Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Wednesday, May 28, 2014

SEKILAS MEMANDANG SASAR

Muktir Rahman Syaf

            Pada tahun 2009 ketika aku baru menyelesaikan studyku selama satu tahun di Surabaya, aku kembali ke Sasar. Kondisi kampung Sasar pada saat itu sudah lebih mending dari kondisi sebelumnya, terutama menyangkut pendidikan. Jika dulu di Sasar sulit menemukan masyarakatnya yang lulusan MTs. sederajat, kala itu ketika aku baru kembali dari rantau telah kutemukan remaja Sasar tidak segan melanjutkan sekolahnya ke jenjang MTs. bahkan ada sebagian yang melanjutkan ke jenjang SMA. Perubahan yang harus disyukuri.
            Berbeda dengan kondisi sebelumnya, ketika aku dan segelintir remaja yang lain menempuh pendidikan di jenjang sederajat SMP sekitar tahun 2002-2005. Banyak orang yang mencemoh dan mengenyek kami karena melanjutkan sekolah. Bagi sebagian besar masyarakat Sasar, sekolah itu cukup hanya di SD atau bisa membaca al-Quran saja, sehingga melanjutkan ke SMP dan jenjang yang lebih tinggi tidak begitu penting. Sekolah tidak jadi prestise keberhasilah, justru laki-laki dikatakan sukses jika mereka bisa bertani seperti orang tuanya dan hanya cendrung itu-itu saja atau jika ingin lebih terpandang jadilah TKI, sedangkan yang perempuan dinyatakan berhasil jika menjadi seorang istri. Pradigma tersebut terkadang menyudutkan orang yang lebih memprioritaskan sekolah.
            Namun 2009 menjadi tahun yang cantik. Masyarakat mulai mengakui pentingnya sekolah, karena itulah anak-anaknya mulai diarahkan untuk melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Sejak tahun 2009, Sarjana muda mulai bermunculan di kampung Sasar. Mereka yang putus sekolah mulai melanjutkan sekolah dan sekarang menjadi Sarjana. Bagi yang merasa cukup tua, mereka mengikuti program paket agar bisa merasakan bangku kuliyah.
            Pada tahun 2014 ini di kampung Sasar sangat nampak perbedaannya dengan Sasar yang dulu, sebelum tahun 2009. Dalam hitungan bulan putra Sasar yang melanjutkan kuliyah di luar akan wisuda. Ada yang akan diwisuda di Unisa Surabaya, Unmer dan UIN Maliki Malang, Stain dan Unira Pamekasan, STKIP PGRI dan Universitas Wiraraja Sumenep. Kelulusan mereka menambah daftar sarjana terdahulu yang lulus dari INSTIK Annuqayah dan IDIA Al-Amien Sumenep.
            Bertambahnya sarjana muda di kampung tercinta tidak bisa dipungkiri mampu mengubah pradigma berpikir masyarat yang semula stagnan dan cendrung pasif ke pola berpikir yang lebih dinamis dan inovatif. Itu dibuktikan dengan semakin sedikitnya pemuda yang berminat bekerja ke luar Madura bahkan ke luar negeri. Berbeda dengan dulu, hampir 80% pemuda kampung Sasar merantau untuk mencari nafkah[1].
            Para pemuda seakan telah bisa mengelola kekayaan di kampung sendiri. Mereka tidak terlalu kebingungan untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari sebab mereka mampu mengatasinya dengan keterampilan masing-masing dan bisa diterapkan di Sasar. Penghasilan mereka tidak lagi hanya berpangku pada tani jagung dan tembakau atau ternak sapi yang terlalu lamban, melainkan dari hal lain yang lebih inovatif. Ada yang jadi pengusaha dagang barang rongsokan; bertani jahe, kencur, bawang dan kemiri; ternak ayam petelur dan ayam daging; kambing dan sapi sistem ternak cepat; unit kegiatan usaha menengah; dan semacamnya. Pada intinya, ekonomi masyarakat Sasar sedikit demi sedikit telah terangkat.
            Namun semua itu masih belum selaras dengan emansipasi yang diperjuangkan Ibu Kartini. Aku mendapatkan pendidikan tinggi belum bisa dirasakan oleh semua remaja putri Sasar, dan penyebabnya adalah masalah jodoh. Pasangan hidup menjadi sesuatu yang menghantui perempuan di Sasar. Masyarakat yang memiliki anak perempuan yang usia SMP jika belum ada yang melamar, maka hal itu menjadi aib keluarga. Mereka dihantui rasa takut anaknya tidak laku dan akan jadi perawan tua, sehingga jika ada laki-laki yang melamar putrinya tersebut maka dengan segera diterima sekalipun putrinya masih ingin meranjut mimpinya di bangku sekolah. Positifnya dari pola berpikir seperti itu adalah terhindarnya prilaku amoral remaja Sasar seperti yang terjadi di kota-kota metropolitan, yakni pacaran tanpa arah yang jelas dan juga mencegah status perawan tua. Dampak negatifnya adalah remaja putri Sasar menjadi tua tidak pada waktunya, sebab menjadi ibu dari beberapa anak justru ketika teman sebayanya tengah bergelut dengan materi kuliyah. Dampak negatif lainnya adalah ketika laki-laki yang melamar si perempuan tidak mengenyam pendidikan lebih tinggi dari calon istrinya—biasanya lamaran lelaki semacam itu tetap diterima dengan alasan mumpung ada yang melamar—sehingga yang terjadi perempuan tertinggal dari laki-laki dalam hal pendidikan.
            Adalah harapan terbesarku remaja kampung Sasar segera melek pendidikan semua tanpa terkecuali; Putra putri Sasar memiliki kesempatan yang sama merajut mimpi di bangku sekolah dasar sampai di bangku sekolah tinggi; Pemuda Sasar mampu mengelola kekayaan tanah kelahiran dengan maksimal sehingga tidak tergiur dengan tawaran pekerjaan di daerah lain apalagi di luar negri. Terakhir, semoga harapanku diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Amien.

Sasar, 23 April 2014


[1] Sumber, hasil survei dalam skripsi berjudul Urgensi pendidikan moral sejak dini di Kampung Sasar desa Moncek Barat Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels