Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Thursday, January 31, 2013

PEREMPUAN LUKA


Oleh: Muktir Rahman Syaf*

PEREMPUAN itu terluka. Setidaknya begitulah yang dapat kupahami.
Tepat di bawah pohon beringin besar, seorang perempuan duduk berselonjor di kursi beton yang puluhan tahun tegak berdiri. Seakan beton itu menunggu sejarah mati, kemudian roboh tak berarti. Kursi itu kokoh menemani lamunan sang bidadari yang lelah letih bersama mimpi. Mengulur pikirannya yang tertambat jauh entah pada apa dan siapa, yang jelas matanya menerawang pergi sejauh langkah kaki di sepanjang jalan tanpa ujung yang pasti.

Karena luka itu, dia menyandang predikat janda. Karena luka itu, dia tidak dikenal orang bahkan oleh keluarga –tepatnya tidak mau dikenal. Karena luka itu pula, dia hidup sendiri dalam dunianya. Dunia asing bagi manusia yang tidak pernah peduli akan luka. Mengacuhkan, mencaci lalu menganggapnya tiada. Padahal, luka tetap ada dan tidak pernah sirna kecuali Tuhan mengkehendakinya.
Perempuan itu tetap berselonjor seperti sebelum-sebelumnya. Persis ketika anak-anak berdasi belum dilahirkan hingga menetaskan anak-anak berdasi lainnya, dia selalu pada posisi yang serupa. Setiap hari, setiap pagi, semenjak matahari masih pagi buta. Dia baru akan beranjak dari lamunannya ketika matahari sudah terbang tinggi menghangatkan tubuh kerontangnya.

Dia sering menatap langit mencari jawaban atas peristiwa yang menimpanya namun semakin dia mencari, perih yang didapatkan. Seperti daun yang sudah tidak kuat lagi menempel pada reranting, karena layu. Selayu tatapan perempuan yang nanar tak berdaya. Sekering harapan yang sudah berlarut dia benam dengan luka. Dan perempuan itu, adalah aku yang terluka.
Saat itu, sebelum dia datang dengan ibunya untuk meminangku, sebelum dia tahu aku adalah perempuan dewasa dan cantik, dan sebelum dia tahu aku tidak pernah keluar darah haid. Aku masih berumur dua belas tahun, yang kata ibu, waktunya seorang perempuan berdada montok dan berdarah haid. Nyatanya memang benar, payudaraku membusung lebih besar dari milik ibunya. Akan tetapi, darah haid tak kunjung mengisi bulanku, namun aku sadar bahwa aku semakin dewasa. Karena kata ibu, aku sempurna.
Saat itu hari belum senja, dia datang ke toko ibu untuk membeli berbagai macam keperluan yang sudah dipesan ibu dan ayahnya juga kebutuhannya.
Sempat kulihat dia menatapku, lama sekali. Akupun menatapnya sampai ibu membangunkan kami dari tatapan nyenyak mempesona itu. Kontan saja aku tersadar bahwa dia baru dimataku dan aku yakin dia baru melihatku.

“Namaku Fauzi, baru pindah dari Malang” dia memperkenalkan diri.
“Fatimah. Biasa dipanggil Imah.” Hanya itulah yang dapat keluar dari mulutku-tidak lebih. Aku adalah anak pendiam. Setidaknya begitulah kesan yang ditangkap warga kampung Sasar (kampungku) terhadap sikapku selama ini.

Semenjak hari itu, dia semakin rajin mendatangi toko ibu, sekedar membeli yang tidak begitu penting menurutku. Kulihat di matanya, dia datang untukku—hanya untukku. Semakin rajin dia mengunjungi toko, semakin setia aku menunggu. Hubungan husus pun terjalin bersama belaian waktu. Jalinan itu husus bagi kami berdua yang orang pun tak tahu. Walupun akhirnya tercium juga oleh orang tua kami. Dan…terciptalah kesepakatan, kami dinikahkan.

Pesta besar-besaran diselenggarakan untuk memeriahkan hari bahagia kami. Di sana berbagai macam hidangan disajikan. Berupa-rupa buahan dihaturkan, tak lupa pula bunga dan hias-rias lainnya tertata rapi di ruangan, meja, ranjang bahkan kolong ranjang. Usia kami hanya terpangkut lima tahun. Dia 20, aku 15 tahun. Dan kami, kata orang-orang, sangat serasi. Aku cantik, dia tampan.

“Kamu benar-benar cantik apalagi malam ini! Aku akan selalu mencintaimu.” Begitulah dia sering melontarkan kata-kata manis untukku. Walaupun kata-katanya tak lebih dari orang yang hanya membual dan gombal, tapi aku senang karna di mana pun dan kapan pun dia selalu manyenangkan hati. Tidak pernah dia menyuruh ini, nyuruh itu kepadaku, bahkan membentak dan itulah yang membuatku semakin sayang padanya.

Usai pesta itu, berhari-hari kami dalam rumah tak pernah terbesit untuk keluar bahkan untuk sekedar menyapa pagi bersinar. Mas Fauzi dan aku keluar ketika akan makan, mandi juga buang air besar. Itupun hanya keluar kamar, keluar rumah tetap tidak tahan. Hari hari terus menanggalkan tempatnya, sedang kami menikmati dengan bahagia.

Hingga hari itu, setelah genap enam tahun usia pernikahan kami, mas Fauzi dan ibunya membawaku ke rumah sakit. Memeriksa apakah aku masih sehat dan normal, karena semenjak malam pertama, dia merasa risih akan sesuatu dariku. Dari persetubuhan yang sering kami lakukan, tidak pernah keluar darah atau cairan kental dari (maaf) kemaluanku. Kemudian dia sempurnakan kecurigaannya di saat aku harus terluka. Ya, enam tahun kami menikah, sosok bayi belum mengisi kebahagiaan hingga akhirnya, keparat itu harus membawaku ke spesialkandungan dan hasilnya sangat mengejutkan –aku mandul. Betapa kikuknya dia mendengar itu. Aku menangis berjam-jam, kemudian terdiam. Sempat aku usulkan kepadanya di suatu malam yang remang. “Bagaimana kalau kita mengadopsi anak saja? Tidak mungkin aku hamil, karena aku terluka.” Namun apa respon si-bejad itu? Dia beku menjawab usulku.

Keesokannya dia membuat kejutan yang mencabik jiwa “Sudahlah Imah, kita tidak bisa melanjutkan hubungan kita” dari semua perkataannya, inilah yang paling aku takutkan. “Mas, tapi aku mencintaimu dan aku yakin kamu juga mencintaiku, karna itu yang selalu mas Fauzi katakan.” Perih terasa mengingat peristiwa yang tak pernah disangka. “Tidak bisa! Aku merindukan hadirnya bayi, sedang kamu… apa yang bisa… bisa—kamu berikan ?” Menangis! Itulah yang hanya bisa dilakukan.

Dulu, dia sering melontarkan kata-kata manis untukku, hingga aku lupa akan manisnya madu. Dulu, sebelum peristiwa itu nyata, aku selalu dipuja, dijaga, selalu dan terus selalu dia setia. Namun, setelah peristiwa itu, dia kubur semua sifat dan kata-kata terindah hanya dengan satu kata “CERAI”

Sering aku mengiba padanya untuk meralat perkataan yang dilontarkan, yang mencabik kebahagiaan. Namun kenyataan berkata lain. Dia malah mempertegas dengan kata yang sama “Cerai! Kita cerai” hampir aku tak percaya bahwa di hadapanku adalah suamiku yang selalu mengucapkan cinta di manapun berada. Akhirnya kemarahan yang membakar jiwa membuatku kalap. Aku masih ingat; Aku mengambil pisau pengupas buahan di meja ruang tamu, menusukkan berkali-kali pada perutnya. Namun, dia masih kuat berlari. Sambil berteriak minta tolong, dia lari terbirit-birit ke luar rumah dan… hm dia lari ke arah jalan buntu. Aku menghampirinya dan kuangkat tangan kanan yang menggenggam pisau. Belum sempat kuhunjamkan, tiba-tiba ada seseorang yang memukul leherku dari belakang dan akupun roboh. Sempat aku mendengar samar-samar ucapannya pada laki-laki yang memukulku. Namun yang paling jelas di sela perkataannya, iblis itu menuduhku orang gila. Akibat pukulan tadi, kurasakan kepalaku semakin pening dan akhirnya aku lunglai, terkapar lalu pingsan. Sampai akhirnya, kudapatkan diriku duduk di kursi beton ini, di belakang bangunan besar yang halaman depan terdapat papan bertuliskan abjad dengan font besar pula. Huruf yang merangkai kalimat, RUMAH SAKIT JIWA.

Sasar Kapedi, 2007

* Adalah anak yang dilahirkan pada 28 Desember 1990. di lingkungan LPI Miftahul Ulum, Sasar, Kapedi, Bloto, Sumenep, Madura. alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels