Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Thursday, January 31, 2013

HARUSKAH GURU DIHORMATI?

Hasil gambar untuk Foto kartun Guru

Muktir Syaifullah Munir

Hormati gurumu, sayangi teman, itulah tandanya murid yang budiman.

Penggalan lagu tersebut pernah cukup akrab di kalangan siswa sekolah dasar.Hampir semua siswa SD hafal lagu tersebut. Lagu yang diajarkan oleh guru demi menanamkan pribadi murid yang budiman. Salah satu ketegori murid budiman menurut isi lagu tersebut, adalah dengan menghormati guru.
Guru adalah media transformasi pengetahuan pada murid. Segala macam pengetahuan tidak akan diperoleh tanpa adanya guru. Maka demikian pantas, jika dikatakan guru adalah tonggak kemajuan peradaban suatu bangsa. Dan tak bisa dipungkiri, tanpa guru tidak akan ada peradaban yang berkembang. Karena itulah, menghormati guru adalah pilihan yang tepat.
Di madrasah diniyah atau pesantren, menghormati guru adalah hal sangat urgen. Terbukti dengan adanya materi akhlak, yang mana menghormati seorang guru adalah akhlak paling mulia. Ijlis limuallimika bil adabi wal ikhtiromi, duduklah di depan gurumu dengan sopan dan menghormati.
Salah satu bukti yang lain, adalah adanya kitab Ta’limul Muta’allimyang menjadi kajian wajib di pesantren. Kitab karya Az-Zarnuji tersebut membahas berbagai macam hal berhubungan dengan guru dan dan murid. Tak luput di sana dijelaskan, bagaimana buruknya seseorang yang tidak menghormati gurunya. Sedemikian rupa kitab tersebut memaparkan betapa urgennya ta’dzim terhadap guru.
Nabi Muhammad yang merupakan pengemban tugas memperbaiki akhlak manusia, telah mencontohkan pentingnya menghormati guru. Suatu ketika, beliau pernah bepergian bersama sahabatnya. Di perjalanan beliau turun dari hewan tunggangannya hanya karena ada seorang anak kecil. Lalu kemudian karena penasaran dengan tindakan nabi Muhammad, sahabat pun menanyakan kenapa beliau berlaku demikian. Nabi Muhammad menjawab, hal itu beliau lakukan karena demi menghormati anak kecil tersebut yang pernah memberitahu nabi bagaimana seekor unta hendak kawin dan atau akan melahirkan.
Sahabat Umar pun juga demikian. Beliau  pernah berfatwa jika ada yang mau mengajarinya satu huruf saja, maka niscaya orang tersebut akan deberi imbalan satu dinar.
Maka dengan demikian, menghormati guru adalah hal penting yang harus dilakukan oleh murid. Meski penghormatannya tidak harus sama persis dengan apa yang dilakukan sayyidina Umar atau bahkan nabi Muhammad. Namun, paling tidak mendekati mirip dan sesuai dengan ajaran Islam. Dan juga sesuai dengan budaya yang berkembang di daerah sekitarnya.
Dipandang dari sisi makna guru itu sendiri, memang sudah seharusnya guru dihormati. Karena makna dari guru tidak lain adalah patut digugu dan ditiru. Artinya, guru di sini adalah seseorang yang mampu memberi contoh baik, tindakannya sesuai dengan apa yang telah diajarkan pada muridnya. Mendidik sepenuh hati yang dirasa pantas dengan ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Namun pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan guru di era sekarang? Masih relevankah menghormati guru yang mayoritas mengajar karena ingin mendapat tanda jasa? Atau masih dianggap haruskah guru dihormati sedang perilakunya tak lagi sesuai dengan apa yang diajarkannya?

Beda Guru Dulu dan Sekarang

Takdzim atau hormat dan atau patuh pada seseorang, paling tidak harus sesuai dengan kapabilitas orang tersebut. Dengan kata lain, kadar penghormatan kita pada seseorang disesuaikan dengan kadar ‘kepantasan’ orang tersebut untuk dihormati. Begitu pula pada seorang guru.
       Pada zaman dahulu, guru atau istilah lainnya mua’llim tidak perlu diragukan kapabilitasnya. Sangat jelas mereka patut dihormati, ditakdzimi maupun digugu dan tiru. Sebut saja pada zaman keempat imam madzhab Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’e atau di zaman Az-Zarnuji.
       Di zaman tersebut, seorang guru dicari dan didatangi oleh murid. Kesan yang terbangun adalah murid butuh pada guru, karena memang guru yang dimaksud benar-benar berkapasitas sebagai pengajar yang patut ditiru dan gugu. Seakan tidak terdapat celah pada diri mereka untuk diklaim sebagai orang sok tahu dan sok alim. Keilmuan dan kepribadian mereka tidak bisa diragukan. Buktinya, mereka ikhlas mengajar tanpa ada harapan balasan bersifat duniawi dari muridnya. Mereka hanya berharap ridha dan balasan dari Tuhan. Dan yang paling penting mereka hanya berharap ilmunya bermanfaat untuk seluruh ummat. Sehingga meski pun tidak dibayar mereka tetap akan mengajar.
       Perbandingannya dengan guru di era sekarang cukup jauh. Kesan yang muncul di zaman ini adalah guru yang mencari murid. Semakin banyak murid yang didapat, maka semakin makmur guru tersebut.
Hal yang membangun prilaku demikian salah satunya adalah bantuan biaya pendidikan oleh pemerintah. Adanya bantuan operasional siswa (BOS), bantuan guru fungsional dan bantuan yang lain tak bisa ditampik sebagai faktor utama penyebab berubahnya haluan prilaku guru dari mengajar tanpa tanda jasa menjadi mengajar untuk dibayar.
Semakin banyak murid, semakin banyak pula uang yang didapat oleh guru. Maka, di zaman sekarang murid menjadi lahan subur bagi guru. Penghasilannya cukup menggiurkan. Sedangkan pengetahuan yang diajarkan kepada para murid, tidak sebanding dengan penghasilan guru dengan cara demikian. Karena mayoritas guru di era ini hanya berstatus guru, tanpa memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengajar.
Hampir semua guru mengajar dengan orientasi lulus sertifikasi atau jadi pegawai negeri sipil (PNS). Dengan begitu, mereka pun bisa mendapat penghasilan yang cukup (memprihatinkan).
Bahkan yang cukup miris, guru agama tidak bisa berperilaku sesuai dengan apa yang diajarkan pada muridnya. Mereka mengajar agama, tapi perilakunya menyimpang dari ajaran agama. Sudah banyak kasus seorang guru bertindak senonoh baik terekspos media atau pun tidak.

Lalu Kemudian?

Jika dulu guru atau mu’allim dirasa sangat pantas ditakdzimi, bagaimana dengan guru atau mua’llim sekarang? Guru yang mengajar karena mendapat Surat Keputusan (SK) mengajar dari lembaga bersangkutan, bukan karena diinginkan muridnya. Guru yang mengajar karena punya misi terseleubung, yaitu mendapat penghasilan dari bantuan pemerintah. Guru yang tidak terlalu banyak memberi kontirbusi terhadap kecerdasan siswa karena minimnya keilmuan yang dimilikinya. Guru yang mengajar hanya karena bergelar sarjana, namun sesungguhnya tidak berkompeten untuk mengajar. Guru yang ternyata tidak mampu menyelaraskan antara prilakunya dengan kalimat yang diwejengkan pada murid. Guru yang hanya berstatus sebagai pegawai negeri namun tidak mampu mencontohkan kedisiplinan. Guru yang ternyata hanya melahirkan generasi dengan moral yang buram, karena moral seperti itulah yang (selalu) dicontohkan, baik secara langsung maupun tidak, oleh guru tersebut.
Lalu kemudian, haruskah guru sejenis itu digugu dan ditiru? Jawabannya penulis pasrahkan pada pembaca budiman. Wallahua’lam.


Alumni madrasah Miftahul Ulum, Sasar Kapedi Bluto Sumenep. m.rahmanasyaf@gmail.com



>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels