gila, siapapun yang datang, tidak luput dari pertanyaan makan. Dan, apapun jawaban yang Anda berikan, pasti disuguhi makanan.

Begitu diantara cara K. Maujudi Djudaidi memperlakukan tamunya. Tidak ada seorangpun yang dibencinya apalagi dianggapnya musuh. Bagaimana membenci, marah saja tidak.

 Bila suara beliau meninggi seperti teriak sehingga terkesan marah, hanya sekilas. Seper sekian detik kemudian disusul tawa beliau. Tawa yang khas. Suara tidak terlalu keras, namun bibir mengembang lebar dan sebagian gigi sampai kelihatan.

Orang-orang memanggilnya Pak Judi. Jarang sekali yang memanggilnya Kiai, termasuk santri-santri beliau. Sebagian memanggilnya Bapak Kiai. Itu atas permintaan beliau, tersebab tidak ingin dipanggil kiai. Menurut riwayat, saat dulu nyantri di Mayang oleh pengasuh dipanggil Yuda. Beliau mondok di Mayang sejak belum genap umur 10 tahun. Berguru langsung di pesantren asuhan Kiai Asyim Bin Kiai Moh. Ilyas bin Kiai Muhammad Assyarqowi. Saat itu beliau jadi teman sepermainan putra pengasuh, yakni Kiai Naufal.

Maujudi remaja gemar menuntut ilmu. Ia sebetulnya kerasan di pondok, dan tidak ingin berhenti mondok. Hanya saja, Ia harus pulang ke Serah Temor, Sumenep, disebabkan peristiwa tidak terduga. KH. Ashim membubarkan pesantrennya dan menyuruh seluruh santri pulang, sedang KH. Ashim sendiri pulang ke Ponpes Annuqayah, Kamisan, Guluk-Guluk. Oleh karena itulah, Maujudi remaja memilih pulang ke Sumenep dan menyusul gurunya ke Ponpes Annuqayah, namun mondok di Annuqayah Daerah Latee yang diasuh oleh KH. Ahmad Basyir bin Abdullah Sajad bin Moh. Assyarqowi.

Di pesantren barunya ini, oleh KH. Ahmad Basyir AS langsung diberi tugas mengajar. Maujudi remaja pun mengajar muallimin, namun tetap menempatkan dirinya sebagai santri yang tidak mau alfa mengikuti pengajian KH. Ahmad Basyir AS, karena niatan awalnya adalah nyantri bukan ngajar.

Kiai Maujudi terkenal sebagai alim ilmu nahwu. Banyak yang berguru kepada beliau, selain terkenal kealimannya dalam bidang nahwu, juga kewara'an beliau dan pemahamannya pada tasawuf. Dari beberapa penganut aliran thariqah juga banyak yang sering datang kepada beliau. Saya sendiri menyaksikan bagaimana kenyelenehan para tamu-tamu itu saat datang.

Semasa hidupnya, beliau abdikan untuk menebar kebaikan dan ilmu. Mengisi pengajian dan ilmu nahwu di pesantren-pesantren, tentu atas permintaan para pengasuhnya. Kitab karangan beliau diantaranya امثال المختصر. Kitab ini berisi ringkasan dan contoh-contoh ilmu nahwu dan sharraf. Apa yang diajarkan Kiai Maujudi menekankan pada penggunaan kata dalam memaknai dengan tepat. Semisal, ketika ditanya apa pengertian isim mufrad ( الاسم المفرد)? Beliau menyalahkan jawaban yang menyebutkan bahwa isim mufrad adalah kata benda yang bermakna satu. Hal itu yang terjadi pada penulis, si alfaqir bililmi ini, dulu. Padahal pengertian itu yang saya dapatkan, hingga kemudian beliau menjelaskan pengertian yang lebih tepat.

"Jika isim mufrad adalah kata benda yang bermakna satu, maka زيد bukan isim mufrad," saya hanya bengong.

"Lah iya kan? Yang berhak jadi isim mufrad hanya واحد karena bermakna satu" menjelaskan itu, beliau sambil lalu tersenyum.

"Aengki..." hanya itu jawaban saya.

 Kemudian beliau menjelaskan bahwa banyak yang salah memilih diksi dalam menjelaskan ilmu nahwu dan kitab sehingga berakibat pada salah paham pada maksud penulisnya.

"Isim Mufrad adalah kata benda yang pengertian banyaknya satu," sembari memberi penekanan pada kata 'pengertian banyaknya', saya pun mulai paham apa yang dimaksud beliau.

Beliau adalah tempat saya dan santri-santrinya menemukan ketenangan. Menemukan jalan keluar dari setiap persoalan yang kami hadapi. Benar beliau mengajarkan bagaimana mebaca kitab, namun terlebih utama yang diajarkan beliau adalah cara menjalani kehidupan. Bagaimana seharusnya menjadi manusia yang menjadikan seluruh manusia adalah saudara. Bagaimana menjadi makhluk yang selalu berbaik sangka kepada penciptanya.

Kini beliau telah tiada. Hari Rabu kemarin tepatnya pukul 21 malam, pada tanggal 20 Februari 2019, Beliau meninggal dunia di kediamannya, Serah Temor, Bluto Sumenep. Semoga amal baiknya dinilai ibadah dan diterima oleh Allah SWT, serta segala khilafnya mendapat pengampunanNya. Alfaatehah...

Kami, merindukanmu, bimbinganmu, wahai guru. Akuilah kami sebagai santrimu.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

1 comment:

  1. mator sakalangkong tuk tulisan saena.

    @nta

    ReplyDelete

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels