Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Friday, May 15, 2009

PERSIDANGAN SORE SEBUAH KELUARGA


Oleh: Muktir Rahman Syaf

Masih seperti hari-hari sebelumnya. Di emperan rumah sederhana di desa Kapedi, kecamatan Bluto terdapat satu keluarga yang setiap sore berkumpul membicarakan tentang apa saja. Karena tema yang mereka perbincangkan sering ngelantur. Kadang tentang pertanian, hasil panen, pendidikan pokoknya macam-macam. Namun yang tidak luput mereka bicarakan adalah tunangan. Keluarga kecil itu terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan. Yang pertama ayah, ibu, kakak tertua (dia laki-laki biasanya saudara yang lain memanggilnya kak Ali), terus mbak Indah, kak Sugik, mbak Lely, Aku dan adikku---dik Udin. Sedang yang lainnya, seperti kakak ipar,jarang bergabung. Katanya sungkan. Biasanya yang kena skak pertama kali adalah kak Sugik.

Bagai mana tidak, umurnya sudah menuntut untuk berkeluarga tapi belum kawin-kawin juga. Boro-boro berkeluarga, pacar saja tidak punya. Padahal kak Ali menikah pada umur lebih muda dari umur kak Sugik sekarang. Begitu juga mbak Indah. Kalau yang lainnya, jangan ditanya. Mana mungkin seorang adik mendahului kakaknya dalam hal berkeluarga. Sedangkan di daerah kami hal itu akan membawa pada kenaasan. Dan lagi, Mbak Lely masih kuliah, Aku dan adik masih sekolah. Kami sama-sama kelas tiga. Bedanya Aku SMA adikku SMP.

“Ngomong-ngomong Saedah teman Lely yang sering ke sini itu, apa sudah punya tunangan Sugik?” Ummi memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang sudah jelas itujukan pada kak Sugik.

“Nanyanya kok pada saya, emangnya teman siapa?” Kak Sugik mulai menampakkan ekspresi sinis. Biasa, kalau sudah kena tembak kak Sugik akan menyatukan alisnya tanda tidak suka di sindir dengan Saedah. Padahal Saedah orangnya lumayan cantik. Di atas rata-rata. Tapi kak Sugik tidak senang karena orangnya agak culun githu.

“Biasanya ya, cinta diawali dengan kebenciaan?” Kak Ali meyambung.

“Pada prinsipnya cinta yang demikian, jika orang yang jadi obyek itu NORMAL” dengan gaya yang merupakan ciri hasnya, kak Sugik berapologi melontarkan pendapatnya dengan lebih menekankan pada kata normal. Dan kami hanya mengguSugiksnya dengan tawa.

“Bagaimana kalau dengan Izah?” Ummi mulai dengan pertanyaan agak serius

“Jangan, nanti malah jadi saingan Uqi” Mulai deh. Jika seperti ini aku harus mencari kata-kata penyelamat dari serangan mbak Lely. Aku berfikir, dan, ya aku bisa membuat temeng pertahanan

“Mana mungkin seorang adik mendahului kakaknya. Jadi, dengan penuh keikhlasan aku merelakannya”

“Tidak bisa Uqi, sejahat apapun seorang kakak, aku tidak akan mengambil cinta adikku” Wah gawat nih. Aku kena skak maks. Sejujurnya, Izah memang cantik dan aku pernah menaruh hIndah padanya. Tapi ketika aku mengungkapkan cinta padanya, dia menolakku. Alasannya sih karena aku lebih muda darinya. Memang benar dari segi umur dan perawakan lebih tua Izah. Namun jika dilihat dari sudut pandang kedewasaan, keintelektualan dan pengalaman, aku tidak yakin dia lebih dariku. Anehnya kata temanku di sekolah dia pernah curhat bahwa dia menaksirku. Ya mau bagaimana lagi, dia menolakku dan sekarang aku sudah melupakannya-total.

Kini aku kesulitan mencari kata-kata untuk bisa melindungiku dari serangan lawan-lawanku. Aku harus bagaimana?

“Ya suda…h kalau kalian berdua sama-sama tidak suka kita tawarkan saja pada Udin” Plong! Kata-kata mbak Indah telah menyelamatkanku dari keterperanjakan di tengah serangan memIndahkan-bagiku.

“Kenapasih dari tadi cuma laki-laki saja yang ditawarkan, tuh mbak Lely dari tadi kelihatan gelisah” sukur deh dik Udin bisa membalas serangan mbak Lely. Biar dia tahu rasa.

“Untuk Lely, harus nunggu sampai botol dimakan rayap dulu kecuali ada yang melamar” pada umumnya seorang gadis hanya bisa menunggu. Karena jika seorang gadis meminta lebih dulu, itu namanya menyalahi mikanisme yang telah diatur oleh adat bebuyut kami. Menurutku sih itu hanya mitos. Jika kita pikir secara rasional semua itu tidak logis. Prinsipnya sih menurutku tidak lain hanya karena perempuan lebih besar malunya (bukan kemaluannya) ketimbang keinginannya. Dan faktor inilah yang menyebabkan mayoritas perempuan enggan untuk menyatakan maksud akan berkeluarga lebih dulu dari pada laki-laki. Jadinya mereka hanya menunggu.

“Abah dan Ummi ini bagai mana sih. Carikan saja. Kan Ummi banyak kenalan yang punya lanceng? ” Aku ikutan menyerang mbak Lely dan kelihatannya wajahnya mulai memerah
“Gak mau….. aku mo cari sendiri….” Mbak Lely bereksperesi seperti anak kecil yang mau disuntik tapi menolak karena takut.

“Atau mungkin Lely sudah punya? Sapa tuh yang sering lewat depan rumah kita ketika ngantar adiknya sekolah?” Abah pun ikut memojokkan mbak Lely. Semakin mindar saja dia

“O… Saliem. Yang kepalanya ada landasan hilekopternya itu kan?” Kami memang menjuluki Saliem yang sering lewat di depan rumah yang selalu mengembangkan senyum termanisnya (habis, di mulutnya selalu ada semutnya sih) ketika melihat kami, dengan gelar landasan hilekopter. Itu dikarenakan kepalanya yang botak alias licin kayak lapangan.

“Ya..ya.. benar. Pasti Lely menyukainya”

“Wieh… enak aja. Jejek tau. Najis deh Eike”

Haha…haha… kami semua tertawa. Habis mbak Lely lucu banget. Udah giginya ompong (habis dimakan ulat) masih berlagak bencong. Lucu deh. Lucuuuu banget. Jejek tau. Ha…haha…hahaha.

Sebenarnya aku sangat perihIndahn sekali pada mbak Lely. Di desa kami, mbak Lely bisa dikatakan misunivess. Orangnya pintar, cantik dan pendidikan terjamin. Namun disinilah maslahnya. Orang seperti mbak Lely itu sulit menemukan jodoh. Pasalnya kalau udah kayak mbakku yang satu ini, laki-laki takut untuk meminangnya. Alasannya mereka merasa tidak selevel dengan gadis seperti mbak Lely. Karena mayoritas laki-laki di desa kami jelek-jelek (tidak termasuk aku) dan tidak berpendidikan. Abis, disuruh sekolah malah cari kerja.

“Uqi, Izah itu masih kerabat dekat lho. Bagaimana kalo Ummi lamarkan untukmu?” Ummi kali ini sangat serius kelihatnnya. Lalu bagaimana aku menjawabnya, aku takut menyakiti perasaan Ummi.

“Ummi, Uqi memang menyukainya. Tapi itu dulu, dan sekarang tidak. Lagi pula aku masih ingin melanjutkan sekolah”

“Tapi bisakan sambil sekolah?!” Wah gawat! Ummi semakin mengejarku dan ini pertanda aku harus menahannya.

“Tetap tidak bisa Ummi, Uqi sudah tidak mencintainya”

“Kenapa sih tidak ada yang mau dijodohkan?“ Waduh, permasalahan semakin rumit saja. Ummi kelihatannya marah. Duh bagaimana ini?

“Ummi, bukannya kami tidak mau dijodohkan, hanya saja belum waktunya. Saya walaupun sudah berumur 25 tahun masih berkeinginan melanjutkan kuliyah S2. Sedangkan dek Lely, Uqi dan Udin belum cukup umur” akhirnya kak Sugik menjawab sekaligus memberi (mungkin) pengertian kepada Ummi bahwa kami memang belum siap untuk menikah.

“Ia Ummi mengerti, yang Ummi inginkan hanya melihat pernikahan anak-anaknya.”

Gelap semakin mendekat. Semua lantunan qiro’ah di Majsid-Masjid dan Mushalla mulai luntur diganti alunan suara merdu para muadzin yang dengan ikhlas mengumangdangkan adzan magrib memanggil para muslim untuk menunaikan shalat magrib. Yang berarti pula setiap langkah yang berbau duniawi harus disudahi dulu. Dan masing-masing dari kami mulai meninggalkan tempat sidang rutin kecuali saya dan Ummi.

“Sudahlah Ummi, Uqi mengerti kok kenapa Ummi memaksa. Bukankah masih banyak yang lain, mungkin dia bukan jodoh Uqi.”

“Bukan itu yang Ummi pikirkan…” Apa, malunyaaaa aku. Mindar deh mukaku.
“Ummi hanya ngerasa kalau kalian tidak cepat berkeluarga, kalian akan meninggalkan Ummi. Seperti kak Ali-mu dulu. Dia begitu asiknya menjadi aktivis sampai jarang di rumah dan sekarang kamu dan Sugik mulai mendekIndah hal itu” Ummi mulai menitikkan airmata atau mungkin bukan mulai, tapi sudah dari tadi hanya saja saya baru menyadarinya.

“Tidak Ummi, kami akan selalu di sisi Ummi sampai kapanpun bahkan di setiap desahan nafas Ummi” aku menggenggam tangan Ummi seraya menelungkupkan wajah di pangkuannya. Kuraskan senyum Ummi terlukis di wajah syahdunya. Dan saya pun ikutan mengukir senyum walu tidak semanis senyum Ummi.

Guluk-guluk, 05 November 2007
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels