Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Thursday, January 31, 2013

HARUSKAH ADA TANGIS?



Oleh Muktir Rahman Syaf

ENTAH sudah berapa tahun aku tidak tersenyum. Padahal, senyum merupakan tanda kehidupan, tapi bagaimana aku akan tersenyum, jika tidak tahu caranya tersenyum? Apakah seperti jeritan yang yang sering mengisi ruang kesunyian, ataukah seperti linangan air mata yang selalu tumpah dari mata karena sering mendapat pukulan dari iblis yang mengawini ibuku? Sungguh semua ini salahku membiarkan ibu menikah dengannya setelah kematian ayah kandungku. Tapi kenapa ibu malah meninggalkan aku juga? Bahkan di saat aku mengerang kesakitan? Apakah dia tidak menyayangi dan merindukanku? Jika mereka tidak merindukanku, aku yang meridukan mereka. Di saat seperti ini, tangisku malah menjadi. Benarkah dengan menangis, penderitaan akan berkurang? Jika benar, kenapa perihku masih berlanjut? Bukankah setiap detikku adalah tangis? Allah… ini ujian atau penyiksaan?
Andai mereka masih ada, mungkin aku tidak akan lupa bagaimana cara tersenyum. Selama ini bukan hanya senyum yang tidak aku punya. Kasih sayang, cinta, teman, bahkan rasa percaya terhadap orang lain, aku pun tak punya. Seperti inikah hidup? Dulu, ketika aku bersedih, aku lari ke pangkuan ibu dan dia akan membelaiku hingga aku tidak menangis lagi. Lalu sekarang? Jika aku bersedih aku hanya bisa berbagi dengan Riko karna hanya dia satu-satunya yang bisa kupercaya untuk menemani sepiku. Dialah tempat curahan hatiku, tempat aku berteduh dari guyuran derita, tempat aku bercerita tentang luka dan berbagi nestapa.

Di tengah tusukan angin malam yang mencekam, awan menghitam patahkan pandangan pada rembulan bersinar yang kemudian disibak jeritan seorang anak laki-laki yang tidak menemukan kasih sayang.
“Apa kamu ini sudah gila?” suara lantang Riko hanya mampu menembus pori-pori kulitku, tidak bisa dan tidak akan pernah bisa lebih dalam lagi.
“Aku sudah bosan Rik, aku merindukan mereka”
“Tapi, mana mungkin kamu menyusul orang tuamu?”
“Dengan kematian!” entah dari mana kalimat itu datang yang begitu saja keluar dari mulutku. Aku mengucapkan kalimat itu dengan fasih dan lancar, lirih hampir tak bersuara karena serak, tapi mampu memecahkan pendengaran.
Tanpa terasa, air mata bergulir mengisi lekungan pipi yang memar karena tanparan. Betapa lelahnya aku memikul kepedihan ini, hingga aku terlelap dalam belaian tangan sesosok sahabat yang sudah kuanggap sebagai segala-galanya bagiku. Sungguh aku mulai goyah memikul hidup yang penuh dengan penderitaan.

Aaaaaauuuuuuu………… aku merasa sekujur tubuhku terkena hantaman beribu-ribu panah dan aku hanya bisa mengerang kesakitan. Dengan sekejap aku pun bangun dari lelapku dan kudapatkan sekujur tubuhku basah. Entah air apa ini, setiap luka di tubuhku sangat perih seperti tersiram air garam. Belum sempat aku mengelap tubuhku, tiba-tiba saja ada tangan yang menjambak rambutku
“LIHAT! SUDAH JAM BERAPA INI???”
suaranya sangat keras menghantam, mampu memecahkan barang-barang di sekitar.
Iblis itu menyeretku keluar rumah. Tanpak matahari bersinar gerah seakan menampakkan kemarahan. Burung-burung berkicau, tapi lagunya tidak enak didengar. Apa karena aku jarang menikmatinya, sehingga setiap irama dari suara burung-burung itu menjijikkan?
“Kamu ini harus diberi pelajaran…” Diberi pelajaran? Inikah yang dia sebut memberi pelajaran? Dengan memukul, menyeret kemudian mengikatku di pohon mangga di halaman depan rumah? Bukankah hampir setiap hari seperti ini?
“Aaauuu… aaauuu”
“Ini agar kamu tidak lalai…”
“Aaauuu…” Iblis itu terus mencambuki tubuh keringku sampai dia merasa puas, kemudian meninggalkanku begitu saja terbakar panas matahari.
Kulihat Riko di hadapanku menangis melihat tubuh tanpa baju yang penuh memar akibat cambukan tadi.
“ Kenapa kamu menangis, apa dengan menangis aku akan bebas?” ucapku lirih pada Riko “Sudahlah, ini sudah biasa kok terjadi. Ayolah jangan menangis. Semua itu hanya menambah beban padaku” akhirnya Riko terdiam. Membeku. Membisu dalam kaku.

Terik matahari yang begitu membakar, menghanguskan badanku. Namun lebih panas lagi bara yang terus hidup dalam dada hingga panas yang dikeluarkan matahari tidak terasa. Jika saja bara dalam dada bisa kukeluarkan, kugunakan untuk membakar iblis biadab itu.
“Ayooo, cepat masuk!…” tangan kekarnya terus mencengkram tangan kecilku hingga meninggalkan bekas dan Riko sangat marah melihat semua ini “…Makan ini” ternyata iblis ini masih mau memberiku makan. Namun, aku takkan sudi menerima pemberian dari tangan kotor yang menyakitiku. Jika maksudnya menyodorkan nasi hanya untuk menghilangkan laparku saja, dia keliru karena aku tidak akan pernah kenyang sebelum memakan dan meremas-remas dagingnya lalu mencabik-cabik hati dan ususnya.
“ Kenapa tidak makan? Kamu mau melawan?” yang bisa kulakukan hanya diam membisu dalam beku
“ Ayo jawab!” Dia mulai menjambak rambutku dan menghempaskan tubuh kecil ke lantai dengan kasar
“Baik! Jangan salahkan aku jika kamu kelaparan” sambil bersungut-sungut dia keluar membawa kembali nasi yang hendak diberikan padaku. Tapi, kemuadian dia membuangnya karna aku tidak memakannya.
“Seharusnya kamu berontak tadi,” Riko yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu menegurku
“Memberontak? Walaupun aku seorang laki-Laki? Dengan apa aku harus melawan, jika tubuhku tak bertenaga?”
“Ya—dengan apalah! yang penting membuat dia mampus” tiba-tiba Riko beranjak keluar.
“Mau kemana kamu?”
“Mengambil sesuatu yang bisa menghabisinya”
Tak lama kemudian Riko datang membawa sejerigen minyak tanah. Entah apa maksudnya. Kemudian dia menuangnya ke sembarang tempat
“Hei! Apa yang kamu lakukan?” ternyata iblis yang merupakan ayah tiriku itu sudah ada dalam kamar tempat penyekapanku
“Jangan bergerak! Semua pintu telah kukunci dan jika kamu berani bergerak, kubakar rumah ini beserta kamu” Riko terus mengancamnya. Sekarang kemenangan ada di tangan Riko. Bukan! Bukan di tangan Riko, tetapi di tanganku! Ya, di tanganku karena aku dan Riko adalah satu, satu gerak, satu dalam segala hal, karena Riko itu tidak nyata dia hanya halusinasiku. Dia tak lebih adalah batinku sendiri.
“Jangan! Kumohon jangan!” Iblis itu terus melangkah mendekatiku. Tak urung bagiku membakar rumah yang seharusnya menjadi milikku sebab semua ini adalah hasil dari jerih payah ayahku. Lidah-lidah api terus menjilat melalap barang-barang dengan cepat.
Kini aku terjebak bersama orang yang sangat aku benci dalam hidupku menunggu kematian menjemput. Orang itu terus mendekatiku kemudian meraih tangan. Kali ini dia tidak menarik tanganku dengan kasar namun begitu melekat.
“Selamatkan dirimu!” Apa? dia menyuruhku menyelamatkan diri, apa dia sudah gila? Atau mungkin dia hanya menjebakku?
“Lihat! Di sana ada lubang” serunya seraya menunjuk pada lubang yang menghubungkan ruangan ini dengan halaman depan yang hanya bisa dilewati anak sekecil aku. Tapi, kenapa dia ingin menyelamatkanku? “Lubang itu hanya bisa dimasuki anak sekecil kamu. Ayo cepatlah! ” seketika itu juga sebatang kayu besar penyangga atap jatuh menimpa orang yang selama ini kusebut iblis tapi sekarang hendak menyelamatkanku “Cepatlah tidak ada waktu lagi! Lubang itu akan menyelamatkanmu” kutatap orang di hadapanku. Inginku menolongnya, tapi anggota badanku tak mampu kugerakkan.
Untuk terahir kalinya, kutatap wajah ayah tiriku. Tanpa terasa setetes airmata jatuh dari pelupuk mataku. Kutatap lagi wajahnya, dan aku hanya bisa mengangguk, kemudian berlari menuju lubang kecil itu. Tapi, kenapa dia menyelamatkanku? Pertanyaan itu terus menggelantung pada benakku.
“Ingat Ko! Kamu harus tetap hidup! Agar kamu bisa meneruskan pekerjaanku, menyiksa anak—cucuku.” Aku tersentak mendengar ucapannya yang begitu jelas menggema di telingaku. Aku tidak pernah mengerti, kenapa ayahku seperti orang kesurupan iblis. Atau mungkin bukan kesurupan, melainkan dia adalah yang benar-benar iblis. Tapi, kenapa dia menyelamatkanku?
Di tengah-tengah pertanyaan yang menghujan, lantunan merdu suara para muadzin mendendangkan adzan magrib, menyusup keramaian api meronta, di kala malam mulai menjelma.
Aku terus berlari. Diluar rumah, banyak orang yang berusaha memadamkan kobaran api yang semakin membesar melahap rumahku dan seseorang yang sedang terjebak di dalamnya. Aku terus berlari sekuat tenaga. Ingin ransanya aku menangis, tapi menangisi siapa, menangisi orang itu, haruskah ada tangis untuknya?

sasar, 2oo7
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

3 comments:

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels