Muktirrahman*
Akhir-akhir ini berbagai kalangan, tak terkecuali petani, tengah dilanda kekhawatiran akan “melonjaknya” harga bahan bakar minyak, yang dipastikan berakibat pada naiknya harga sembako. Kekhawatiran ini tidak dapat dipungkiri apalagi pasca langkanya BBM beberapa hari yang lalu. Meskipun belum ada kepastian yang jelas dari pemerintah terkait apakah harga BBM akan naik atau “hanya” subsidinya dicabut atau bahkan tak ada perubahan samasekali. Tetap saja bagi sebagian besar kalangan apalagi masyarakat kecil (petani, red.) sangat khawatir, sebab isu yang berkembang harga bahan bakar akan lebih mahal dari sebelumnya. Terlepas dari semua itu, penulis hanya menaruh perhatian pada kekhawatiran yang menghantui petani Madura.
Kehawatiran yang dimaksud cukup beralasan, karena masyarakat kecil tidak punya banyak uang. Bila saja harga untuk kebutuhan primer bertambah mahal, maka segalanya akan ikut bertambah mahal, dan itu artinya masyarkat semakin sengsara sebab bahan pokok tak lagi terpenuhi. Dan kehawatiran ini diperparah dengan semakin merosotnya solidaritas antar sesama di negeri ini, yang telah memunculkan ajaran baru yaitu “membantu jika dibayar”.
Jika sudah demikian, maka semakin lengkaplah kesengsaraan petani Madura yang baru memasuki musim hujan atau musim bertani jagung. Mereka seperti terbelenggu, tidak bisa berbuat lebih untuk kelangsungan hidup yang sepenuhnya bertumpu pada hasil bertani. Kenapa demikian? Sebab mereka butuh modal lebih banyak untuk menggarap sawah, sedang modal mereka hanya sedikit. Hal ini pula, lagi-lagi dikarenakan merosotnya solidaritas sesama yang membuat mereka enggan saling membantu seperti halnya dulu, jikapun ada yang membantu itupun mereka harus dibayar.
Kondisi ini berbeda jauh dengan kondisi jaman dahulu, yang mana konon masyarakat Madura adalah masyarakat yang sosialis. Mereka saling membantu tanpa pamrih, sehingga tak ada istilah ‘membantu jika dibayar’ tapi ‘membantu jika dibutuhkan’.
Maka dengan demikian, petani Madura di jaman dahulu tidak perlu dirundung kekhawatiran terkait modal untuk bertani. Mereka tidak perlu direpotkan untuk mengeluarkan biaya upah bagi pekerja, karena mereka ikhlas membantu. Biaya yang perlu mereka keluarkan paling hanya biaya pupuk untuk tanaman dan biaya sekali makan untuk para pekerja yang seharian bekerja.
Dan hal itu seiring berlajunya waktu, jaman telah mengubah keharmonisan bermasyarkat orang Madura. Mereka mulai silau oleh uang, sehingga setiap bergerak harus bernilai uang. Tidak peduli lagi solidaritas yang pernah menyejukkan Madura. Bahkan membantu sesama petani pun, harus dibayar.
Namun sebenarnya, ada juga sebagian kecil petani di Madura yang masih memiliki rasa sosial yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya istilah otosan di kalangan petani kabupaten paling timur Madura, yakni Sumenep. Ini adalah istilah yang berarti saling menolong dengan bergantian mengirim utusan untuk membantu. Mereka secara bergantian atau bergilir saling membantu bercocok tanam, entah itu di musimnya bertani jagung atau tembakau.
Di Sumenep itulah, penulis masih menemukan masyarakat petani Madura senantiasa melanjutkan tradisi tolong menolong sesama petani tanpa diupah. Mereka saling membantu bertani dengan mengirim otosan (utusan, red.) ke tempat orang yang sedang membutuhkan.
Masyarakat petani Madura yang seperti ini memang sudah jarang ditemukan, namun bukan berarti sama sekali tidak ada. Dan oleh karena itu, yang masih tersisa ini mari kita jaga bersama, jangan malah dibiarkan musnah. Tradisi masyarakat seperti ini perlu dibina bersama demi menjaga kelestarian budaya dan hal ini perlu keterlibatan semua pihak, khususnya pemerintah daerah.
Selanjutnya hemat penulis, rasa solidaritas di kalangan petani Madura sangatlah penting demi kenyamanan bertani. Dengan tetap membudayakan warisan leluhur seperti tradisi otosan, dirasa akan menjaga stabilitas bertani masyarakat Madura, tentunya meski harus berhadapan dengan momok yang paling ditakuti yaitu mahalnya harga BBM. Wallaua'lam
Mahasiswa INSTIKA, rahmana_syaf@yahoo.co.id
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>
0 comments:
Post a Comment
Terimakasih telah meninggalkan jejak