Di sini boleh ngawur, ketawa, misuh, teriak dan sebagainya karena blog ini hanya TA-KAN-TAH. Takantah berarti tidak sungguhan, bisa fiktif belaka, namun blog ini nyata.

Sunday, July 3, 2016

Mudik Bersama Muktir Rahman (versi Umarul Faruq)


"Tir, gerimis" tegurku dari jok belakang motor Smash 110 cc yang melaju dengan kecepatan keong. Ini fakta! Surabaya kalau sudah macet memang sebelas duabelas sama Jakarta. Ratusan kendaraan berdesak-desakan berebut jalan, dari yang roda dua sampai yang roda enam, semua menunggu lampu hijau menyala.
"Lanjut?" tanyanya
"Lanjut!" jawabku singkat, "Kita istirahat habis jembatan Suramadu saja"
Ini adalah lampu merah terlama di Surabaya yang saya tahu. Di depan sana Jl. Kenjeran yang menuju jalan akses jembatan Suramadu sudah kelihatan, tetapi untuk sampai ke sana kok rasanya lama sekali. Aku yakin dalam kondisi seperti ini tak peduli mobil sport atau motor butut, semua sama seperti siput.
Gerimis semakin deras, dan tak lama kemudian sudah berubah menjadi hujan. Padahal kami masih di Jl. Kenjeran. Jika mau, kami bisa saja berhenti dan berteduh di sisi jalan menunggu hujan reda. Tetapi itu tidak kami lakukan. Sekalipun pakain sudah basah, tas ransel dan CPU terancam kemasukan air juga, kami nekat menerobos hujan yang semakin menjadi. Aku silangkan kedua tanganku di atas tas ransel yang aku pangku dengan maksud melindunginya dari tetes air hujan. Meski itu sama sekali tidak berguna.
"Beneran lanjut?" tanya Muktir memastikan
"Ayo, lanjut aja" mantap kujawab meski sebenarnya ada sedikit waswas dengan kondisi isi tas ransel dan CPU.
Mesin terus menderu. Sebentar lagi masuk jembatan Suramadu. Jalan yang tergenang air hujan menjadi licin dan menuntut semua pengendara menurunkan kecepatan. Tapi, sepertinya itu tidak berlaku bagi Muktir. Entah karena terburu-buru atau bagaimana, dia tetap menarik gas kencang. Dari balik kaca helm aku lihat di sekitar jembatan Suramadu yang biasanya terlihat pemandangan kota Surabaya, Bangkalan dan Selat Madura, kali ini tidak terlihat sama sekali. Yang terlihat hanya kabut tebal menghalangi pandangan. Bahkan, pandangan ke jalan di depan hanya sebatas belasan meter saja. Satu-satunya batas jalan yang terlihat jelas hanya pagar jembatan di sisi kanan dan kiri kami. Sementara garis marka hanya terlihat samar-samar, begitu pun nyala lampu belakang kendaraan di depan kami.
Sempat terpikir untuk mengabadikan momen ini dengan kamera. Momen yang betul-betul luar biasa, sayang sekali jika terlewatkan begitu saja. Masalahnya aku belum mau mengorbankan ponselku yang belum anti air, dan Muktir pun berpikiran sama. Segila-gilanya Muktir (dan aku tentunya) ternyata belum sepenuhnya kehilangan akal sehat. Aku bersyukur akan hal itu.
Setelah melewati jembatan, kami berteduh di sebuah musolla kecil di sisi kiri jalan. Bukan karena kapok kehujanan, tetapi karena kami belum shalat Ashar. Ada toilet yang cukup luas di belakang musolla tempat kami membersihkan diri (note: tidak barengan kok). Dengan celana dan baju yang masih basah kami shalat Zhuhur sekaligus Ashar secara jama' ta'khir. Ini adalah kali pertama aku shalat dengan pakaian basah kuyup. Serius! Ada sensai luar biasa yang aku rasakan.
Karena maghrib belum tiba, perjalanan kami lanjutkan. Waktu maghrib baru tiba saat kemi mendekati Tangkel. Kami buka puasa sekaligus shalat Maghrib dan Isyaa di sebuah rumah makan di Tangkel. Dan ini adalah kali kedua aku shalat dengan pakaian basah, meski tidak sebasah waktu di Suramadu. Tetes air hujan masih belum juga reda. Setelah Makan dan shalat, kami melanjutkan perjalan lagi menuju Sumenep.
Dari Bangkalan ke Kapedi, Sumenep kira-kira berjarak 140 km, kami tempuh dalam waktu 3 jam-an. Memang lebih lambat dari ekspektasi kami, tetapi kami punya alasan. Ya, hujan sepanjang perjalanan membuat kami tidak bisa melaju dengan kecepatan maksimal. Sepertinya hari ini hujan turun merata di seluruh pulau Madura.
Kami tiba di rumah Muktir, Kapedi sekitar jam 21.30. Tidak usah ditanya seperti apa kondisi kami ketika sampai, kami tidak sempat ngaca. Yang pasti malam itu saya menginap di rumah Muktir dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kedinginan. Segala posisi tidur sudah saya coba untuk menghangatkan badan; dari meringkuk, memeluk lutut, menutup kepala dengan bantal, hingga menyelipkan kedua tangan di sela paha, tapi tidak satupun yang benar-benar berhasil mengusir rasa dingin. Derita seorang jomblo emang menyakitkan, bro! Tapi, sejomblo-jomblonya kami, akal sehat masih tetap berlaku. Wanita tetap jauh lebih menarik daripada laki-laki. Kami tidur di kamar terpisah.Haha
But overall, I was very impressed with this trip. This is an amazing experience. I'll never forget it, Thank you so much, Muktir Rahman!

( sumber dari laman facebook Faruq )
>>=== Semoga Anda berkenan ===>>

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah meninggalkan jejak

Muktir Rahman

Muktir Rahman
Muktir adalah nama langka, tidak banyak yang memilikinya, di Negeri ini. Sulit diucapkan, sulit dihafal tapi tidak sulit dikenang.
TA KAN TAH. Powered by Blogger.

My Blog List

Labels