Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.
  • Maaf dan Terimakasih

    Kata "Maaf" dan "Terimakasih" bukan ungkapan basa-basi. Ia adalah kualitas kemanusiaanmu

  • Gak Usah Ember

    Ada banyak hal yang tidak perlu diumbar ke orang lain, biar kemesraan hanya milik kita. Sekalipun itu telah jadi kenangan.

  • Dua Tangan

    Jika ocehanmu tak bermutu, ngocehlah sama tanganku.

  • Terpisah Rak Buku

    Maka apa yang lebih mesra dari sepasang kekasih yang terpisah rak buku?.

Wednesday, February 26, 2014

GUNDULI KEPALA; Jangan Hutan

“Rambut adalah mahkota.” Ujar salah satu teman yang rambutnya niru gaya personel Soju, di saat kami ngumpul melepas penat di sore hari.
“Laki-laki terlihat tampan atau tidak, tergantung model rambutnya” teman yang lain menanggapi sambil mengelus rambut berkuncirnya.
Obrolan seputar rambut terus berlanjut. Masing-masing orang memiliki persepsi sendiri model rambut seperti apa yang cocok. Ada berasumsi, rambut panjang dan lurus sangat bagus, ada yang lebih memilih rambut punk, dan ada yang lebih cocok dengan model rambut gaya tentara.
Aku sendiri mengiyakan semua pendapat teman-teman tentang rambut, “Seseorang semakin tampak tampan atau cantik karena potongan rambutnya yang cocok.”

 Semua tidak harus memiliki model potongan rambut yang sama untuk tampak bagus. Misal si A mengikuti gaya rambut si B yang ganteng agar si A tampak ganteng pula. Hal itu tak perlu, sebab face wajah setiap orang tidak sama. Karena tidak sama, maka gaya rambut tidak harus sama, yang perlu diperhatikan adalah sesuai dengan bentuk kepala, kepribadian dan face wajah.

Bayangkan saja jika seorang kiai, ulama besar dan sangat dihormati masyarakat, gaya rambutnya a la Boy Band atau lebih esktrem lagi a la anak punk. Wah, ketika khotbah jumat  dijamin heboh. Hehehe. Atau malah sebaliknya, seorang anak punk rambutnya disisir rapi rata ke kanan ditambah pakai kaca mata jadul bulat terus kancing bajunya terpasang semua. Aku tidak yakin lagi si anak ini diakui sebagai anak punk.

Pembicaraan panjang lebar teman-teman menambah refrensi padaku tentang mode rambut. Gaya rambut tentara, model serabut, punk, panjang sebahu, kuncir panjang di belakang dan beberapa model rambut yang tak ku tahu namanya. Mode rambut yang “belum pernah” aku coba, boleh dikata rambutku tidak mengikuti mode terkini seperti teman-temanku. Rambutku kalau gak pendek, ya panjang.

Aku teringat suatu hari pernah seorang teman mengatakan ingin melihat aku gundul. Aku tak mengerti kenapa dia menginginkannya, tapi memang seingatku aku tidak pernah gundul. Belum kebayang gimana kalau kepalaku tanpa rambut, sebab aku lebih sering membiarkan rambutku terjuntai panjang. Hem, aku berpikir tidak ada salahnya mengabulkan keinginan temanku itu. Semoga saja dia bisa tersenyum karena kepala gundulku, siapa tahu dengan begitu aku masuk surga. Amien. Hehehehe

Kepada teman-teman aku utarakan bahwa aku akan potong rambut. Mereka terdiam seakan tak percaya. Aku mengerti kenapa mereka tencengang, tak lain sebab rambutku masih pendek. Yang mereka tahu, aku tidak mungkin memotong rambut pendekku sebab aku terbiasa berambut panjang. Ekspresi mereka hampir sama dengan tukang cukur suatu ketika di salon saat aku datang untuk potong rambut. Si tukang cukur itu tidak langsung memotong rambutku yang kala itu panjangnya sampai punggung. Dia ngoceh sendiri menasihatiku untuk memikirkan matang-matang keinganku potong rambut sesisir atau sekitar 2 inci. Katanya butuh waktu lama agar rambut panjang, apalagi panjangnya sampe punggung. “Mas, kalo urusan pangkas rambut itu gampang, hitungan menit beres. Pikir-pikir dulu lah, Mas… sulit loh untuk laki-laki rawat rambut sampai sepanjang ini” nasihat si tukang cukur diulang-ulang. Namun aku telah memutuskan untuk memangkas rambutku kala itu, maka si tukang cukur pun meski ada rasa kagak enak tetap memotong rambutku sesisir.

Teman-temanku kurang percaya dengan keputusanku. Perbincangan kami tentang rambut diakhiri dengan sebuah tantangan. Mereka menantangku untuk plontos, dan mereka bertaruh aku tidak berani. Waktu dibatasi sampai ke esokan hari. Jika besoknya kepalaku tidak gundul, maka aku kalah. Semua yang berkumpul menyatakan sepakat, itu artinya ada waktu 13 jam untukku. Kesempatanku sejak aku menyetujui tantangan pada jam 17.00 hari Senin tanggal 24 Februari 2014 sampai jam 06.00 Selasa, 25 Februari 2014.

Tepatnya sehabis jamaah isya’, aku ke rumah tetangga bernama Sampandi. Aku berniat minta bantuannya menggunduli kepalaku. Aku pikir, tak perlu buang uang ke salon hanya untuk buang rambut. Mending kan pilih gratisan dan hasilnya sama; kepala gundul.

Sekitar satu jam, rambutku berhasil dipangkas habis. Ku raba, terasa licin. Hahaha, semoga saja tidak menyebabkan longsor dan banjir seperti hutan yang digunduli. Sampai di sini, timbul pertanyaan di kepalaku; kenapa mereka lebih senang menggunduli hutan ya, bukan menggunduli kepala sendiri? Menggunduli hutan bisa menyebabkan bencana, sendang menggunduli kepala tidak. Hem, payah. Jika mereka (yang suka merusak hutan) berpikiran seperti teman-temanku bahwa rambut adalah mahkota keindahan sehingga harus dirawat, begitu pula seharusnya pada hutan. Tumbuhan di hutan adalah mahkota keindahan dan harus dirawat, bukan dipangkas habis kemudian dimusnahkan, agar bumi tetap indah dan sejuk. Weekkkkk…

Keesokannya, aku langsung menemui teman-temanku memperlihatkan kepalaku. Mereka semua tertawa, begitu pula aku. Hahahahha…. Kepalaku benar-benar gundul.

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/1800188_10200898034208058_903497307_n.jpg?oh=32bfe1560eb42551fd0876b94c9cba83&oe=589BC1F3
25 Februari 2014
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Tuesday, February 25, 2014

Kaya Hati Pasti Punya WC

Bersama adiknya, dia sedang membuat jurang di belakang rumahnya ketika aku datang bertandang. Senyumnya mengembang menyambutku seperti biasa di setiap perjumpaan kami. Senyum itu yang sering aku rindunkan darinya. Senyum yang hanya dimiliki oleh sahabat karibku.

Aku membantunya menggali semampuku. Ternyata tak semudah yang kulihat, sulitnya terasa sampai ubun-ubun, sebab testur tanahnya keras dan banyak hamparan bebatuan. Kami harus menyingkirkan batu-batu itu menggunakan peralatan sederhana, linggis, tumbuk, cangkul dan penacal. Jika dikerjakan ahlinya, sehari sudah mencapai kedalaman 2 – 3 meter. Ini karena dikerjakan oleh kami --yang tidak biasa melakukan pekerjaan menggali-- sehari hanya sedalam 1 meter.  

Di sela pekerjaan, aku tanyakan kenapa tidak menggali di tempat yang lain. Dia pun menjelaskan bahwa sudah mempertimbangkannya dengan matang, dan hanya di sana tempat yang cocok. Setelah itu, aku tidak bertanya lagi meski aku penasaran untuk apa jurang itu. Kami kembali ke pekerjaan kami, menggali dan menggali selama empat hari sampai akhirnya hasil galian kami menyerupai sumur sedalam 5 meter dengan lebar 2 meter.

Selanjutnya, dia menceritakan mimpinya padaku. Dia memiliki mimpi yang besar, yaitu membangun sebuah WC di rumahnya. Aku terkejut saja demi mendengar semua itu. Bagaimana mungkin orang seperti dia masih sempat-sempatnya ingin membangun WC, padahal dia tak sekaya para tetangganya yang tidak memiliki WC. Lebih terkejut lagi, uang yang telah dia rencanakan untuk membeli motor baru malah dialokasikan untuk proyek-nya. Seharusnya dia tetap membeli motor baru agar dia memiliki motor seperti para tetangganya. Bayangkan saja, para tetangganya memiliki rumah yang lebih wah dari rumahnya, memiliki kendaraan pribadi, uang yang lebih banyak tentunya dari sahabatku itu, tapi mereka tidak sibuk membuat WC. Mereka berpikir, WC itu tidak lebih penting dari memiliki motor baru atau perhiasan. Karenalah, kebanyakan anak-anak mereka diberangkatkan ke kota-kota besar bahkan ke luar negeri untuk bisa membeli kendaraan pribadi, memiliki perhiasan dan memperindah rumahnya, bukan untuk memiliki WC.

Aku teringat pada diriku sendiri. Di rumahku tersedia dua WC, di dalam rumah dan di samping rumah, juga bangunan WC yang lebih besar ada lumayan jauh di depan rumah. WC di dalam rumah, untuk kalangan pribadi, yang di samping rumah untuk tamu yang berkunjung, dan jauh di depan rumahku adalah untuk umum. WC yang untuk umum itu adalah sumbangan dari pemerintah Sumenep.

Pada tahun 2012, aku menjabat sebagai ketua POKMAS Putra Segoro kampung Sasar. Pada masa jabatanku, Putra Segoro dipercaya untuk mengelola uang dana hibah dari pemerintah untuk program pembangunan infrastruktur pedesaan dan percepatan Infrastruktur peningkatan ekonomi kerakyatan. Uang sebesar Rp. 10.000.000,- berdasarkan kesepakan kami anggarkan untuk membangun MCK dengan luas 8x4 meter dan tinggi 5 meter berlokasi di Madarasah Miftahul Ulum. Lembaga pendidikan yang dari segi pembangunan masih memprihatinkan.

Pembangunan MCK tersebut, dikerjakan oleh 8 orang, termasuk aku dan sahabatku. Itu adalah pertama kalinya aku menggali jurang, mengangkut batu, bergelut dengan semen dan tanah liat, mengecor, merangkai kawat cor dan memikirkan cara bagaimana agar para pekerja tetap semangat bekerja. Di samping itu, aku masih disibukkan dengan berkas yang harus dilengkapi dan disetor ke dinas PU CIPTA KARYA. Meski lelah, aku menyenangi pekerjaan itu karena di sana ada kebersamaan dan kekompakan. Ada tawa, keringat dan canda. Karena MCK itu pula, aku bisa akrab dengan warga kampung Sasar yang lama aku tinggal merantau.

Sampai saat ini, gara-gara pernah berkutat dengan pembangunan MCK, aku sering menaruh perhatian lebih pada WC. Aku tidak lagi jijik pada WC. Jika mampet dan saluran pembuangan tidak lancar, segera aku memperbaikinya sekalipun harus masuk ke lubang yang aduhai…. keren abis. Hehehe :D Tidak perlu aku menunggu orang lain untuk membersihkan WC setiap minggu, aku sudah siap sedia menjaga kebersihannya. Setiap minggu aku sempatkan untuk membersihkan WC termasuk kosen yang lebih sering harus aku kerok pake benda keras semisal pecahan kramik karena kotoran yang berkarang indah di cekungan kosen. Tentulah dibantu dengan cairan pembersih yang ku beli di toko. Cairan pembersih lantai dan kosen itu, aku beli dengan uangku sendiri, sebab tidak ada orang yang mau membelikannya. Bahkan meski WC umum itu banyak yang memanfaatkannya.

Dengan membersihkan WC atau toilet, aku merasa lepas dari semua beban. Pikiranku terseret untuk fokus pada kosen, lantai dan pintu bagaimana supaya tetap bersih. Jika aku sedang dirundung masalah, sedang marah, sedih, aku memilih membersihkan kamar mandi dan WC. Aku teringat sebuah cerita tentang seorang istri yang tidak pernah marah pada suaminya padahal suaminya sering memarahi istrinya itu. Terdorong oleh rasa penasaran, si suami kemudian menanyakan kenapa istrinya bisa begitu. Si istri dengan senyum khas menjawab, jika dia marah, dia akan lari ke toilet lalu membersihkannya. Si suami masih penasaran kenapa hanya dengan membersihkan toilet, istrinya bisa melupakan kemarahannya, lalu kemudian si istri menjelaskan bahwa setiap membersihkan kosen, dia menggunakan sikat gigi yang sering digunakan suaminya itu. :D

Berbeda dengan yang aku rasakan, sahabatku punya alasan yang lebih masuk akal. Dia berpikir untuk membuat WC karena dia punya ibu yang sudah tua, saudara perempuan dan ponakan perempuan yang sudah remaja. Dia tidak ingin perempuan di rumahnya itu kerepotan untuk menuntaskan hajatnya membuang bekas makanan yang mengendap di perut mereka. Tidak seperti para tetangganya yang memilih menuntaskan hajat di persawahan, kali dan pegunungan. Hehehe.

Sempat lama melamun karena terkagum sama keputusan sahabatku, aku pun sadar bahwa dia adalah orang yang sesungguhnya kaya. Dia lebih kaya dari tetangganya yang memiliki kendaraan pribadi, dari tetangganya yang memiliki rumah lebih wah atau yang memiliki perhiasan sekarung tapi tidak memiliki WC. Lebih tepatnya, dia memiliki kekayaan hati dan pikiran sehat dari pada tetangganya.


Sasar, 11 Februari 2014.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Sunday, February 23, 2014

PECINTA AL-QURAN DARI SASAR

Kampung yang unik

            Sasar adalah nama sebuah kampung perbatasan lima desa; Kapedi, Moncek Barat, Moncek Tengah, Moncek Timur dan Bilapora. Penduduk yang menghuni kampung Sasar sekitar 1095 jiwa dengan 367 kartu keluarga. Sekitar 406 jiwa berstatus penduduk desa Moncek Barat, 608 dari desa Kapedi,  31 jiwa desa Bilapora dan sisa 50 jiwa dari Moncek Tengah dan Moncek Timur. Di kampung inilah aku dilahirkan. Kampung yang bagiku sangat unik dan menyenangkan.
            Salah satu keunikan yang dimiliki kampung Sasar adalah ketiga pemuda yang sekaligus sahabat karibku. Mereka memberi warna berbeda pada kampung tercinta dibanding kampung yang lain. Aku bersyukur bersahabat dengan mereka dan lahir di kampung yang sama.
            Seorang dari mereka bernama Nafi’udin. Dia termasuk sahabatku yang dibilang nyeleneh oleh tetangga, namun sampai sekarang aku tidak paham hal nyeleneh apa yang pernah dia lakukan. Barang kali karena dia seorang pengusaha dagang barang rongsokan. Dia membeli rongsokan pada tetangga dan pemulung untuk kemudian dia jual kembali. Ah, aku rasa itu tidak nyeleneh. Pekerjaannya halal dan tidak salah, toh banyak juga yang berprofesi seperti dia. Apa mungkin karena dia bisa membeli motor baru karena usahanya itu? Entahlah, yang jelas aku mengaguminya.
            Benar dia bukan karyawan kantoran atau pejabat pemerintah, hanya seorang pedagang barang bekas. Benar pula bahwa dia dari keluarga sederhana, tapi dia adalah pecinta al-Quran sejati. Setiap hari jumat dan rabu, dipastikan dia hatam membacanya. Tidak pernah dia bosan membaca dan memperdalam isi kitab suci al-Qur’an. Satu hal lagi, dia tidak mengenyam pendidikan di pesantren atau lembaga formal. Ijazah yang dimilikinya adalah ijazah paket, namun dia ahli nahwu dan sorrof. Membaca dan mengartikan kitab turos, dia bisa.
Seminggu yang lalu dia menikah dengan putri kiai terkemuka di Sasar. Al-hasil, si pemuda pedagang barang rongsokan itu menjadi seorang kiai.
            Orang yang kedua bernama Abd. Syakur. Pemuda yang satu ini termasuk orang yang jarang tidur malam. Sulit sekali aku menemukan dirinya terlelap di waktu malam. Mula-mula aku tak begitu terkejut dengan kebiasan dia bergadang, sampai akhirnya aku terperanjak malu padanya. Aku malu karena aku tidak bisa menirunya, padahal kami sahabat karib. Oh, dia mengisi malam-malamnya dengan bercinta. Dia mencurahkan rasa cintanya terhadap Tuhan dengan membaca al-Quran.
Ya, Syakur adalah pecinta al-Quran dari kampung Sasar. Dia, yang oleh orang-orang sering disepelekan karena kebiasaannya tidur pagi ternyata adalah orang yang seharusnya diacungi jempol. Hampir setiap malam dia hatam membaca al-Quran, bahkan dia menghafalkannya. Selain itu, dia juga pintar membaca dan mengartikan kitab turos karya ulama besar seperti Al-Ghazali.
Orang ketiga bernama Abd. Warist. Di usianya yang masih muda, dia tidak gengsi menjadi penjual sayur keliling. Setiap pagi, selain hari jumat dan rabu, dia menjajakan sayurnya menggunakan motor. Bermacam jenis sayuran dan lauk dia jual dan biasanya laku semua. Para tetangga merasa terbantu oleh Warist, sebab mereka tidak lagi harus ke pasar Kapedi yang jaraknya 5 kilo miter dari Sasar hanya untuk membeli lauk.
            Warist adalah sahabat yang baik dan sangat aku kagumi. Bukan hanya karena dia penjaja sayur, tapi ada sesuatu yang membuatnya bercahaya dan patut diacungi jempol. Dia adalah penjual sayur yang sangat mencintai al-Quran. Kecintaannya pada kitab Allah dibuktikan dengan gelarnya sebagai hafidh. Ya, dia memang pemuda penjual sayuran tapi dia hafidh.
Sempat aku berpikir sekalipun mereka bertiga memiliki kealiman, tetap saja ada yang mencemohnya. Misal ada yang mencibir, “Tahfidh sih tahfidh… tapi penjual sayur keliling.” Mereka yang mencibir begitu, bagiku sangat aneh karena pikirannya negatif. Jika saja semua pola berpikir orang adalah positif, mungkin tidak akan terlalu sibuk mecari kejelakan orang lain. Coba saja cara berpikirnya itu dibalik, “Emang penjual sayur sih… tapi dia itu hafidh lo. Ha-fi-dh!”. Tapi, ya, mau digimanakan toh itu adalah warna berbeda di kampung Sasar yang pasti menambah corak keantikannya.
Ah, Sasar memang perkampungan antik. Kampung yang memberiku pengalaman dan mengenalkanku pada warna kehidupan. Kampung yang unik dengan penghuninya yang unik pula. Ada pengusaha dagang barang rongsokan, pemuda yang dikira kerjanya hanya tidur dan penjual sayur yang mereka semua tidak disangka adalah pemuda hebat. Tak banyak yang tahu bahwa mereka hebat, sebab mereka menyembunyikan kehebatannya dengan cara berbeda. Aku bangga lahir di kampung Sasar dan aku sangat bangga Sasar memiliki pemuda hebat seperti mereka bertiga.

Sasar 07 Februari 2014
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

CURHAT PAGI; BENARKAH ITU CINTA?

Menghadapi Phobia Masa Lalu


            Baru-baru ini aku mengalami perasaan yang sebelumnya pernah aku rasakan. Panas-dingin, tentram tapi dirundung cemas, berbunga-bunga tapi ragu, penuh harap tapi tak yakin dan segala hal yang bisa aku rasakan. Semua berbaur mencipta rasa nano-nano, penuh warna serupa pelangi. Sepertinya indah tapi aku tak yakin. J
            Ya, aku pernah mengalami hal seperti itu dulu ketika aku naksir pada seorang perempuan. Aku tak ingat sepenuhnya kenapa aku bisa naksir padanya, padahal kami tidak pernah bertemu sebelumnya sampai waktu cukup lama. Aneh! Begitulah komentar teman-temanku. Jujur, aku sendiri merasa aneh memang, tapi mau apa dikata, begitulah adanya.
            Cerita perkenalanku dengan perempuan yang dulu aku pernah naksir padanya biasa saja. Waktu itu aku baru lulus MAT (SMA), dan dia adik kelasku di sekolah berbeda tapi dari pesantren yang sama. Awalnya aku tidak pernah tahu kalau ada seorang perempuan seperti dia di pesantren tempatku mondok dulu. Aku tak pernah membayangkan bisa kenal dengan perempuan yang belakangan aku tahu ternyata dia sangat cantik. Takdir mengatur perkenalan kami melalui jejaring sosial, waktu itu lagi bomengnya Friendster, berlanjut ke Facebook, Hape dan berujung sekali pertemuan di rumahnya.
            Selama lebih dua tahun, hubungan kami erat dan intens. Keluarga kami pun, meski tak pernah ketemu, sangat akrab seakrab aku dengan perempuan itu. Hanya aku yang pernah berjumpa dengan keluarganya sekali, meskipun begitu mereka merestui kami. Segeralah seminggu setelah pertemuanku yang sekali itu dengannya dan keluarganya, masa depan untuk kami direncanakan. Kami akan ditunangkan. Apa kami bahagia? Tentu saja. Bisa dibilang itu kebahagian terbesarku, dulu. Namun begitu, Tuhan memiliki rencana lain terhadapku. Karena sesuatu dan lain hal, kami gagal tunangan, bahkan hubungan kami berakhir sebagai teman biasa yang biasa-biasa saja. :-/
            Aku sempat down sebentar, sebelum akhirnya bergairah kembali menikmati hidupku. Lagi pula kejadian itu sudah lama, tahun 2009.  Apa yang kualami itu, adalah sebagian dari hidupku, tidak bisa tidak aku harus menerimanya. Sejak itu, aku semakin percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa terhadapku. Dia telah merencanakan takdir terbaik untukku. Sejak itu pula, aku tidak ingin berlebihan dalam berharap, mencinta atau membenci. Bisa jadi yang ku harapkan bukan yang terbaik untukku, yang ku cintai berlebihan nantinya malah sangat ku benci sedang yang sangat ku benci malah ku cinta.
            Beberapa tahun aku lalui dengan menjahui jurang dalam dan gelap bernama “asmara”. Sebisa mungkin aku menghindar dari pergaulan yang bisa membawa perasaan suka bahkan cinta (asmara) pada perempuan, selain ibu dan saudaraku tentunya. Selama itu pula aku menjalani masa kuliahku tanpa berusaha mengenal atau dikenal mahasiswi. Bisa jadi, hanya aku yang tidak memiliki kenalan mawasiswi sekali pun seangkatan dan di kampus yang sama. Hal ini pula didukung dengan peraturan yang membatasi interaksi antar mahasiswa dengan mahasiswi di kampusku. Masa yang sebenarnya tidak sulit untuk kujalani. Terlebih, karena sejujurnya aku pemalu berhadapan dengan lawan jenis. :-D
            Namun hal itu tidak berlangsung lama, segera setelah aku menginjak semester akhir. Berkat keakrabanku dengan mahasiswa lain, membuatku mulai unjuk gigi pada perempuan. Dimulai ketika kuliyah kerja nyata (KKN), aku membiasakan bergurau dengan beberapa perempuan yang temannya temanku. Di jejaring sosial aku juga mulai berani menyapa perempuan. Bahkan aku pernah beranikan diri mengundang beberapa penulis perempuan dari FLP Latee II untuk mengisi acara di kampungku, padahal sungguh aku hanya mengenalnya dari hape. Bersama mereka, ternyata aku bisa bercanda gurau, ketawa-ketiwi-ketewer-ketowor lepas. Hal ini pun mementahkan anggapanku bahwa perempuan itu menakutkan, menyeramkan, mengerikan dan apa lagi ya? Hehehe… yang jelas, punya banyak teman sekali pun dia perempuan ternyata sangat menyenangkan.
            Akhir-akhir ini aku memiliki kebiasaan bercanda gurau di facebook bersama teman baik laki maupun perempuan. Aku senang, ternyata mereka tidak menganggapku seperti yang pernah ku sangkakan pada mereka bahwa menakutkan, mengerikan dan harus dihindari. Aku meminta maaf dan sangat berterimakasih pada kalian, terutama temanku yang perempuan J. Kalian bemberi warna pada hidupku.
            Setelah sekian lama aku menghindar, kali ini aku kembali dihadapkan pada perasaan nano-nano. Panas-dingin, tentram tapi dirundung cemas, berbunga-bunga tapi ragu, penuh harap tapi tak yakin dan segala hal yang bisa ku rasakan. Terasa indah sekaligus aneh dan lucu.
            Ini bermula sejak aku mengenal seorang perempuan baru-baru ini. Seperti halnya dulu, aku tidak mengerti kenapa aku merasakan perasaan demikian ketika memikirkan perempuan itu. Pengalaman ini, benar-benar sama dengan yang dulu. Aku tidak pernah “merasa” bertemu dia di dunia nyata, tapi dia mengaku tahu padaku. Aku juga malu dan ragu untuk menyatakan pada perempuan itu tentang apa yang aku rasakan, persis seperti pada perempuan yang dulu. Ah, entahlah, kenapa aku penakut sekali untuk urusan seperti ini. Aku hawatir ketika menyatakannya, si dia malah tertawa atau marah tak suka. Jika pun dia senang dan mengartikan yang aku rasakan adalah cinta, aku masih hawatir tentang satu hal. Pengalamanku yang dulu akan terulang menyeretku pada kegagalan, sebab sungguh, masa lalu itu menjadi phobia atau lebih tepatnya membuatku trauma. Lagi pula aku masih meragukan, benarkah itu cinta?
Namun yang jelas, di antara harap dan cemasku itu, aku putuskan untuk melepas senyum selepas-lepasnya ke alam bebas dan tetap melaju ke arah hidup yang telah ditunjukkan Tuhan padaku. Aku pasrahkan, apa pun yang terjadi senyumku tidak boleh pudar. J
           
Sasar, 06 Februari 20014.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Tuesday, February 11, 2014

Rindu di Ujung Pagi

Aku tergesa melangkah. Berlari mengejar waktu yang bisa saja mencuri kesempatanku, dan aku tidak ingin itu terjadi. Karena itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku tak lagi peduli dengan dinginnya pagi yang sangat ku benci. Jika bukan karena rindu, diam dalam selimut, berdekam di kasur empuk hingga matahari membakar pori adalah langkah terbaik. Rindu selalu mampu menawarkan kehangatan yang lebih dari hangatnya mentari. Ku langkahkan kaki sekencang jalannya kereta.
Bhrrr! Getar bibir sepanjang jalan tak ku hiraukan. Sungguh menggigil. Hembusan lembut nan dingin. Sesekali ingin rasanya mengumpat lelaki yang memintaku untuk bertemu, karena ia memilih waktu yang kurang bersahabat. Meski demikian, aku tidak bisa menolak permintaannya. Sebab aku memang tidak pernah bisa menolaknya.
Mungkin ini pertamakali kususuri jalanan di pagi buta. Jalan yang sangat sepi. Hanya ada satu dua kendaraan melintas, tidak seperti di waktu lain yang penuh dengan polusi dan teriakan supir karena macet total. Walau kedua tanganku tidur pulas di saku jaket tebal yang kupakai, uh! bahkan dingin tak mau pergi. Syal merah melingkar anggun di leherku yang kurus, yang ujungnya bergerak-gerak diterpa angin. Rambut panjangku yang kusisir rapi, tampak hitam mengkilau. Ah! Sungguh aku merasa sangat cantik.
Kamu kalah! Aku yang pertama. :)
Pesan singkat masuk ke BB yang baru ku beli seminggu yang lalu, ternyata dari dia yang menyita waktu pagiku. Senyum manisku merekah. “Hmm.. Dia selalu selangkah lebih di depanku.” Batinku menggumam, “Tapi tidak dalam segala hal kamu bisa lebih unggul, sayang. Ada saatnya kamu harus kalah...”
 Ingatanku kembali memutar ulang kisah perjumpaan dengan pujaan hati di acara reuni SMA tempatku belajar dulu. Waktu itu, dia menjabat sebagai ketua panita. Aku terkejut bukan main mengetahui ternyata dia satu sekolah denganku. Terlebih lagi saat baru mengetahui bahwa dia selalu didaulat sebagai bintang pelajar. Saat dia menyampaikan pidato singkat selaku ketua panitia, entah kenapa dia sempat melihat ke arahku. Selain cerdas, dia juga tampan. Dan karena itulah aku menghampirinya seusai dia sambutan. Kesempatan tak akan datang dua kali, pikirku. Kita pun saling mengenalkan diri, bertukar alamat e-mail, akun jejaring sosial, pin BB bahkan nomer handphone.
Usai dari acara itu, yang ada di kepalaku hanya tentang Faqih, ku sebutkan nama lelaki itu. Sejak saat itulah, kita semakin akrab, bahkan sering bertemu untuk sekedar jalan-jalan santai, makan, nonton, hingga akhirnya mengikat janji untuk saling setia sebagaimana adam dan hawa. Aah, sungguh kisah cinta yang membahagiakan.
Meski kita kuliah di kampus berbeda, bukan rintangan yang berarti untuk tetap merajut kasih yang indah. Hingga tiba saatnya aku untuk berangkat mengabdi ke kampung pedalaman yang tentunya jauh dari keramaian kota. Mahasiswa menyebutnya ‘Kuliyah Kerja Nyata’.
Sebulan lebih tidak bisa berkomunikasi, disamping karena tempatku mengabdi cukup jauh dari tempat Faqih berada, didukung oleh signal yang sama sekali tak pernah kompromi, juga karena sibuk dengan program kegiatan masing-masing, selama itu pula, kita hanya bisa menahan rindu yang tak terbendung. Layaknya udara yang ditiupkan ke dalam balon tanpa henti. Semakin lama, balon itu semakin besar dan nyaris meledak. Kini, balon udara itu meledak dahsyat ketika Faqih benar nyata di depan mataku. Tanpa Ba-Bi-Bu, aku menghambur dalam peluknya. Ada tetes airmata rindu jatuh dari kelopak mataku yang bulat. Faqih mengusapnya dengan lembut, lalu memelukku erat. Seakan tak terpisahkan lagi.
@@@

“Kenapa kamu memilih waktu pagi untuk kita berjumpa?” tanyaku, masih dalam pelukan Faqih.
“Apa kamu senang?” Faqih balik bertanya, lirih.
Aku mengangguk, Faqih semakin mempererat pelukannya.
Aaa… Aku sulit bernafas,” kataku tersengal-sengal karena pelukan Faqih terlalu erat. Dia buru-buru melonggarkan dekapannya.
“Maaf sayang, aku hampir lupa kalau kamu selembut embun pagi yang sangat cantik dan tak boleh disentuh dengan kasar. Karena itu akan merusak keindahanmu.” Faqih merajuk. Entah, aku merasa aneh dengan perkataannya.
“Hampir lupa? Apa benar begitu?” aku mendongakkan kepala ke wajah laki-laki yang sangat ku cintai itu.
“Bukan begitu, aku hanya tak mampu membahasakan rinduku dan keindahanmu. Perbendaharaan kataku tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkannya. Kamu yang terindah dan tak ingin kulepas.”
“Kamu tak perlu membahasakannya, karena aku mengerti.Akhirnya kita melepas pelukan, kemudian memilih duduk di trotoar jalan. Kita memilih tempat bertemu di tengah-tengah antara kampusku dan kampus Faqih. Persimpangan jalan tepat di jantung kota.
@@@
Sering kali aku dan Faqih berdebat, padahal hanya masalah sepele, aku rasa aku belum dewasa. Pernah suatu ketika aku mendebat Faqih berjam-jam, hanya karena Faqih mengatakan ‘aku merindukanmu’. Waktu itu aku tidak setuju dengan kata merindukanmu.
   Aku pun memulai debat kusir itu dengan sebuah pertanyaan. “Jelaskan padaku perbedaan rindu dan merindu”
Faqih yang sebenarnya tidak begitu niat meladeniku, terpaksa memberi jawaban. Karena jika tidak, Faqih bisa memprediksiku ngambek dan bisa-bisa tidak mau bicara dengannya berhari-hari.
“Rindu sebenarnya adalah kata sifat yang sering dijadikan kata kerja. Kata kerja yang sebenarnya adalah merindu. Rindu – cinta, merindu – mencinta” Faqih menjawab dengan sangat lembut. Berharap aku tidak bertanya lagi. Namun itu tidak mungkin, karena aku suka mencecar Faqih dengan berbagai pertanyaan hingga akhirnya Faqih lah yang harus mengalah.
 “Lalu, salahkah jika aku mengatakan, aku rindu kamu? tanyaku lagi.
“Gak salah honey... karena itu udah biasa atau masyhur dipakai, tapi rada keliru dalam structural bahasa jawab Faqih sesuai dengan apa yang dia ketahui.
“Jadi, kata yang paling pas, aku merindukanmu. Begitu?” kali ini, aku tampak tidak senang. Karena aku memang kurang sepakat jika Faqih lebih memilih kata ‘merindukanmu’ dari pada ‘rindu kamu’.
 “Secara struktural demikian, meski kelaziman penggunaan yang sangat umum dan berlebihan untuk kata ini sangat bisa melonggarkan aturan dalam struktur.
“Lalu, untuk bertanya, yang bagus menggunakan kalimat yang mana? Apa kamu rindu aku, atau apa kamu merindu aku?” aku tetap tidak mau mengalah. Padahal Faqih sudah berusaha sedemikian rupa untuk membuat masalah itu sederhana.
 “Untuk percakapan populer, enakan pake ‘rindu’ ajah. Seleraku” begitulah Faqih. Dia berusaha menghindari perbincangan yang akhirnya bisa ditebak, aku marah kalau kalah.
 “Ada dua pengertian malah jika menggunakan kalimat, apa kamu rindu aku? Pertama, menanyakan apakah kamu rindu ‘milik’-ku? Kedua, apakah kamu merindukan aku? Aku rasa kurang pas. Mimik mukaku cemberut, sifatku yang seperti inilah yang sebenarnya membuat orang lain menghindariku. Kecuali Faqih, tentunya.
 “Ambil jalan aman saja, yang tafsir si pendengar tidak jauh dari maksud kamu Faqih memaksakan sesungging senyum, yang kelihatannya hambar.
 “Yupz! Pertanyaan berikutnya, apa jawabanmu jika pertanyaan itu kuajukan padamu sekarang?” Faqih sempat tercengang, namun kemudian dia melepas tawa bersama tawaku.
 “Monggo aja. hahahaha”
 “Hahahaha. Oya, jika pertanyaannya, apakah kamu rindu aku? Apakah jawabanmu iya, atau bukan atau malah tidak? Dari setiap jawaban yang kutawarkan, berbeda maksudnya” Sebenarnya aku hanya ingin memojokkan Faqih yang pernah ketahuan masih menyimpan kenangan bersama mantan pacarnya dulu. Aku hanya ingin meluapkan emosi pada Faqih yang ternyata masih sulit melupakan kenangan dengan mantan pacarnya itu.
 “Iya, aku rindu. Gak, aku gak rindu. Bukan, bukan kamu yang aku rindu” Faqih menyadari air muka cemburuku, tapi dia memang sulit melupakan perempuan yang pernah dia cintai itu. Sedangkan aku, tidak mau mengerti perasaan Faqih. Karena itulah, aku selalu mendebatnya, selalu berusaha memojokkannya. Namun, meski demikian, Faqih tetap memilihku sebagai perempuan yang dicintainya hingga sekarang.
 “Arti dari jawaban yang bukan, kurang satu arti lagi. Apa kamu rindu aku? Bukan, bukan aku rindumu, tapi DIA”. Sengaja ku perkeras suara ketika mengucapkan kata DIA. Saat itu, Faqih seolah menyesal dan merasa bersalah padaku. Dia berulang kali meminta maaf, aku pelit untuk memberinya maaf. Tapi pada akhirnya aku memaafkan Faqih.
@@@

“Kenapa kamu memilih waktu pagi?” Aku mengulangi pertanyaan itu lagi.
Faqih terdiam sesaat. Kemudian dia menggenggam tanganku erat.
Ai ku sayang… Karena pagi adalah waktu yang tepat untuk memulai semuanya. Aku ingin kita memulai kisah hidup baru kita dari sini. Dimulai pagi ini. Kita akan menghapus segala hal buruk yang telah berlalu yang bisa merusak masa depan kita, dan kita mulai melakukan hal-hal baru yang akan semakin mempererat dan memperkokoh cinta kita.” Pipiku memerah. Serasa aku terpanggang kata-kata Faqih. Kata-katanya menghangatkan tubuhku yang sedari tadi masih menahan gigil dingin. Dan aku benar-benar merasakan hangat yang lebih, saat Faqih melanjutkan kalimatnya.
“Aku melamarmu untuk jadi istri sekaligus kekasih tunggal seumur hidupku.”
Aku tertegun mendengar kalimat  yang baru ia lontarkan. Bibirku kelu untuk beberapa menit terakhir, pikiranku kosong menerawang. Entahlah,,, Aku harus bagaimana?? Batinku mengadu. Air mataku sudah tumpah meruah semalaman.
“Aku tidak suka pagi yang dingin, dan kamu tahu itu. Atau, mungkinkah waktu yang lain telah kamu persembahkan untuk orang selainku?”
“Tidak, Ai. Sama sekali tidak.”
Tiba-tiba saja mataku berair. Faqih tampak bingung. Aku melepas genggaman tangannya.
“Lantas, apa yang kamu lakukan sebelum pagi ini?” tanyaku dalam suara serak.
“Memantapkan hati bahwa aku tidak salah memilihmu.” Hatiku teriris. Perih. Sungguh, aku tak meragukan cintamu, Faqih! Tapi... apa yang bisa dilakukan manusia lemah sepertiku ketika Sang Pencipta manusia sekaligus cinta berkehendak lain? Apa yang bisa aku lakukan, Faqih?
Aku berbalik memunggunginya, seraya menghapus air mata yang deras mengalir.
“Semalam, sudah ada lelaki lain yang meyakinkan Ayah untuk menikahiku, Faa….” ucapku lirih kemudian berlari sekencang laju kereta, meninggalkan Faqih dalam beku dan dingin pagi yang tidak pernah bersahabat dengan tubuh dan hatiku.

Sasar Kapedi, 10 November 2013
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels