Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Tuesday, February 11, 2014

Rindu di Ujung Pagi

Aku tergesa melangkah. Berlari mengejar waktu yang bisa saja mencuri kesempatanku, dan aku tidak ingin itu terjadi. Karena itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku tak lagi peduli dengan dinginnya pagi yang sangat ku benci. Jika bukan karena rindu, diam dalam selimut, berdekam di kasur empuk hingga matahari membakar pori adalah langkah terbaik. Rindu selalu mampu menawarkan kehangatan yang lebih dari hangatnya mentari. Ku langkahkan kaki sekencang jalannya kereta.
Bhrrr! Getar bibir sepanjang jalan tak ku hiraukan. Sungguh menggigil. Hembusan lembut nan dingin. Sesekali ingin rasanya mengumpat lelaki yang memintaku untuk bertemu, karena ia memilih waktu yang kurang bersahabat. Meski demikian, aku tidak bisa menolak permintaannya. Sebab aku memang tidak pernah bisa menolaknya.
Mungkin ini pertamakali kususuri jalanan di pagi buta. Jalan yang sangat sepi. Hanya ada satu dua kendaraan melintas, tidak seperti di waktu lain yang penuh dengan polusi dan teriakan supir karena macet total. Walau kedua tanganku tidur pulas di saku jaket tebal yang kupakai, uh! bahkan dingin tak mau pergi. Syal merah melingkar anggun di leherku yang kurus, yang ujungnya bergerak-gerak diterpa angin. Rambut panjangku yang kusisir rapi, tampak hitam mengkilau. Ah! Sungguh aku merasa sangat cantik.
Kamu kalah! Aku yang pertama. :)
Pesan singkat masuk ke BB yang baru ku beli seminggu yang lalu, ternyata dari dia yang menyita waktu pagiku. Senyum manisku merekah. “Hmm.. Dia selalu selangkah lebih di depanku.” Batinku menggumam, “Tapi tidak dalam segala hal kamu bisa lebih unggul, sayang. Ada saatnya kamu harus kalah...”
 Ingatanku kembali memutar ulang kisah perjumpaan dengan pujaan hati di acara reuni SMA tempatku belajar dulu. Waktu itu, dia menjabat sebagai ketua panita. Aku terkejut bukan main mengetahui ternyata dia satu sekolah denganku. Terlebih lagi saat baru mengetahui bahwa dia selalu didaulat sebagai bintang pelajar. Saat dia menyampaikan pidato singkat selaku ketua panitia, entah kenapa dia sempat melihat ke arahku. Selain cerdas, dia juga tampan. Dan karena itulah aku menghampirinya seusai dia sambutan. Kesempatan tak akan datang dua kali, pikirku. Kita pun saling mengenalkan diri, bertukar alamat e-mail, akun jejaring sosial, pin BB bahkan nomer handphone.
Usai dari acara itu, yang ada di kepalaku hanya tentang Faqih, ku sebutkan nama lelaki itu. Sejak saat itulah, kita semakin akrab, bahkan sering bertemu untuk sekedar jalan-jalan santai, makan, nonton, hingga akhirnya mengikat janji untuk saling setia sebagaimana adam dan hawa. Aah, sungguh kisah cinta yang membahagiakan.
Meski kita kuliah di kampus berbeda, bukan rintangan yang berarti untuk tetap merajut kasih yang indah. Hingga tiba saatnya aku untuk berangkat mengabdi ke kampung pedalaman yang tentunya jauh dari keramaian kota. Mahasiswa menyebutnya ‘Kuliyah Kerja Nyata’.
Sebulan lebih tidak bisa berkomunikasi, disamping karena tempatku mengabdi cukup jauh dari tempat Faqih berada, didukung oleh signal yang sama sekali tak pernah kompromi, juga karena sibuk dengan program kegiatan masing-masing, selama itu pula, kita hanya bisa menahan rindu yang tak terbendung. Layaknya udara yang ditiupkan ke dalam balon tanpa henti. Semakin lama, balon itu semakin besar dan nyaris meledak. Kini, balon udara itu meledak dahsyat ketika Faqih benar nyata di depan mataku. Tanpa Ba-Bi-Bu, aku menghambur dalam peluknya. Ada tetes airmata rindu jatuh dari kelopak mataku yang bulat. Faqih mengusapnya dengan lembut, lalu memelukku erat. Seakan tak terpisahkan lagi.
@@@

“Kenapa kamu memilih waktu pagi untuk kita berjumpa?” tanyaku, masih dalam pelukan Faqih.
“Apa kamu senang?” Faqih balik bertanya, lirih.
Aku mengangguk, Faqih semakin mempererat pelukannya.
Aaa… Aku sulit bernafas,” kataku tersengal-sengal karena pelukan Faqih terlalu erat. Dia buru-buru melonggarkan dekapannya.
“Maaf sayang, aku hampir lupa kalau kamu selembut embun pagi yang sangat cantik dan tak boleh disentuh dengan kasar. Karena itu akan merusak keindahanmu.” Faqih merajuk. Entah, aku merasa aneh dengan perkataannya.
“Hampir lupa? Apa benar begitu?” aku mendongakkan kepala ke wajah laki-laki yang sangat ku cintai itu.
“Bukan begitu, aku hanya tak mampu membahasakan rinduku dan keindahanmu. Perbendaharaan kataku tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkannya. Kamu yang terindah dan tak ingin kulepas.”
“Kamu tak perlu membahasakannya, karena aku mengerti.Akhirnya kita melepas pelukan, kemudian memilih duduk di trotoar jalan. Kita memilih tempat bertemu di tengah-tengah antara kampusku dan kampus Faqih. Persimpangan jalan tepat di jantung kota.
@@@
Sering kali aku dan Faqih berdebat, padahal hanya masalah sepele, aku rasa aku belum dewasa. Pernah suatu ketika aku mendebat Faqih berjam-jam, hanya karena Faqih mengatakan ‘aku merindukanmu’. Waktu itu aku tidak setuju dengan kata merindukanmu.
   Aku pun memulai debat kusir itu dengan sebuah pertanyaan. “Jelaskan padaku perbedaan rindu dan merindu”
Faqih yang sebenarnya tidak begitu niat meladeniku, terpaksa memberi jawaban. Karena jika tidak, Faqih bisa memprediksiku ngambek dan bisa-bisa tidak mau bicara dengannya berhari-hari.
“Rindu sebenarnya adalah kata sifat yang sering dijadikan kata kerja. Kata kerja yang sebenarnya adalah merindu. Rindu – cinta, merindu – mencinta” Faqih menjawab dengan sangat lembut. Berharap aku tidak bertanya lagi. Namun itu tidak mungkin, karena aku suka mencecar Faqih dengan berbagai pertanyaan hingga akhirnya Faqih lah yang harus mengalah.
 “Lalu, salahkah jika aku mengatakan, aku rindu kamu? tanyaku lagi.
“Gak salah honey... karena itu udah biasa atau masyhur dipakai, tapi rada keliru dalam structural bahasa jawab Faqih sesuai dengan apa yang dia ketahui.
“Jadi, kata yang paling pas, aku merindukanmu. Begitu?” kali ini, aku tampak tidak senang. Karena aku memang kurang sepakat jika Faqih lebih memilih kata ‘merindukanmu’ dari pada ‘rindu kamu’.
 “Secara struktural demikian, meski kelaziman penggunaan yang sangat umum dan berlebihan untuk kata ini sangat bisa melonggarkan aturan dalam struktur.
“Lalu, untuk bertanya, yang bagus menggunakan kalimat yang mana? Apa kamu rindu aku, atau apa kamu merindu aku?” aku tetap tidak mau mengalah. Padahal Faqih sudah berusaha sedemikian rupa untuk membuat masalah itu sederhana.
 “Untuk percakapan populer, enakan pake ‘rindu’ ajah. Seleraku” begitulah Faqih. Dia berusaha menghindari perbincangan yang akhirnya bisa ditebak, aku marah kalau kalah.
 “Ada dua pengertian malah jika menggunakan kalimat, apa kamu rindu aku? Pertama, menanyakan apakah kamu rindu ‘milik’-ku? Kedua, apakah kamu merindukan aku? Aku rasa kurang pas. Mimik mukaku cemberut, sifatku yang seperti inilah yang sebenarnya membuat orang lain menghindariku. Kecuali Faqih, tentunya.
 “Ambil jalan aman saja, yang tafsir si pendengar tidak jauh dari maksud kamu Faqih memaksakan sesungging senyum, yang kelihatannya hambar.
 “Yupz! Pertanyaan berikutnya, apa jawabanmu jika pertanyaan itu kuajukan padamu sekarang?” Faqih sempat tercengang, namun kemudian dia melepas tawa bersama tawaku.
 “Monggo aja. hahahaha”
 “Hahahaha. Oya, jika pertanyaannya, apakah kamu rindu aku? Apakah jawabanmu iya, atau bukan atau malah tidak? Dari setiap jawaban yang kutawarkan, berbeda maksudnya” Sebenarnya aku hanya ingin memojokkan Faqih yang pernah ketahuan masih menyimpan kenangan bersama mantan pacarnya dulu. Aku hanya ingin meluapkan emosi pada Faqih yang ternyata masih sulit melupakan kenangan dengan mantan pacarnya itu.
 “Iya, aku rindu. Gak, aku gak rindu. Bukan, bukan kamu yang aku rindu” Faqih menyadari air muka cemburuku, tapi dia memang sulit melupakan perempuan yang pernah dia cintai itu. Sedangkan aku, tidak mau mengerti perasaan Faqih. Karena itulah, aku selalu mendebatnya, selalu berusaha memojokkannya. Namun, meski demikian, Faqih tetap memilihku sebagai perempuan yang dicintainya hingga sekarang.
 “Arti dari jawaban yang bukan, kurang satu arti lagi. Apa kamu rindu aku? Bukan, bukan aku rindumu, tapi DIA”. Sengaja ku perkeras suara ketika mengucapkan kata DIA. Saat itu, Faqih seolah menyesal dan merasa bersalah padaku. Dia berulang kali meminta maaf, aku pelit untuk memberinya maaf. Tapi pada akhirnya aku memaafkan Faqih.
@@@

“Kenapa kamu memilih waktu pagi?” Aku mengulangi pertanyaan itu lagi.
Faqih terdiam sesaat. Kemudian dia menggenggam tanganku erat.
Ai ku sayang… Karena pagi adalah waktu yang tepat untuk memulai semuanya. Aku ingin kita memulai kisah hidup baru kita dari sini. Dimulai pagi ini. Kita akan menghapus segala hal buruk yang telah berlalu yang bisa merusak masa depan kita, dan kita mulai melakukan hal-hal baru yang akan semakin mempererat dan memperkokoh cinta kita.” Pipiku memerah. Serasa aku terpanggang kata-kata Faqih. Kata-katanya menghangatkan tubuhku yang sedari tadi masih menahan gigil dingin. Dan aku benar-benar merasakan hangat yang lebih, saat Faqih melanjutkan kalimatnya.
“Aku melamarmu untuk jadi istri sekaligus kekasih tunggal seumur hidupku.”
Aku tertegun mendengar kalimat  yang baru ia lontarkan. Bibirku kelu untuk beberapa menit terakhir, pikiranku kosong menerawang. Entahlah,,, Aku harus bagaimana?? Batinku mengadu. Air mataku sudah tumpah meruah semalaman.
“Aku tidak suka pagi yang dingin, dan kamu tahu itu. Atau, mungkinkah waktu yang lain telah kamu persembahkan untuk orang selainku?”
“Tidak, Ai. Sama sekali tidak.”
Tiba-tiba saja mataku berair. Faqih tampak bingung. Aku melepas genggaman tangannya.
“Lantas, apa yang kamu lakukan sebelum pagi ini?” tanyaku dalam suara serak.
“Memantapkan hati bahwa aku tidak salah memilihmu.” Hatiku teriris. Perih. Sungguh, aku tak meragukan cintamu, Faqih! Tapi... apa yang bisa dilakukan manusia lemah sepertiku ketika Sang Pencipta manusia sekaligus cinta berkehendak lain? Apa yang bisa aku lakukan, Faqih?
Aku berbalik memunggunginya, seraya menghapus air mata yang deras mengalir.
“Semalam, sudah ada lelaki lain yang meyakinkan Ayah untuk menikahiku, Faa….” ucapku lirih kemudian berlari sekencang laju kereta, meninggalkan Faqih dalam beku dan dingin pagi yang tidak pernah bersahabat dengan tubuh dan hatiku.

Sasar Kapedi, 10 November 2013
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

1 comment:

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels