Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Tuesday, February 26, 2013

MENGUBUR MADURA




Banner telah berhasil dipajang di depan balai desa yang tertera ucapan “Selamat Datang di Posko XIII”. Banner ini tidak lain sebagai pertanda adanya sekolompok mahasiswa sedang melaksanakan tugas wajib dari kampus. Tugas untuk mahasiswa semester akhir yang disebut KKN singkatan dari Kuliyah Kerja Nyata, dan aku adalah salah satu mahasiswa itu.
Kegiatan yang akan berlangsung satu bulan ini adalah kegiatan yang membuatku bahagia, karena aku merasa punya kesempatan membangun negeriku, tanah kelahiran ibu pertiwi. Mungkin sama bahagianya dengan para ‘birokrat’ di negeri ini yang juga suka KKN, yang dengan itu dapat membahagiakan keluarganya. Benar-benar hanya keluarganya.
 ****** 
Kesan pertama yang kudapat di desa ini adalah, suasana yang menyerupai kota. Semua jalan utama sudah beraspal, dan di sisi sepanjang jalan berdiri bangunan masa kini yang modern. Mini market, toko-toko besar maupun kecil, rumah makan, dan jenis usaha lainnya berjejer bersaing berebut lokasi paling strategis. Tidak hanya itu, rumah mewah berjejalan di sana-sini seakan tak ada lagi lahan untuk dibangun. Para remaja berlomba saling memamerkan model paling trendi. Siapa saja yang tak sesuai trend masa kini, akan tersingkir dengan sendirinya. Suasana yang membuatku mual.
Namun hal demikian berbanding terbalik dengan suasana di depan balai desa. Suasana yang hanya dibangun sendirian oleh seorang lelaki tua. Lelaki yang umurnya kutaksir kurang lebih enam puluhan.
Laki-laki tua itu setiap hari kulihat menggali tanah. Mula-mula aku tak tertarik dengan kegiatan pak tua itu, bahkan pada pak tua itu sendiri. Apa yang menarik dari pak tua krempeng dan yang dilakukannya itu? Semua orang pasti sepakat menjawab “Tak ada”.
            Kondisi fisiknya tak jauh beda dari laki-laki seumurannya di desaku, berkulit hitam legam dan tampak mengkilap jika terkena sinar matahari. Tak ada pakaian melekat di tubuhnya, kecuali celana pendek polos berwarna hijau lumut dengan karet putih pengencang celana di bagian perut.
            Rambutnya dipotong sesisir yang di beberapa sisi tampak sebagian warna putih bersembunyi di sela rambut berwarna kemerahan. Ku yakin warna rambut dan kulitnya itu murni karena umur dan terpaan sinar matahari setiap hari. Jika saja dia rajin rawat ke salon, mungkin tampak berbeda.
            “Merawat diri ke salon? Hahahaha, untuk sepiring nasi saja dia harus menyiksa tubuhnya, mikir mau ke salon” temanku menimpali pendapatku tentang laki-laki tua itu di suatu malam selesai rapat.
*****
            Di malam itu aku tak langsung tidur, selain karena belum terbiasa dengan situasi dan kondisi yang sama sekali baru, aku terpikirkan pak tua itu. Apa yang sedang dilakukannya di malam hari seperti ini?
            Diburu rasa penasaran, aku bangkit keluar kamar. Perhatiaanku langsung tertuju pada rumah yang terkesan tak terawat, padahal jika ada yang merawat rumah itu pastilah indah. Rumah yang terkesan suram karena sedikit penerangan, yang halaman rumahnya setiap hari digali oleh pemiliknya itu, adalah rumah si pak tua yang membuat tidurku tak nyenyak.
Rumah pak tua itu yang tak jauh dari balai desa tempatku menginap, bermodel tradisional. Terdapat hiasan dua cengger ayam di atas atap, dengan posisi berhadapan, mirip batu nisan sebuah makam. Konon menurut sesepuh-sesepuh Madura, hiasan ini mengingatkan penghuni rumah pada kematian, yang pasti di jalani oleh setiap mahluk hidup. Di bagian dalam rumah, berdiri empatbuah pilar penyanggah yang tampak kokoh. Pilar-pilar itu, terhubung satu dengan lainnya, sehingga membentuk sebuah bujur sangkar. Di setiap pintu maupun jendela terdapat ukiran-ukiran indah bermotif bunga yang mampu melenakan hayalan orang yang melihatnya.
Malam semakin larut, bebunyian hewan terdengar bertalu-talu namun aku belum mengantuk. Kuambil kursi di teras Balai kemudian kutata berjejer membentuk gabungan kursi panjang. Aku tepar di atas barisan kursi yang kutata itu, sambil menatap langit-langit. Bayangan lelaki tua itu kembali hadir.
Wajah yang tak mampu menjawab rasa penasaranku apakah sewaktu muda dia tampan atau tidak, karena wajahnya tertupi rasa lelah. Sebenarnya hal itu biasa kudapati di kampung ini, wajah-wajah tua yang lelah. Jadi bukan wajah pak tua itu yang menyeret penasaranku dengan keras, hingga terasa sakit di kepala dan hatiku.
Sudah satu minggu, semenjak kedatanganku, aku menyaksikan lelaki itu, yang kemudian kutahu namanya dari bapak kepala desa adalah pak Bad, menggali tanah di halaman rumahnya. Dia menggali layaknya menggali kuburan, tapi kuburan untuk siapa? Kenapa tidak ada warga yang membantu jika memang dia menggali kuburan, bukankah masyarakat Madura selalu peduli sesama?

**********
“Untuk apa jurang itu?” pertanyaanku mengambang hanyut bersama angin pagi nan dingin.
Aku sengaja bangun lebih pagi kali ini menunggu pak Bad keluar dari dalam rumahnya. Menunggu dengan ketir segala persiapan yang akan dilakukannya menyambut pagi yang mendung ini, sebab sejak semalam ada tanda-tanda hujan akan turun. Apa gerangan yang akan dilakukan si-pak-tua-itu jika hujan benar-benar turun? Masihkah dia akan melanjutkan pekerjaannya menggali? Selalu saja tanyaku berbentur dengan dinding dan kemudian dihanyut angin.
Akhirnya yang kutunggu datang juga. Dia keluar membawa cangkul yang kurasa sangat setia menemani harinya. Rupanya yang kuprasangkakan tak sesuai dengan kenyataan, dia tetap saja melanjutkan kerjaannya menggali jurang. Aku memperhatikan dari jarak lebih dekat namun tetap di dalam balai desa.
            Sesekali dia melihat ke arahku, mungkin dia menyadari kuperhatikan. Rumahnya yang hanya berbatas jalan beraspal dengan balai desa tak bisa dikatakan jauh. Bahkan suara cangkulannya sangat jelas terdengar di telingaku, karena itu tak heran bila dia segera menyadari kuperhatikan.
*****
Langit semakin berkabut. Burung keminis mulai berterbangan penuh riang. Aroma tanah Madura yang khas-pun menyerebak di mana-mana, menyadarkanku betapa tanah Madura benar-benar harum. Jika di hari ini hujan, maka inilah hujan pertama musim ini.
Pertanda hujan turun semakin nampak. Namun demikian, pak Bad masih saja menggali.
            Mungkin karena dia khawatir kehujanan dan tubuh krempengnya nanti dirasa akan lumpuh, sedang pekerjaannya belum sepenuhnya selesai, diapun mempercepat pekerjaannya. Perasaanku yang semula damai menikmati suasana pagi, berganti waswas menyaksikan wajah lelah pak Bad. Haruskah pekerjaannya sia-sia hanya karena tak sempat mengamankan jurang dari guyuran hujan?
            Suasana kali ini benar-benar membuatku waswas. Angin kencang menggoyang pepohonan. Kilatan petir di langit menyentak pendengaran. Rintik hujan bertambah besar. Pak Bad dilanda kekhawatiran.
            Dia melepas cangkulnya dan segera naik ke permukaan. Jurang yang dalamnya hanya sebahunya dengan mudah dia taklukkan. Setelah itu dia buru-buru masuk ke dalam rumah lalu semenit kemudian dia keluar membawa terpal. Ternyata Pak Bad berusaha memayungi jurang itu.
Menyaksikan Pak Bad yang sedang penuh semangat ingin menjaga jurang layaknya pejuang kemerdekaan menjaga tanah air, nuraniku-pun tersentak. Entah karena rasa kasihan atau karena merasa jiwa berjuangku terpanggil untuk menyelematkan negeri ini dari bencana, aku segera berlari untuk membantu Pak Bad.
            Hujan deras yang menyerupai anak panah dari langit tak kuhiraukan, yang selama ini menakutkan bagiku. Aku tak memperdulikan lagi baju yang ku kenakan akan basah kuyup. Meski baju ini satu-satunya yang bersih karena aku belum sempat mencuci, aku tetap berlari. Hanya satu hal yang ada di pikiranku, membantu Pak Bad menyelamatkan jurang.
Sewaktu aku telah siap membantu, Pak Bad sedikit terkejut, namun kemudian dia tersenyum padaku dan kubalas dengan senyuman pula. Setelah itu, kami bahu membahu menyelamatkan jurang. Sekitar 5 menit kemudian dengan usaha serba ekstra, akhirnya terpal berhasil terpasang memayungi jurang.
            “Terimakasih, Dik” pak Bad menyalamiku.
“Sudah kewajiban saling menolong, Pak!” jawabku diiringi senyuman.
 “Mari kita ngobrol di dalam. Di sana lebih nyaman, karena tampaknya hujan tidak akan segera reda” ajaknya dan kemudian kami bergegas masuk ke dalam rumahnya.

*****
Aku terpana oleh pemandangan yang luar biasa indah yang (kurasa) hanya ada di dalam rumah pak Bad. Serupa keadaan di luar, di dalam rumah inipun masih terjaga kebudayaannya. Rumah adat Madura yang masih dipertahankan, setidaknya oleh seorang lelaki tua.
            “Ini dik, ganti pakaian dulu agar tidak mengundang sakit” pak Bad menyerahkan kaos dan sarung padaku yang masih dibuai lamunan. Pak Bad sendiri telah mengenakan setelan pakaian ganti. Peci putih, baju koko putih dan sarung motif kotak warna hitam putih.
            “Yang lain pada kemana, Pak?” aku memulai obrolan, selesai berganti pakaian.
Kami duduk di kursi yang terbuat dari kayu berwarna coklat. Kursi di rumah pak Bad ada enam buah dan satu meja berbentuk segi panjang. Di atas meja itu tersaji secangkir besar kopi yang masih hangat dan dua cangkir kecil kosong, mungkin Pak Bad membuatnya di saat aku sedang terpana dengan seisi rumahnya.
            “Mereka semua sudah pergi merantau” jawabnya sambil merogoh tembakau dari dalam plastik bekas bungkus Mie kemudian melintingnya.
            “Istriku sudah lama meninggal, sedangkan anakku merantau ke kota Jakarta bersama paman dan bibiknya” dia menyulut lintingan yang telah diapit kedua bibirnya yang hitam. Menghisapnya, kemudian dihembuskan perlahan. Dari cara dia merokok, cukup bagiku mengetahui bahwa Pak Bad pecinta berat rokok.
            “Itu foto putri, Bapak?” aku menunjuk ke foto berfigura yang terpajang di dinding. Wajah di foto itu polos seakan tak berdosa. Wajahnya dibalut kerudung putih yang semakin menambah kecantikannya. Dia sedang memegang piala dengan sambil mengembangkan senyum.
            “Iya, dialah satu-satunya putriku yang dengan keras kepalanya memaksa untuk merantau ke Jakarta.” Pak Bad menyedu kopinya, sedangkan rokok di tangannya tinggal separuh.
            “Keras kepala? Dari wajah di foto itu, sepertinya dia anak yang patuh” aku masih menaruh penasaran pada jurang di depan rumah, tapi belum berani menanyakannya sekarang.
            “Yah, dulu dia sangat patuh pada siapapun yang lebih tua, dan dia juga terkenal paling pintar di kampung ini. Foto itu diambil ketika dia menjuarai lomba tilawatil qur’an, tingkat Provinsi. Sebenarnya bukan hanya dia yang berkepribadian adab, semua orang di kampung ini dulu beradab, tapi waktu telah merubahnya.” Ada raut kepedihan di wajah Pak Bad, serta merta rasa haru menerkamku.
            “Seperti apa perubahan itu Pak?” aku masih memburu.
“Perhatikan saja keadaan di kampung ini. Remaja putri yang dulu tak berani membuka aurat, tapi sekarang berbeda, mereka sudah berani membukanya. Bahkan berani memamirkan lekuk tubuhnya di tempat umum. Celana pendek dan baju yang belum jadi saja mereka kenakan. Sedangkan yang laki-laki tak pernah lagi kulihat mengenakan peci, yang dulu jadi kebanggaan para lelaki di kampung sini. Dan putriku, adalah salah satu dari mereka yang berani memamirkan bokongnya sampai-sampai kampung ini menjadi ‘kampung bokong’. Pemuda dan pemudi yang dulunya setiap malam ada di langgar, sekarang tak lagi. Bahkan putriku sendiri, tidak pernah lagi kudengar mengaji.” Ada gurat kemarahan, kecewa dan kepedihan berbaur di wajah Pak Bad. Wajahnya memerah, dan itu membuatku takut.
“Hem...” aku menghela nafas, kemudian terdiam. Tak berani aku melanjutkan percakapan ini.
Lama kami berdiam diri, kemudian pak Bad memecah ketegangan.
“Ayo dik, minum kopimya”
“Iya, a...” kalimat yang hendak keluar dari mulutku tertahan karena suasana yang belum bersahabat.
“Oya, adik ini dari mana asalnya dan siapa namanya?” Pak Bad beruasaha mencairkan suasana, dan kuakui itu berhasil.
“Saya dari Sumenep perbatasan Pemekasan, Pak. Nama saya, Rahman.”
“Nama orang tuamu siapa, mungkin aku mengenalnya, karena di sana banyak yang masih saudaraku” selanjutnya percakapan mengalir dengan sendirinya, membahas berbagai macam hal yang hanya sekedar basa-basi namun menyenangkan.
Hujan sudah reda, akupun pamit balik ke balai desa karena hawatir dicari teman-teman. Sarung dan baju Pak Bad tetap kupakai dan aku berjanji untuk segera mengembalikannya, namun Pak Bad malah menimpali “Meskipun ndak dibalikin ndak apa-apa” kamudian kami tertawa.
*****

Di sore itu aku hendak membeli diterjen untuk mencuci baju. Di saat itu, di toko yang sedang melayaniku, tanpa sengaja aku mendengar perbincangan dua bapak-bapak dengan seorang perempuan pemilik toko.
“Memang sudah seharusnya begitu, Kang.” Si perempuan berkata sambil mengambilkan diterjen untukku.
“Ya, masak di jaman sekarang ini masih mempertahankan hal yang seharusnya punah? Semestinya dia menyadari sekaligus mengikuti perkembangan jaman modern yang indah ini” bapak-bapak yang duduk di tembok menimpali ucapan ibu-ibu tadi. Jelas aku tak ikut berbincang dengan mereka, karena memang aku tidak tahu arah pembicaraannya.
“Padahal kan anak dan saudaranya sudah mengajaknya ke Jakarta menuju kota yang menjanjikan kebahagian?” bapak yang satunya lagi tak kalah antusias menyalahkan orang yang sedang mereka perbincangkan.
“Jika dia masih seperti itu, desa kita ini tetap akan terbelakang tidak bisa maju-maju, sebab masih ada orang seperti dia yang kolot dan tidak tau diri. Huh, aku lo Kang, setiap ke rumah saudara di Surabaya selalu gak jadi untuk cerita-cerita keadaan desa kita, ya itu karena masih ada orang kolot. Gimana coba, kalo aku jadi cerita kalo di desa ini masih ada orang purba yang seharusnya sudah punah, tapi ternyata dia masih ada? Hem, bisa-bisa desa kita ini dikatain desa paling tidak maju, tidak makmur dan semacamnya lah. Jadi, siapa hayo Kang, yang malu? Semua penduduk desa kan?” perempuan itu nyerocos namun tetap sigap melayani pembeli.
“Eh, Kang, ngomong-ngomong katanya dia menggali kuburan untuk dirinya sendiri ya?” perempuan yang tengah menjumlah harga belanjaanku menjulurkan tubuhnya ke luar sambil memonyongkan mulutnya dan berkata dengan suara yang dibuat pelan.
“Kata ibu Tria memang begitu, Pak Bad sudah mendekati ajal dan Pak Bad yang dulunya dikenal sakti itu mengetahui kapan ajalnya akan tiba”
“Ibu Tria pasti berkata jujur, karena selama ini yang merawat Pak Bad kan, Dia?”
“Akhirnya orang purba yang kolot itu akan musnah juga”
Ada yang membuncah di dadaku demi mendengar setiap kalimat dari ketiga orang itu. Ingin sekali rasanya kutonjok mulut mereka, karena mereka talah menghina Pak Bad yang dengan pelan namun pasti telah mendapat tempat yang layak di hatiku, namun hal itu tak mungkin kulakukan di desa ini.
Segeralah aku pulang untuk kemudian menuju rumah Pak Bad. Aku ingin segera bercerita padanya tentang apa yang telah terjadi di toko, dan akan aku katakan padanya aku tidak ingin dia meninggalkan Madura. Akan aku katakan pula, aku menyayanginya seperti aku mencintai Madura, dan bagiku pak Bad dan Madura tak ada beda di hatiku karena itu aku tak ingin dia pergi untuk selamanya.



Sumenep Madura, 01 Desember 2012
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels