Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Thursday, January 31, 2013

ISTRI DAN IBUKU ADALAH SAUDARAKU

            Muktir Rahman S. Munir

 Melangkahkan kaki ke ubun-ubun kenangan masa lalu kerap terasa sangat menyakitkan. Walau tak bisa dipungkiri, hal itu terkadang nikmat dirasakan. Di pinggir rel kereta api belakang rumah, bersama sesuap nasi, kutelan jua keringat kata beraroma tak sedap; amis. Aku mulai berpikir dari mana asalku dan siapa aku.
            Namaku Sanhaji, dilahirkan dari ketiak selangkangan pelacur jalanan. Konon, kulit pelacur yang juga adalah ibuku itu bersih langsat, jalannya semampai, leher dan bagian-bagian tonjolan tubuhnya menggairahkan. Banyak orang ingin menindih tubuhnya, mulai kalangan remaja, jompo, pejabat, anak sekolahan, para guru, mentri, orang kaya hingga kaum lesbi yang menyukai sesama jenis.
 
Berkali-kali si pelacur melontarkan pernyataan yang kurasa ia ucapkan tanpa sengaja. Namun ia selalu keceplosan sehingga kata-katanya kesohor dan akrab di telinga banyak orang.  Ia hanya mengatakan bahwa sudah ratusan bahkan ribuan orang yang pernah tidur dengannya, tapi ia hanya melahirkan satu anak laki-laki. Dari situ, orang-orang mulai menebak siapa anak lelaki yang selalu disbut-sebut oleh si pelacur.  
Maka tak pelak, aku adalah satu-satunya sasaran di balik semua prasangka dan praduga itu. Akulah anak lelaki satu-satunya. Namun yang kurasa aneh, banyak orang mengatakan aku adalah pewaris harta si pelacur. Wajah, kulit, rambut dan lainnya. Sebab itulah aku luar biasa jijik ketika banyak sekali orang yang ingin merasakan hangat tubuhku. Aku bersikeras bahwa aku  bukanlah penjual diri, bukan pula gigolo atau penikmat banyak keperawanan, siapapun ibuku. Aku hanyalah Sanhaji yang dilahirkan dan tumbuh di kota besar, kota pahlawan bernama Surabaya. Sekalipun rumahku terletak di pinggir rel, berderetan dengan rumah-rumah reot lainnya, tetap saja aku adalah penghuni kota metropolitan. Kota pahlawan, kota kebanggaan.
***
            Nasi bungkus yang tadi kubeli di warung sudah tinggal beberapa suap, tapi aku tak berhasrat menghabiskannya. Kuteguk saja air putih di depanku ketika kebetulan istriku menghampiri kemudian duduk di samping kiriku.
            Gak nafsu makan?” tanyanya.
            “Untuk kenyang, tidak harus cepat menghabiskan,” jawabku menggantung. Dia mengambil gelas yang sudah kosong di tanganku, kemudian mengisinya dengan air PDAM lagi.
            “Ini…” dia memberikan gelas itu kembali “…Banyak orang yang kenyang hanya dengan air, bahkan tanpa makan”. Ucapnya ceplas-ceplos.
            Kulirik wajahnya, tetap cantik. Cepat-cepat kuberpaling karena dia menyadari kuperhatikan. Hingga hari ini pun, bertahun-tahun setelah kami menikah, aku kurang begitu suka jika harus membuatnya GR karena rasa kagumku akan kecantikannya.  
            “Dan buat aku, melihat senyum orang yang kucintai sudah membuatku kenyang. Karena itu, teruslah tatap wajahku”, ucapannya sangat manis kurasakan. Istriku cukup pandai menggetarkan hati.
            “Semoga permintaanmu itu memang karena mencintaiku.” Sebenarnya aku masih malas menanggapi ocehannya.
            “Jika bukan karena mencintai, lalu karena apa?” Ucapnya manja.
            “Untuk menutupi kekurangan kita, bahwa tak ada beras untuk dimasak dan tak ada uang untuk membeli keperluan harian. Sehingga cukup kau menatapku saja”. Aku berkata seolah tanpa beban. Dia hanya menunduk, kemudian melepas sebagian kancing bajunya. Aku hanya menatap penuh tanya sambil sesekali memalingkan muka.
            “Bukan untuk menutupi rasa lapar, tapi untuk menutupi rasa ini…..” Dia berdiri sambil memegang tanganku berjalan menuju kamar. Aku menurut saja.
            Ruang berhias sarang laba-laba berukuran 4 x 6 meter yang tak lain adalah kamar tidur tersebut menghidangkan pemandangan tersendiri. Ruangan ini, seperti momen-momen sebelumnya, selalu mampu mengajakku mengarungi samudera khayal tak berbatas. Ia bisa membawaku menuju masa depan penuh kebahagian, namun juga kerap mengembalikanku pada masa lampau penuh luka. Begitu juga setiap lekuk tubuh istriku, tak ada bagiannya yang tidak memunculkan imajinasi. Seperti hari ini, di kamar penuh hiasan ini, dia nampak indah dengan setiap lekuk tubuh tanpa sehelai benang.
            “Tataplah rambutku…”
            “Rambutmu indah,” aku tersenyum, miris.
            “Begitukah?” Aku mengangguk.
            “Seindah apa?” Aku tau ia mulai merasa berjalan di atas angin.
            “Kadangkala sesuatu tak perlu dikatakan untuk menyatakan kekurangan atau kelebehinnya”, iseriku lalu mengibaskan rambutnya di depan wajahku. Baunya harum tapi menyengat penciuman hatiku.
            “Aku butuh kata-kata manismu… tapi, sudahlah. Sekarang belailah kulitku.” Akupun menuruti keinginnya, membelai seluruh kulitnya. Bahkan menciumi hampir seluruh tubuhnya namun terhenti ketika aku sampai di bagian pusarnya. Kutatap bagian yang bagaikan sumur itu. Tanpa ku sadaritanganku sudah merobek perut istriku di bagian pusarnya. Lubang akibat robekan yang itu  cukup lebar, sehingga kepalakupun muat dan bisa masuk. Lalu kurasa tubuhku mengecil, hingga seluruh tubuhku bisa masuk ke dalam perut isteriku.
***
            Berbagai macam pemandangan terhidang di sana. Segala aroma pun menawarkan selera berbeda-beda. Pertama, perhatianku tertuju di bagian lilitan usus. Bentuknya melingkar layaknya ular yang tengah terlelap. Ku dekati ular terlelap yang ukurannya lebih besar dari tubuhku itu, ku eja setiap sisiknya, dan… ya ampun,, wajahku menghiasi sisik-sisik itu. Ku raba wajahku, “Bukan! Bukan hanya wajahku, tapi tubuhku terhias di setiap sisik makhluk ini”, seruku setengah berteriak penuh heran. Entah karena mendengar suaraku, makhluk itu terjaga. Mulutnya terbuka menghadap langit. Dengan angkuh dia meraung sekeras-kerasnya, secepat mungkin dia menjadi buas lalu menatapku kemudian dan menelanku. Aku berlari, terus berlari mengindari makhluk buas itu. Aku terlepas dari ancaman mengerikan itu setelah berlari sedemikian kencang dan jauh, tanpa terasa aku berada di sisi lain yang lebih mengerikan.
            Deg! Tak! Deg! Tak!.....
Bunyi berirama ini semakin lama semakin menusuk telinga, dan, telingaku terasa sakit. Ada sesuatu mengalir dari telingaku, dan sesuatu itu hangat. Ku meraba telingaku, cairan merah. Telingaku berdarah!
Aku mondar-mandir mencari posisi sumber bunyi memekakkan itu dengan niat bulat untuk menghentikannya, sebab  bunyi tersebut membuat tubuhku menggigil dan memuncratkan darah dari lubang-lubang di tubuhku, kali ini tidak hanya telingaku yang mengucur darah. Aku menyusuri benang-benang yang bergelantungan di dinding, benang ini pasti urat-urat istriku. Cukup jauh aku melangkah, akhirnya aku tiba di sumber bunyi itu.
Tempat yang sedari tadi aku tuju itu ternyata berupa bukit berwarna merah darah dan inilah muangkin yang disebut jantung. Anehnya ketika aku mendekati jantung istriku, suaranya tak lagi menyakiti. Iramanya berbalik menyenangkan dan memberi kedamaian. Pada bukit yang terus bergerak mengembang kemudian mengempis, mengembang lagi, lalu kembali mengempis dan kemudian berdetak dengan ritme yang sama, dengan jelas aku melihat ada sesuatu yang sangat besar di dalamnya. Aku memeriksa setiap bagian jantung istriku, dan ternyata aku kembali menemukan hal serupa dengan hal yang aku lihat di sisik-sisik ular yang hampir menelanku.
“Kenapa gambarku menempel di jantungnya?” Aku tak bisa tidak untuk bersuara.
“Kenapa ini?” Tanda tanya semakin menghujani pikiranku. Aku menjadi semakin bingung sebab tidak hanya di sisik ular dan jantung, tapi di mana-mana juga ada gambarku. Di dinding perut, urat, pembuluh darah, paru-paru, hati, dan semua bagian menampilkan gambar dan sketsa diriku.
“Huaaa… tak tahan aku di tempat ini, aku harus keluar dari perut istriku” pikirku. Akupun berlari sekencang mungkin dan… gubrakk! Kakiku menyandung sesuatu sehingga tubuhku terpelanting lumayan jauh. Aku kemudian tidak tau, kala itu aku sudah sampai di mana.
            “Ada sesuatu yang tak perlu dikatakan sekalipun itu benar, dan ada pula yang harus dikatakan sekalipun itu salah.” Sebuah suara menggema entah dari mana.
            “Siapa itu?” pandanganku menyapu sekeliling mencari asal suara.
            “Sama seperti pertanyaanmu, aku juga masih menanyakan siapa aku.” Suara itu menjawab, namun aku tetap belum tau darimana asal suara itu.
            “Keluarlah! Kita tak bisa bicara tanpa berhadapan!” Emosiku mulai meluap-luap
            “Bukankah kita sudah berhadapan?” Suaranya tetap tenang seperti tak sekalipun bisa membaca emosiku.
            “Aku tak melihatmu!” Sahutku ketus.
            “Begitulah kamu, tidak bisa melihat siapa dan di mana aku”  Suara misterius itu terus terdengar. Aku masih mencari, namun aku belum menemukan apapun.
            “Apakah kamu setan?” Pikiranku mulai ngawur. Mengatakan yang tak seharusnya kukatakan.
            “Setan, aku dan dirimu tak ada beda. Karena aku adalah kamu, kamu adalah setan…dan kita semua adalah kita”,  suaranya semakin jelas seperti ia mendekat.
            “…Lihatlah aku, inilah aku!!” Suara itu ternyata berasal dari gumpalan darah. Aku baru sadar bahwa sedari tadi aku berbicara dengan hati istriku.
            “Apa maksudmu bahwa aku dan dirimu tak ada beda?” Aku heran luar biasa dengan kata-kata yang diucapkannya.
            “Aku setan, dan begitu juga denganmu. Kita sama-sama tidak memiliki asal muasal yang jelas. Apakah salah jika satu dari kita ada yang tahu siapa diri kita, siapa saudara, orang tua, keluarga dan teman kita? Atau lebih tepatnya, adakah di antara kita yang ingin tahu siapa kita?” Deg! Aku tak mampu menyangkal kalimat-kalimatnya. Serasa setiap huruf dari kalimat-kalimat hati istriku membunuh detak jantungku. Hal itulah yang sebenarnya selalu mengusik pikiranku.
            Aku terdiam ketika suara itu melanjutkan ucapannya. “Kalaupun di antara kita bisa mengetahui siapa dan dari mana asal kita, apakah ada yang tetap ingin mengetahui?”
            “Aku. Aku ingin tahu siapa diriku!” Aku berucap tegas tanpa sempat berpikir sekejap pun. 
            “Kisah kita terlalu menyakitkan!” Suara itu menyela. Aku mulai bingung mengapa ia mengatakan ‘kita’.
            “Aku telah terbiasa dengan rasa sakit!” Aku mulai ngotot
            “Baiklah, akan aku awali dengan kisah seorang laki-laki”.     Aku menyimaknya dengan baik.
            “Laki-laki tersebut memiliki seorang istri dan anak yang luar biasa cantik. Kemudian pada suatu hari yang tak bisa kuingat hari dan tahunnya, tanpa alasan yang jelas, dia membunuh istrinya dengan sadis. Tak perlu kuceritakan bagian pembunuhan ini. Kemudian dia hidup berdua dengan putri satu-satunya yang semakin dewasa.” Sampai di sini ia berhenti.
            “Lanjutkanlah bertutur”, aku mulai terhanyut dengan cerita yang ia sampaikan.
“Lelaki itu sangat merindukan istrinya, dan timbullah penyesalan di setiap tidurnya, hingga beberapa tahun dia tidak pernah bisa memejamkan mata. Namun, seperti mendapat mukjizat, wajah istrinya menempel di wajah putrinya yang hidup bersamanya. Lelaki itupun menikahi putrinya.”
Sampai di sini, aku belum bisa menerka arah pembicaraan dan akhir alur cerita yang dituturkan suara itu. Namun aku tetap mendengarkan.
“Satu tahun berlalu, istri baru si laki-laki yang tak lain adalah anaknya itu melahirkan seorang anak laki-laki. Namun, kelahiran tersebut dibayar dengan kematian si laki-laki yang merupakan bapak sekaligus suami si wanita.”
Tubuhku bergetar mendengar semua cerita tentang bapak yang mengawini putrinya. Namun, apa hubungannya dengan diriku? Bukankah seharusnya dia menceritakan siapa diriku? Hatiku mulai ramai dengan keheranan dan dugaan-dugaan yang sama sekali tanpa alasan.
“Ceritamu itu memang mengerikan dan menyakitkan, tapi aku butuh cerita tentang siapa aku!” Aku kembali mengangkat suara ketika merasakan cerita itu sudah berakhir.
“Mendengar cerita ini kamu sudah merasakan betapa menyakitkan hidup. Kisahmu lebih menyakitkan dari cerita tadi! Aku tak bisa memberitaukannya padamu!” Suara itu kini terdengar memiliki rasa iba dan kasihan padaku.
Aku mengambil nafas dalam. Pantang bagiku untuk mengulangi ucapan yang sudah pernah aku sampaikan pada orang yang sama, namun kali ini rasa penasaran di kepalaku benar-benar menguasaiku.
“Sudah kubilang aku terbiasa sakit. Negeri ini, kota pahlawan ini, sudah sejak kelahiranku tidak memberikan apapun selain rasa sakit. Tak usah ragu, ceritakan saja!”
“Jika begitu, biar kuselesaikan dulu cerita tadi.” Suara itu terdengar semakin jelas dan mempermudahku mencernanya dan menggelar pentas imajinatif di kepalaku.
“Terserah!” Aku menyela, setengah ketus dan setengah berharap ia mau berbaik hati melanjutkan ceritanya. Entah mengapa aku mulai penasaran dengan akhir cerita yang akan disampaikannya, meski sejak tadi aku berpikir bahwa aku hanya membuang-buang waktu mendengarkannya bertutur.
“Kamu harus tahu, ketika si bapak itu mati, putri sekaligus istrinya itu menjadi perempuan ‘terhormat’. Dia berjuang untuk membiayai hidup anaknya dengan menjadi pelacur. Bertahun-tahun, ratusan bahkan ribuan orang pernah menindih tubuh perempuan itu. Tapi dia tidak pernah ingin punya suami serta anak dari laki-laki hidung belang yang menidurinya. Dia sangat mencintai bapak sekaligus suaminya dulu. Padahal, banyak laki-laki yang berniat memperistrinya, tapi perempuan itu menolak. Dia mengatakan kepada semua laki-laki yang pernah berniat memperistrinya, ‘cukup kau bayar dan kuberikan tubuhku ini, jangan pernah mengharap lebih.’
“Hmmm, seorang perempuan yang kuat mempertahankan cintanya. Kita harus salaut padanya”, aku bergumam pelan, namun aku yakin seonggok darah yang mengagungkan suara itu akan mendengar gumaman lirihku.
Aku mulai geram mendengar semua cerita yang tak ada sangkut pautnya denganku. Aku mulai beranjak pergi, tapi kuurungkan niatku. Kuhampiri gumpalan darah yang sudah terlalu banyak bicara itu.
“Sudahlah, tak usah kau ceritakan tentang diriku, karena kau juga sebenarnya tidak tahu!” Aku menghardik.
“Kamu pemuda yang terlalu buru-buru. Kenapa kamu sangat ingin mengetahui asalmu?”
“Karena aku ingin hidup normal dan terhormat. Sebab itulah aku harus terlebih dahulu mengetahui siapa sebenarnya aku..!!”Aku berbicara lantang, berharap sebagian amarahku dapat dirasakan oleh seonggok darah cerewet  di depanku itu.
“Kehormatan selalu saja jadi tujuan di dunia ini. Padahal ia paling sering digunakan alat untuk melecehkan dan merendahkan orang lain. Hei pemuda, apa kamu masih belum sadar, siapa yang aku ceritakan dari tadi?”
Tubuhku kembali bergetar. Aku menggigil hebat dan tubuhku sama sekali tak bisa digerakkan. Seluruh persendianku serasa kaku. Mataku tajam tertuju pada benda yang sedang berbicara denganku. “Aku tak tahu! Lanjutkan kisahmu!” Akhirnya hanya kalimat kecil itu yang terucap.
“Anak perempuan itu tumbuh dewasa. Rasa cinta yang sangat besar terhadap bapak sekaligus suaminya perlahan tapi pasti mengaburkan pandangannya pada anak lelakinya. Ia merasa bahwa wajah, tubuh dan aura anak lelakinya adalah milik bapak sekaligus suaminya. Ia merasa bahwa suaminya yang telah meninggal bereinkarnasi dalam tubuh anak lelakinya. Ia lalu menikah dengan darah dagingnya sendiri. Ia melihat suami sekaligus bapaknya utuh dan penuh dalam diri anak lelakinya. Ia tak punya pilihan lain di tengah bara cintanya yang tak pernah padam menyala.”
Tubuhku semakin bergetar. Keringat hangat mengucur deras dari pori-pori kulitku. Kemudian angin kencang datang seketika menghembus tubuhku. Tubuhku terangkat kemudian terlempar jauh hingga ke permukaan perut istriku. Tubuhku masih kaku, tapi perlahan-lahan aku mulai bisa bergerak. Pikiranku mengambang tak jelas, tapi tubuhku mulai melangkah keluar dari perut istriku melalui lubang yang tadi aku buat. Sesampainya di dunia nyata, mata istriku menatap penuh heran. Mungkin dia heran kenapa tubuhku berlumur penuh darah.
Di satu sudut lain dalam kamar sempit itu, aku kembali terheran.  Keheranan yang lebih menghardikku. Wajah putri semata wayangku menyiratkan tanda tanya yang amat besar. Mulutnya ternganga mendapati perut ibunya dan tubuhku penuh darah. Aku menangis, istriku menangis, dan putriku juga ikut menangis.
Ingatanku kembali pada kejadian dalam perut istriku. Gumpalan darah itu masih berbicara padaku saat aku sudah terhanyut oleh angin kencang. “Ingatlah pemuda, kamu harus sangat mencintainya, karena dia adalah istri dan ibumu sekaligus saudaramu.”

Sasar, 02 Oktober 2010– 01 Januari 2011
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels