Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Thursday, January 31, 2013

BERCITA-CITA JADI PENULIS


Muktir Rahman S. Munir

Qolam tampak masih tertunduk lesu, tanpa gerak dan tanpa gairah di atas meja belajarnya. Matanya menatap tajam seakan tanpa arah. Kosong dan tidak jelas apa yang tengah dipandangnya. Walaupun, tidak bisa dipungkiri dari sorot matanya yang paling dalam, lelaki kurus dan tidak ganteng itu sedang mencari-cari sesuatu melalui daya konsentrasi yang sangat keras. Bisa jadi Qolam tengah mengalami ejakulasi pemikiran. Atau sedang merasa di puncak ransangan berimajinasi tingkat tinggi. Bisa saja begitu.
Sesekali Qolam mengejang menatap lembaran di meja belajarnya. Masih putih polos. Entah, apa yang sedang ada dalam pikirannya.
“Huh… bisa stress ne aku” desisnya sambil bersandar lesu.
“Ada apa, Qol ?” Tanya Khozin yang sejak tadi mengamati perilaku Qolam, sahabat barunya, dengan penasaran.
“Kamu bersedia dengar keluh kesahku?” Khozin hanya dapat diam setengah tidak mengerti dengan jawaban Qolam. Tapi, dia mengangguk saja.
“Ya” hanya kata itu yang keluar dari mulut mungil Khozin. Kemudian dia mengambil tempat di sebelah kanan Qolam. Qolam pun memulai kisahnya.
“Orang-orang memanggilku Qolam. Kakek yang memberi nama itu sebelum beliau meninggal. Sejak masih dalam kandungan, orang tuaku mengharapkanku menjadi penulis, karena itu namaku Qolam. Artinya pena.” Khozin mendengarkan secara ikhlas. Ia yakin bahwa dirinya siap menampung semua kegelisahan yang dialami sahabatnya.
            “Setelah aku mulai belajar membaca dan menulis, orang tuaku sering menghadiahiku buku. Bahkan di setiap ulang tahunku, sampai sekarang pun, mereka tidak lupa memberi kado berupa buku.
Aku masih ingat buku pertama berupa novel anak yang mereka hadiahkan. Waktu itu aku baru kelas tiga SD. Bukunya berwarna hijau karya Arsyad H. Ishaka berjudul Desa Pemukiman. Setiap hari, ke manapun aku pergi buku itu selalu kubawa.”
            Sementara Khozin mendengarkan, Qomar melanjutkan ceritanya,
“Setiap aku membacanya, aku merasa ikut bertualang dengan anak-anak desa pemukiman dalam novel itu. Jika di kelas teman-temanku asyik menceritakan pengalamannya pergi ke daerah-daerah jauh, aku lebih sering bercerita isi buku. Aku menceritakan kembali kisah dalam novel yang pernah aku baca, dan nyatanya teman-teman lebih banyak menyukai ceritaku.” Sampai di sini Qolam berhenti sejenak menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan.
            Hem, terus?” Khozin mulai tertarik dengan kisah sahabatnya.
            “Bermula dari buku-buku pemberian ayah dan ibu, aku mulai mengenal penulis-penulis hebat. Apa kamu tahu Djoni Arya Dinata?”
“Aku pernah dengar tapi, kurang tahu siapa dia.”
“Beliau dulunya adalah tukang becak. Di umurnya yang sudah tua, dia belajar menulis cerpen sampai akhirnya dia menjadi penulis hebat.”
Ow…” Khozin menggangguk tanda mengerti, namun  masih ada sesuatu yang mengganjal di benaknya “Terus… apa kaitannya dengan ceritamu yang Kaututurkan sejak tadi?”  
“Ada!” jawab Qolam tanpa pikir panjang. Khozin diam dan merasa kurang memahami apa yang sedang terjadi pada Qolam.
“Apa itu?”
“Kamu pernah pegang buku, atau majalah, atau koran?” Tanya Qolam.
“Bukan hanya pegang sih, Qol, bacanya juga pasti” jawab Khozin.
“Berarti kamu pernah tahu nama Afrizal Malna, WS Rendra, Agnes Jessica, D Jenar Meysa Ayu, Asma Nadia, Lan Fang, Adrias Harefa, JK Rowling, dan penulis- penulis lainnya”
“Sebagian aku tahu… seperti JK Rowling penulis novel Harry Potter”
Sieep kalo gitu”, puji Qolam. “Mereka semua adalah penulis yang selalu aku kagumi. Bukan hanya karena karya mereka yang bagus, tapi juga karena proses yang mereka lewati. Kamu tahu gak, berapa kali JK Rowling mengalami penolakan, hinaan, dan cacian dari penerbit  untuk novelnya, Harry Potter?” Khozin menggeleng.
“12, Zin! Tidak tanggung-tanggung! Tapi, dia tetap yakin dan terus saja menulis hingga akhirnya novelnya diterbitkan setelah untuk  ke-13 kalinya dia mengirimkan ke penerbit.” Khozin hanya bisa diam mendengar ucapan-ucapan Qolam. Sesekali dia mengangguk kagum.
“Khozin, dari dulu sejak aku kecil, aku sangat ingin seperti mereka yang karya-karyanya banyak dibukukan.” Qolam memejamkan matanya. Dia menunduk seakan dapat melihat jantung bumi dengan cara terpejam.
“Itu bagus, Kawan. Aku yakin kamu bisa.”
“Masalahnya, aku tidak bisa berproses seperti mereka. Aku lemah. Aku tak sekuat Rowling yang terus berusaha meski mengalami penolakan dan cacian berkali-kali. Aku menulis satu judul saja tidak pernah bisa maksimal, apalagi satu buku seperti Adreas Harefa dan yang lain?” Khozin kebingungan menghadapi kondisi temannya. Dia hanya diam tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Qol, aku memang kurang tahu dunia tulis-menulis. Tapi, bagiku tak ada yang tidak bisa, hal itu tergantung niat dan usaha. Thomas Alfa Edison mengalami kegagalan percobaan sebanyak 10.008 kali dan baru berhasil pada percobaan yang ke 10.009 kalinya. Seandainya dia menyerah pada percobaan yang ke 10.008, maka bisa dipasikan tidak akan ada lampu. Begitu juga dengan Rowling yang Kamu ceritakan. Jika saja dia menyerah setelah penolakan yang ke-12 dan tidak mencoba lagi, aku tidak yakin dunia akan mengenal Harry Potter”. Qolam terperangah demi mendengar ucapan temannya. Kali ini dia yang tercengang. Namun jauh dalam dirinya ada sesuatu yang memberontak.
“Iya, mana mungkin mereka menyerah. Mereka sudah pasti terus mencoba karena mereka kuat dan tidak lemah seperti aku.” Qolam kembali menunduk.
“Begini, pada saat sekolah Diniyah kemaren, Kiayi Rahman pernah menjelaskan bahwa Allah itu memberi ujian sesuai kemampuan hambanya.” Khozin mengambil nafas sambil sesekali melirik Qolam yang sedari tadi masih menunduk. Kemudian Khozin melanjutkan, “Jadi, masih menurut beliau, orang yang mendapat ujian kecil berarti dia dipercaya oleh Allah sebagai orang kecil. Begitu juga sebaliknya, jika ujian yang dihadapi seseorang besar, berarti Allah mempercayainya sebagai orang yang besar.” Qolam hampir tidak percaya, dalam hati dia hanya bergumam “Teman yang satu ini baru mondok kok sudah pintar menjelaskan hal-hal yang baru diserap.
“Terus? Kau mengatakan aku ini adalah ornag kecil?” Qolam merasa tersindir.
“Tanyakan saja pada dirimu sendiri. Bagiku, jika kamu sudah mau menyerah pada hal kecil, berarti kamu memang ingin jadi orang kecil. Jika Kamu bersedia meniru JK Rowling dan penulis-penulis lain yang walaupun mengalami sebesar apapun cobaan tapi tidak mau menyerah, berarti Kamu sama besarnya dengan mereka. Itu menurutku lho….”
“Hem,… begitu ya?”
YUP….! Lalu, apakah kamu masih tetap akan menyerah pada satu judul yang sulit Kau lahirkan itu?”
“Hem, aku rasa tidak! Karena aku ingin seperti mereka dan menjadi penulis hebat. Zin, trimakasih buaaaaanyaaak….. Aku mulai mengerti kenapa orang-orang besar dan terkenal tidak banyak mengeluh,” ucap Qolam sumringah, seperti mendapat semangat baru. Keduanyaa saling tatap dan tersenyum, kemudian tertawa bersama di dalam kamar kecil yang mereka huni bersama.
Begitulah awal keakraban dua santri baru yang nantinya menjadi orang yang berhasil mencapai tujuan masing-masing.

Sasar, 24 Pebruari 2011

>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels